Filsafat Politik Aristoteles
Menakar Hubungan
Individu, Negara, Moralitas dan Konstitusi dalam Pandangan Aristoteles
Interaksi
politik dewasa ini seolah berjalan pada ingatan yang membosankan dan
mengerikan. Membosankan, karena pandangan ini umunya digunakan oleh pandangan masyarakat
awam yang jenuh dengan perkembangan politik, sehingga mereka acuh terhadapnya.
Upaya mereka terhadap partisifasi politik paling hanya digunakan pada saat
pemilihan umum. Bagi mereka yang acuh pada pergolakan politik biasanya
dikerenakan politik sebagai praktek kotor dan mengelikan serta rumit. Pada sisi
yang lain, politik menjadi mengerikan dengan berbagai ideologi dan pandangannya
masing-masing menjerumuskan manusia pada peperangan atau bentrok antar pandangan
politik berbeda. Jika dihitung kebelakang, seabad lalu pergolakan politik
internasional telah membawa pada peperangan yang menghabisnkan jutaan nyawa
manusia dan kerusakan mental juga materil.
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa perkembangan politik demokrasi dewasa ini pula mengalami
diskursus yang tak selesai-selesai. Tenyata demokrasi khususnya di Indonesia
membawa pada kondisi yang para politikusnya berkesempatan membodohi rakyatnya. Sebagai
wakil dari jutaan rakyat, politikus malah membingungkan masyarakat banyak dan
(dengan tak ragu-ragu penulis katakan) melakukan tindak korupsi yang merugikan
negara. Inilah ironi dari demokrasi Indonesia setelah sekian lama terjerumus
pada totaliterianisme Orde baru. Peralihan antara totaliterianisme orde baru
dan demokrasi reformasi belum menunjukan adanya itikad baik dari para politikus
untuk mensejahterakan rakyat banyak.
Dalam
tulisan ini, penulis bukan ingin menjelek-jelekan persoalan politik demokrasi
di Indonesia. Tetapi, penulis ingin mengajak alam pikiran ini menelusuri makna
politik semenjak awal dilahirkannya konsep manusia sebagai zoon politikon.
Pandangan zoon politikon ditemukan dalam pandangan filsafat politiknya
Aristoteles yang memberikan banyak kontribusi pada pandangan filsafat politik
setelahnya. Ambil contoh seperti al-Farabi dalam dunia islam, menulis pandangan
politiknya dalam buku al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama) yang
terinspirasi Aristoteles. Di sini, penulis ingin menakar hubungan antara
manusia sebagai zoon politikon dan perkembangannya dalam pembentukan
sebuah negara (polis) dan sebuah konstitusi sebagai regulasi politik. Di
sisi lain, moralitas menjadi pandangan Aristoteles yang sangat penting dalam melihat
perkembangan politik di atas. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam praktek politik. Sebagaimana perkembangan politik sekarang, nalar kritis
terhadap pandangan Aristoteles di rasa masih sangat relevan jika kita
kontekstualisasikan atau dilakukan suatu perbandingan dengan masa sekarang,
khusunya di Indonesia.
Asal Usul Negara
Sebagai murid dari Plato, Aristoteles berbeda dengan
gurunya yang berpandangan idealistik. Aristoteles adalah antitesa dari Plato
yang seluruh pandangan filsafatnya empiris-realis. Karya politik Aristoteles
yang terkenal adalah Politics dan The Athenian Constitution. Dalam
bukunya, Aristoteles menguraikan konsep-konsep dasar dalam ilmu politik seperti
asal mula negara, negara ideal, warga negara ideal, pembagian kekuasaan
politik, keadilan serta kedaulatan, penguasa yang ideal, konstitusi dan tentang
stabilitas sebuah negara.
Kemunculan
negara menurut Aristoteles tidak dapat dipisahkan dari watak manusia sendiri
atau ini merupakan insting sosial seseorang. Karena itu penyebutan manusia
adalah zoon politikon atau makhluk berpolitik. Dengan definisi seperti ini,
sebuah negara merupakan kepastian, karena merupakan sebuah sarana agar makhluk
berpolitik tersebut dapat berinteraksi dan beraktualisasi.
