Kontrak
Sosial
(Filsafat
Politik John Locke tentang Negara dan Warganegara)
Sebagai seorang filsuf dan teoritisi politik, John Locke sangat
terkenal dengan ide liberalisme dan dianggap sebagai yang melahirkan ideologi liberal.
Pandangan Locke, sangat popular dalam perkembangan demokrasi liberal dalam
perwujudan nyata negara Amerika Serikat. Ide-ide liberal Locke, tercantum dalam
konstitusi Amerika Declaration of Independent dan Universal
Declaration Of Human Right (deklarasi universal hak asasi manusia) 1948
khususnya tentang hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan yang paling penting
hak kepemilikan (property). Namun, apakah yang dimaksud dengan pandangan
politk liberal? Bagaimana John Locke menuangkan ide-ide politik liberalnya
serta bagaimana pandangan kontrak sosial Locke melahirkan paham liberalisme.
Tulisan ini hendak
memfokuskan bagaimana Locke memiliki pandangan filosois tentang politik, memandang
warganegara dalam keadaan alamiah (state of nataure), keadaan perang, dan
kepemilikan. Kemudian bagaimana proses kontrak sosial menjadi penting bagi
terciptannya sebuah negara.
Biographi
John Locke (1632-1704)
Locke dilahirkan pada 29 Agustus 1632 di Somerset, Inggris. Lahir dari
kalangan menengah dan Puritan, ayahnya adalah seorang jaksa dan panitera hukum.
Locke mempelajari karya-karya klasik di Westminster School dan melanjutkan di
Christ Church, Oxford. Setelah lulus, Locke memberi kuliah di universitas
tersebut selama beberapa tahun dan mulai memiliki ketertarikan pada
pendekatan-pendekatan empirisme walaupun dia sangat terpengaruh oleh Descartes.
Setelah ayahnya meninggal, Locke memiliki kesempatan untuk melanjutkan
ketertarikan pada pendekatan empirik dengan mengejar gelar kedokteran.
Dari dunia medis
dan kedekatanya dengan Lord Ashley Earl of Shaftesbury, Locke yang waktu itu
sebagai dokter keluarga ini, menariknaya pada intrik-intrik politik di Inggris.
Earl of Shaftesbury adalah seorang pemimpin oposisi parlemen melawan Stuart
dari faksi Whig. Earl of Shaftesbury memperjuangkan kepentingan politik kaum
pedagang dan memperjuangkan toleransi agama. Ketika Shaftesbury jatuh pada
tahun 1683 dan melarikan ke Belanda, Locke menyusul ke sana karena dicurigai
akibat kedekatannya dengan Shaftesbury. Selama periode pengasingan ini, Locke
menulis beberapa karya penting, A Letter on Toleration, tentang
toleransi praktek keagamaan, An Essay Concerning Human Understanding,
karya filosofis tentang sifat manusia dan empirisme, serta karya politik Two
Treatises on Government. Locke kembali ke Inggris pada 1689 setelah
berakhirnya revolusi (Glorious Revolution) dan meninggal pada 1704.[1]
Konsep
filsafat Politik John Locke dan Warganegara
Pada awalnya karya Two
Treatises of Government adalah dua karya terpisah yang terdiri dari First
Treatise yang merupakan kritk terhadap pandangan Sir Robert Filmer dan
pengikutnya, serta Second Treatise memuat pandangan orisinil
Locke tentang politik. Dua karya ini kemudian tergabung pada karya Two
Treatises of Government. Sebelum memaparkan pandangan Locke tentang kontrak
sosial dan signifikasinya bagi kewarganegaraan, ia memberikan analisa
antropologis tentang manusia. Tidak seperti Hobbes dalam Leviathan, Locke
memberi jarak yang lebih lunak tentang pandangannya terhadap manusia dan proses
terbentuknya kesepakatan sosial. Manusia dalam pandangan Locke digambarkan
secara damai dan tidak sebuas serigala seperti dalam Leviathan. Berikut
ini akan dipaparkan pandangan antropologis Locke sampai terbentuknya
kesepakatan sosial dalam sebuah negara persemakmuran.