Negara
dalam bentuknya yang paling sederhana dianalogikan seperti sebuah keluarga.
Keluarga merupakan unit atau komponen negara yang paling sederhana dan yang
paling paripurna adalah negara. Hubungan antar keluarga membentuk sebuah desa
sebagai komponen yang menyatukan antar keluarga berdasarkan kebutuhan
masing-masing. Di sini, kebutuhan menjadi landasan hubungan sebuah negara,
karena kebutuhan tentunya mensyaratkan ketergantungan pada keluarga lain dan
begitu seterusnya.
Dalam teks Politicsnya,
Aristoteles mengatakan, “….terbuktilah bahwa negara termasuk dalam bangunan
yang sesuai dengan kodrat dan bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk
yang membentuk negara (zoon politikon), dia yang menurut kodratnya dan tidak
hanya secara kebetulan hidup di luar negara adalah lebih buruk atau lebih
tinggi dari manusia”.[1]
Komunitas Politis, Manusia
sebagai Zoon Politikon
“…Bahwa
manusia adalah makhluk politis yang lebih tinggi dari segala lebah atau makhluk
kawanan manapun adalah jelas. Karena alam, seperti kita tegaskan, tak pernah
membuat hal yang sia-sia. Manusialah makhluk hidup satu-satunya yang memiliki
bahasa. Suara menunjukan rasa sakit dan hasrat dan kerenanya juga dimiliki oleh
makhluk hidup lainnya. Lain daripada itu, bahasa berfungsi untuk memberitahukan
hal-hal yang bermanfaat dan merugikan dan juga menyatakan apa yang adil dan
yang tak adil”.[2]
“…Negara
menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan. Jika dia makin menjadi satu, dia
dari negara akan menjadi sebuah rumah dan dari rumah akan menjadi seorang
manusia. karena kita tentu boleh berkata bahwa sebuah rumah lebih tunggal
daripada sebuah negara, dan seorang individu lebih tunggal daripada sebuah
rumah. Juga andaikata orang dapat membuat kesatuan ini, orang kiranya tak boleh
melakukan hal itu. Karena orang kiranya akan menyudahi negara. Di samping itu
negara tidak hanya terdiri dari banyak manusia, melainkan pula dari orang yang
berbeda-beda jenisnya. Negara tak dapat terjadi dari orang-orang yang sama
sekali sama ”.[3]
Setelah
memberikan beberapa kutipan dari teks Politics Aristoteles di atas,
kiranya memberikan latar belakang sebuah komunitas dan tindakan politis yang
diformulasikan oleh Aristoteles. Tindakan bernegara atau dalam konteks Athena
pada masa Aristoteles adalah tindakan polis mengandaikan dorongan kodrati
manusia yang disertai dengan bahasa sebagai komunikasi politik.
Sekedar
memberikan gambaran singkat, kaum sofisme yang pada waktu itu berkembang pula
di Athena, menyerukan pandangan politis relativisme, di mana masing-masing
manusia sebagai ukuran. Hal ini kemudian dikritik oleh Plato dengan kebaikan
dan negara yang dipimpin oleh filsuf lewat idealismenya, akan tetapi dikritik
kemudian oleh Aristoteles yang menekankan bahasa kebutuhan bersama dalam polis.
Seperti dalam kutipan di atas, bahasa dalam polis adalah bahasa yang
menekankan keadilan dan kebutuhan bersama demi tercapainya polis yang adil.
Lebih lanjut,
pluralisme yang dikatakan Aristoteles sebagai pembangun dasar polis
menunjukan bahwa tidak ada sebuah negara yang hanya dilingkupi oleh manusia
yang sama. Dalam bahasa lain ide Bhineka Tunggal Ika berbeda tetapi
tetap satu telah 2 milenium lalu adalah syarat dari polis. Jika kita
lihat bersama kebelakang, tragedi genosida yang dilakukan Hitler sangat bertolak
belakang dengan ide persatuan polis Aristoteles. Penyatuan bangsa atas
ras unggul adalah sejarah kehancuran sebuah cita-cita pada keadilan. Dalam
konteks yang lebih dekat, walaupun negara Indonesia berdasarkan persatuan
masyarakat yang berbeda-beda suku dan wilayah, tapi kadang-kadang praktek
politiknya berdasarkan kepentingan masing dan mementingkan kepedulian golongan.