Warganegara dan State of Nature
Menurut Locke, manusia dasarnya adalah bebas dan setara pada kondisi
alaminya. Ia ada di dunia ini sebagai pribadi yang tidak tergantung pada
sesuatu apapun dan bebas melakukan kehendaknya. Tidak ada seorangpun yang lebih
tinggi dalam kekuasaan pribadi maupun dalam kekuasaan memerintah dan
subordinasi. Keadaan ini digambarkan oleh Locke sebagai “ ...a state of
perfect freedom to order their action, and dispose of their possessions and persons
as they think fit…”[2], dan
kesetaraan sebagai “A state of equality, wherein all the power and
jurisdiction is reciprocal”[3].
Karena manusia terlahir dengan mengemban kebebasan dan kesetaraan, dan
agar tidak terjadi pengekangan dan subordinasi terhadap pribadi yang lain,
Locke memberikan batasan bahwa keadaan kebebasan tersebut bukan berarti suatu
keadaan untuk berbuat sekehendak hatinya. Menurut Locke, keadaan alami (state
of nature) memiliki hukum alam (laws of nature) sebagai pengatur. Hukum
alam ini, adalah pengatur dan yang mewajibkan setiap pribadi dan akal, walaupun
bebas setara dan independen, untuk tidak berlaku sekehendak hati dan merugikan
orang lain dalam kehidupan, kesehatan, kebebasan, atau kepemilikan.[4] Hukum
alam ini, hendaknya dipatuhi karena setiap manusia merupakan penjaga
kelangsungan pribadinya juga menjaga kelangsungan umat manusia.
Namun, bagaimana
jika ada yang melakukan sebuah pelanggaran terhadap hukum alam tersebut? Locke
mengatakan bahwa walaupun manusia setara tapi kesetaraan tersebut tidak sebagai
pengeksekusi bagi adaanya pelanggaran. Kekuasaan terhadap pelanggaran terhadap
keadaan alami seseorang tidaklah absolut dan sewenang-wenang, dan hukuman
diberikan pada ukuran proporsional dengan pelanggarannya, dan hendaknya hukuman
diberikan atas dasar perbaikan dan pengendalian.[5]
Sedangkan yang memberi keputusan untuk mengeksekusi pelanggar, bukanlah setiap
manusia tersebut, ini dikhawatirkan malah akan melahirkan kesewenang-wenangan
dan keberpihakan. Oleh karena itu, dalam kondisi ini dibutuhkan pemerintahan
sipil.[6]
Warganegara
dan State of war
Menurut Locke, keadaan perang adalah “a state of enmity and
destruction”.[7]
Dengan demikian, warganegara dalam kondisi ini mengalami permusuhan dan saling
menghancurkan satu sama lain. Saling membunuh, saling mencuri dan agresi.
Berbeda dengan keadaan alami yang dipaparkan dengan kondisi damai dan saling
tolong menolong serta bebas. Keadaan perang mengancam hak-hak yang ada pada
kondisi alami manusia sehingga yang terjadi adalah rencana kekuasaan sang aggressor
dan yang tertindas. Dalam kondisi seperti ini, kontrak sosial terlanggar dan law
of nature tidak ada sama sekali serta mengancam properti orang yang
tertindas.
Untuk mengendalikan
keadaan permusuhan dan penghancuran, Locke membuat tesis dengan dibentuknya
sebuah negara yang menjamin hak-hak alami masyarakat. Tentang kesepakatan dalam
penjagaan dan pembentukan sebuah negara akan dijelaskan pada pembahasan
selanjutnya.
Warganegara
dan Properti
Bagian pada pembahasan tentang properti merupakan pembahasan sentral
dalam ide-ide Locke. Walaupun pada awalnya bersifat teologis. Tuhan menurut
Locke senantiasa memberikan kebebasan untuk mengelola alam sekitar, konsep
properti Locke amat sukses sebagai dasar liberalisme. Dia mengungkapkan bahwa:
“Though the earth and
all inferior creatures be common to all men, yet every man has a “property” in
his own “person.” This nobody has any right to but himself. The “labour” of his
body and the “work” of his hands, we may say, are properly his. Whatsoever, then,
he removes out of the state that Nature hath provided and left it in, he hath
mixed his labour with it, and joined to it something that is his own, and
thereby makes it his property. It being by him removed from the common state
Nature placed it in, it hath by this labour something annexed to it that
excludes the common right of other men. For this “labour” being the
unquestionable property of the labourer, no man but he can have a right to what
that is once joined to, at least where there is enough, and as good left in
common for others”.[8]
Manusia pada pandangan
di atas paling tidak memiliki properti atas dirinya sendiri dan dia sepenuhnya
penguasa bagi perkembangan dirinya. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi dari
pernyataan di atas adalah tentang kerja yang menjadi landasan bagi kepemilikian
akan properti bagi setiap manusia. Karena kerja bagi Locke, memberikan satu
properti.