Bentuk-bentuk Negara dan
Konstitusi
Negara ideal menurut Aristoteles adalah polis atau
negara kota. Negara bentuk polis memiliki bayangan sebuah negara yang
tidak terlalu besar dan kecil. Tentang kekuasaan negara polis,
Aristoteles berpendapat bahwa karena negara merupakan tingkat tertingi maka ia
memiliki kekuasaan mutlak atau absolut.[4]
Tujuan negara menurut Aristoteles pada prinsipnya sama dengan tujuan manusia
yaitu agar mencapai kebahagiaan. Maka negara oleh sebab itu bertugas untuk dan
mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan penduduknya. Selain itu negara dalam
pandangan Aristoteles harus memiliki sebuah konstitusi di mana konstitusi
terkait dengan sebuah jabatan pemerintah dan ini mewakili konstitusi. Dengan
kata lain jabatan yang di pegang oleh seseorang dalam sebuah pemerintahan harus
berdasarkan konstitusi yang telah disepakati dalam sebuah negara dalam bentuk
keutamaan.
Konstitusi
menurut Aristoteles paling tidak harus terdiri dari tiga bagian, diantaranya;
bagian pembuat hukum yang menguji hal-hal yang bermanfaat untuk keentingan
umum. Adapun bagian tersebut adalah instansi yang yang memberi pertimbangan
tentang hal-hal publik, kedua adalah para pejabat, dan terakhir adalah
peradilan.
Negara
yang ideal dalam pandangan Aristoteles berkaitan erat dengan moralitas.
Pandangan ini kemudian dapat mengklasifikasikan sebuah negara pada bentuk yang
baik dan buruk. Negara yang baik adalah negara yang dapat melaksanakan tugasnya
sebagai penjamin warga negara dan yang buruk adalah negara yang gagal.
Untuk
menetapkan sebuah bentuk negara Aristoteles menetapkan beberapa kriteria
diantaranya; pertama, berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah
dipegang satu orang, beberapa orang ataukah banyak. Kedua, apa tujuan
dibentuknya negara. Apakah bertujuan untuk
mensejahterakan dan demi kebaikan umum ataukah hanya untuk si penguasa
saja. Berdasarkan kritera ini. negara dapat diklasifikasikan pada beberapa
kategori.
Negara
monarki, apabila kekuasaan di tangan satu orang, bertujuan untuk kebaikan dan
kesejahteraan semua. Maka ini bentuk pemerintahan terbaik, negara ideal. Adapun
bentk penyimpangan terhadap konstitusinya adalah tirani. Di mana kekuasan di
tangan satu orang dan kekuasaan demi kepentinan pribadi dan sewenang-wenang.[5]
Kedua,
adalah bentuk aristokrasi di mana kekuasaan negara dipegang oleh beberapa orang
dan bertujuan baik demi kepentingan umum. Adapun penyimpangan terhadap bentuk
negara seperti ini adalah oligarki di mana kekuasan kelompok kaya menjadi
dominan dan penyaluran pada masyarakat umum menjadi terhambat. Kepentingan
oligarki menekankan pada kepentingan para penguasa kaya saja. Kemudian terakhir
negara yang diideakan oleh Aristoteles adalah bentuk negara yang kekuasaanya
terletak ditangan di tangan orang banyak/rakyat dan bertujuan demi kepentingan
semua masyarakat. Bentuk negara ini adalah politeia dan penyimpangannya
adalah demokrasi. Demokrai bagi Aristoteles bukanlah negara yang ideal karena
kekuasaan dipegang oleh masyarakat miskin dan demi kepentingan mereka.