Namun, itu saja ternyata tidak cukup, pembahasan
tentang properti menjadi sentral bukan karena begitu saja ada dalam pembahasa Second
Treatises of Government. Locke yang seorang Puritanisme dan pendukung faksi
Whig, menjadikan alasan properti sebagai pengikat dan alasan utama bagi
terbentuknya sebuah kontrak sosial. Entah ini suatu pandangan yang keliru, bagi
Locke pemerintahan dan hukum-hukumnya ada untuk melindungi properti
masyarakatnya. Dan yang mengancam hak untuk kepemilikan dan properti adalah suatu
keadaan peperangan.
Kontrak
Sosial dan Masyarakat Politis dalam Pandangan Locke
Membicarakan kontrak sosial bagi terciptannya masyarakat politik tanpa
membicarakan teoritisi masyarakat sebelum Locke, rasannya takut menimbulkan
keterputusan sejarah. Sebelum Locke, Thomas Hobbes (1588-1679) telah dulu
membicarakan kontrak sosial dalam masyarakat. Seperti Locke, Hobbes juga
melihat manusia dalam pandangan hukum alaminya. Dalam pandangan politiknya,
manusia dipandang sebagai seseorang yang digerakan oleh nafsu dan gairah
penguasaan. Disamping itu manusia juga memiliki gairah perdamaian. Agar dapat
terjalin keharmonisan, masyarakat menurut Hobbes harus bersatu dalam kesepakatan
sosial dengan penyerahan hak secara bersama demi keselamatan bersama dan
penjagaan kehidupan bersama. Kemudian, pengejawantahan kontrak sosial ada dalam
pemerintahan. Dan sayangnya, Hobbes
menghendaki kekuasaan yang bersifat monarki absolut yang memiliki potensi bagi
terciptannya otoritarianisme kekuasaan.
Berbeda dengan pendahulunya, Locke melihat manusia lebih damai dengan
keadaaan-keadaan yang melekat padanya kebebasan, kesetaraan dan hak untuk
kepemilikan. Atas dasar ini, khususnya untuk kelangsungan hidup bersama dan
terjagannya hak-hak yang melekat tersebut, individu melakukan kesepakatan
bersama dengan menanggalkan kekuatan-kekuatan alaminya sendiri. Di sini, pada
dirinya manusia tidak bisa melakukan kebebasan sekehendak dirinya. Dia harus
melepaskan kekuatan eksekutif alaminya, dengan menyerahkan persoalan pada
komunitas. Dari sinilah kemudian kontrak sosial antara individu melahirkan
masyarakat politik.
Sebagai seorang yang anti pada absolutisme serta agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang, Locke mensyaratkan sebuah lembaga legislatif untuk
memecahkan persoalah yang berkaitan dengan hukum-hukum. Lembaga masyarakat
politik harus persemakmuran, dan hukum harus kepanjangan tangan bagi
kepentingan-kepentingan masyarakat politik. Dan sebelumnya, masyarakat politis
harus juga menyerahkan hak eksekutif alaminya pada persemakmuran. Ini yang
kemudian melahirkan pembagian kekuasaan dalam bentuk eksekutif sebagai penggerak
roda bagi kepentingan pembentukan kebijakan legislatif.
Lalu apakah tujuan diciptakannya sebuah persemakmuran di bawah sebuah
pemerintahan? Locke secara tegas menjawab bahwa “…is the preservation of
their property…”.[9]
Pemerintahan ada untuk menjaga properti-properti para masyarakatnya yang
bersepakat dalam masyarakat politis. Oleh karena itu, otoritas negara menurut
pandangan Locke terlihat seolah sempit dan terlalu sederhana karena berfungsi
terutama demi penjagaan-penjagaan properti masyarakatnya.
Kemudian, walaupun masyarakat bersepakat untuk menyerahkan hak-hak
dasar mereka dalam membentuk sebuah pemerintahan, kekuasaan pemerintah tidak
secara mutlak dan terbatas. Kekuasaan negara ada karena kesepakatan masyrakat
dan ada demi kepentingan penjagaan properti mereka. Dan ketika penyaluran atas
penjagaan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh negara, menurut Locke,
masyarakat berhak untuk membubarkan pemerintahan.
Sebetulnya, Locke
telah dengan tepat mengantisipasi agar negara tidak sewenang-wenang
menyalahgunakan kekuasaan dengan pembagian kerja pada wilayah eksekutif dan
legislatif. Namun, persoalan pembagian kerja atas dua lembaga ini saja belum
cukup. Tidak ada jaminan bahwa eksekutif akan menjalankan pemerintahan sesuai
dengan apa yang terundang-undangkan dan telah diamanatkan oleh rakyat. Selalu
ada godaan bagi eksekutif untuk meyalahi aturan dan berlaku sewenang-wenang.
Dan ini sah bagi rakyat untuk membubarkan pemerintahan demi merebut kembali
kepercayaan yang telah diberikan.
Kritik atas
Konsep Kontrak Sosial Locke
Sebagai seorang filsuf empirisme, epistemologi Locke terhadap pandangan
manusia tertuang dalam karyanya Essay Concerning Human Understanding. Dalam
karya ini Locke terkenal karena manusia dipandang sebagai tabula rasa (kertas
putih). Manusia, bagaimanapun adalah kosong ketika dia lahir ke dunia, dan
pengalaman yang memberikan pengertian-pengertian pada realitas yang dirasakan
oleh manusia. Pengalaman tentang hidup, cinta, kekerasan, kebendaan, kesenangan, adalah fenomena yang memberikan
khasanan pada manusia. Dunia realitas adalah kawahcandradimuka yang mesti
manusia selami dan rasakan kepedihan dan kesenangannya.
Sebagai empirisme, pengalaman dia sebagai seorang dokter, kondisi sosial
Inggris yang bergejolak perang saudara mempengaruhi pemikiran Locke dalam
mendefinisikan manusia. Pemberian definisi tentang manusia yang memiliki hak
untuk hidup, bebas dan memiliki properti merupakan salah satu kritik terhadap
konsep Robert Filmer dan Hobbes. Ketiga hak ini adalah mutlak bagi manusia dan
bersifat inalienable atau tidak dapat dicabut. Individu bahkan negara
tidak punya hak untuk mengurangi, membatasi dan mempengaruhi ketiga hak ini, dan
artinya negatif untuk campur tangan kecuali untuk kepentingan bersama. Untuk
masa sekarang, ketiga hak tersebut sangat mempengaruhi konsep hak asasi manusia
khususnya tentang pembagian hak antara yang melekat telah ada semenjak manusia
ada (hak untuk hidup, bebas, berkeyakinan) dengan hak yang sengaja harus
diberikan negara secara positif (hak untuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan,
partisispasi politik) karena warga negara telah memberikan hak alaminya.
Akan tetapi, Locke terlalu mereduksi dan memberi garis merah bahwa
properti adalah yang menentukan kemanusiaan tersebut. Entah kenapa, hal ini bisa
jadi karena terkait dengan dirinya yang seorang Puritan dan pendukung faksi
Whig di parlemen, dan ingin formulasi tersebut menjadi kepentingan yang
memfasilitasi golongannya. Setelah faksi Whig menang di parlemen dan Inggris
mengalami revolusi, ide tentang properti Locke memang menjadi semacam
Whiggisme. Akan tetapi ide tentang hak-hak alaminya berkembang melintasi
samudra jauh di Amerika. Dan orisinalitas pemikirannya dilupakan sedikit demi
sedikit, karena ternyata faksi Whig berkuasa dengan potensi otoritarian.