Untuk
memberikan gambaran nyata antara setiap bentuk negara dan penyimpangan
konstitusinya, penulis sajikan gambaran dalam bentuk table berikut
ini:
Bentuk-bentuk konstitusi yang
baik
|
Batasan
|
Bentuk-bentuk konstitusi yang
merosot
|
Batasan
|
Monarki
|
Kuasa satu orang demi
kesejahteran umum
|
Tirani
|
Kuasa satu orang demi
keuntungan satu orang
|
Aristokrasi
|
Kuasa beberapa orang demi
kesejahteraan umum
|
Oligarki
|
Kuasa beberapa orang demi
keuntngan golongan kaya
|
Politeia
|
Kuasa semua orang demi
kesejahteraan umu
|
Demokrasi
|
Kuasa banyak orang demi
keuntungan golongan miskin
|
Bagi Aristoteles revolusi merupakan sesuatu yang
mungkin dalam negara polis. Di mana jika ada ketidaksamaan dan pelecehan
terhadap konstitusi. Jika konstitusi sebagai sebab terjadinya ketidakadilan dan
pelecehan terhadap kepentingan bersama, menurut Aristoteles revolusi adalah
sesuatu yang memungkinkan runtuhnya sebuah negara. Oleh sebab itu kepatuhan
terhadap konstitusi menjadi sebuah kemutlakan yang berarti bukan perbudakan,
akan tetapi hal ini merupakan penyelamatan terhadap konstitusi dan kepentingan
bersama.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, sebetulnya diskursus filsafat
politik Aristoteles memiliki banyak dimensi penafsiran dan tentunya masih belum
usang untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi perpolitikan sekarang. Namun,
sepertinya pergolakan politik khusunya di Indonesia banyak melupakan sejarah filsafat
politik demokrasi. Walaupun sebetunya Aristoteles menolak demokrasi, tetapi bentuk
negara polis memang terlalu kecil untuk masa sekarang.
Di
sisi lain, sebetulnya ada yang perlu digarisbawahi dari pandangan politis
masyarakat pilitik Aristoteles, yaitu tentang bahasa politis dan komunikasi
sebagai sarana dalam tindakan politis. Sejauh ini, berdasarkan sejarah manusia
bahasa dan komunikasi politis menjadi hal yang menarik karena merupakan
kehkasan dan kebebasan individu yang dijamin oleh konstitusi. Dalam ruang
lingkup yang lebih banyak dalam komunitas publik, bahasa politis menjadi bahasa
yang disampaikan berdasarakan kepentingan bersama dan kemajuan peradaban
masyarakat umum. Dengan logos sebagai sarana, maka menurut Aristoteles percakapan
tentang negara untuk menjadikan kepentingan bersama sebagai cita-cita adalah
sebuah keniscayaan.
Sayangnya,
ada banyak yang lupa dengan gagasan ini. Di setiap percakapan politik sekarang
ini tidak menekankan pada kepentingan bersama dan pluralitas. Bahasa politik
sekarang kadang-kadang malah menyebarkan syiar kebencian pada golongan yang
berbeda. Padahal demokrasi bukan berdasarkan penyatuan tetapi persatuan. Inilah
yang di sayangkan. Para politikus lupa pada esensi kebersamaan dan malah
kadang-kadang menggunakan konstitusi sebagai kepentingan dan alat golongannya
masing-masing. Walaupun demikian, kiranya pergolakan politik khusunya di
Indonesia memang bukan persoalan bagaimana menerapkan gagasan Aristoteles saja.
Tetapi, kita masih perlu pada diskursus yang lebih luas dan memerukan
perjuangan yang panjang. Walaupun masih banyak persoalan di tingkat pilar-pilar
demokrasi, tetapi cita-cita pluralisme dan keadilan masih menjadi hal yang
bukan absurd.
Bahtiar Rifa'I
Jakarta 07/07/2011
Bahtiar Rifa'I
Jakarta 07/07/2011
Daftar Pustaka
- Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol I Greek and Rome, Double Day, New York, 1993.
- Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, teks-teks
kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta,
Driyarkara, 2001.
- Jurnal Filsafat driyarkata, edisi XXVI No. 02.
1971.
- Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Terj. Sigit Jatmiko Dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
- Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
2 komentar:
keren
Blog yang bagus... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Niccolo Machiavelli (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/02/wawancara-dengan-niccolo.html
Posting Komentar