Kesepakatan masyarakat dan
pemberian hak alami pada institusi atau komunitas yang disebut sebagai negara,
itu juga memiliki kelemahan. Negara dalam pandangan ideal Locke dibangun untuk
menjamin hak-hak warga negara agar terpenuhi dan properti-properti mereka
terjaga. Dan apabila negara sudah tidak perduli pada warganegarannya dan tidak
menjamin hak-hak warganegara, negara sudah tidak punya hak lagi untuk mengatur
dan memerintah warganegarannya. Oleh karena itu, merupakan hak alami bagi
warganegara untuk membubarkan negara yang tidak bertanggungjawab kepada
warganegara.
Karena memiliki potensi penyalahgunaan kekuasaan, pembagian kerja
disyaratkan agar negara tidak menyalahi aturan untuk menjaga hak-hak warga
negara. Pembagian kerja dalam pemerintahan model Locke, terdiri dari eksekutif
sebagai yang menjalani undang-undang, legislatif pembuat aturan dan
undang-undang berdasarkan hak-hak warganegara, dan federatif yang mengurusi masalah
luar negeri serta ancamannya.
Pembagian kekuasaan
ini-yang nanti disempurnakan oleh Montesquieu-tetap memiliki kelemahan. Dalam
pandangan Locke kekuasaan terpenting adalah legislati karena dia adalah wakil
dari aspirasi pandangan umum dan kehendak masyarakat. Akan tetapi bagaimana
jika malah legislatif membuat ketentuan berdasarkan atas kehendak dirinya
sendiri dan hukum berdasarkan kelompoknya. Dan yang terjadi, sepeninggalan
Locke pada kurun abad ke-17 dan 18, kelompok Whig menjadi kekuatan dominan di
parlemen dan malah semakin korup dan mengontrol kekuatan Majelis Rendah. Partai
Whig didominasi oleh sejumlah aristokrat dan dengan memandang hak serta
kebebasan mereka sebagai benteng hak dan kebebasan orang Inggris.[10]
Kesimpulan
Pandangan Locke di atas, jika kita cermati dengan seksama memang sangat
rasional dan sistematis. Bermula dari pandangan epistemologinya tentang manusia
sebagai tabula rasa, kemudian bagaimana seorang manusia dengan beragam
pengalamannya bisa mendirikan sebuah persemakmuran dengan prasyarat kontrak
sosial. Akan tetapi, dalam pandangan umum politik dan kontrak sosial Locke
bukan tidak ada kelemahan.
Pertama, penekanan Locke terhadap hak yang umumnya fokus pada kepemilikan
ternyata menimbulkan banyak masalah pada masa sekarang. Kepemilikan pada masa setelah
kapitalisme berkembang dan menancapkan idenya tidak hanya dalam individu tapi
korporasi dan negara. Ternyata memberikan persoalan perbedaan dan ketimpangan
kekayaan. Artinya kepemilikan memberikan ruang privat yang baru dan meniadakan
orang yang tidak memiliki properti. Inilah mungkin yang malah melahirkan
prinsip neo-liberalisme karena terpengaruh oleh kapitalsme.
Liberalisme pada tataran korporasi, tidak hanya memberikan keistimewaan
pada pemilik modal, akan tetapi menegasikan juga batas-batas teritori sebuah
negara. Persemakmuran yang menuurt Locke mesti memiliki kekuatan federatif dari
serangan asing, ternyata tidak mampu menahan laju globalisasi ekonomi
kepemilikan modal sebagai serangan ekonomi.
Tercatat krisis yang terjadi di Thailand tahun 1997 karena ekspansi
ekonomi yang terlalu agresif dan spekulatif oleh pemilik modal berdampak pada
naiknya kurs dolar terhadap mata uang lokal. Selain itu, krisis ini menimbulkan
pergolakan politik dan terjadi perombakan kabinet dan lengsernya pimpinan pemerintahan
setempat. Selain itu, krisis lokal Thailand berimbas pada krisis ekonomi
moneter di seluruh kawasan Asia Tenggaran, Korea Selatan dan Hongkong. Kemudian,
krisis ekonomi global tahun 2007-2008 di Amerika yang menurut sebagian pengamat
ekonomi lebih berbahaya dari Depresi Ekonomi paska Perang Dunia ke-2, memiliki
imbas yang melewati batas-batas kenegaraan. Padahal krisis ini hanya
diakibatkan oleh kredit macet perumahan (supreme mortgage) yang terjadi
di Amerika Serikat. Akan tetapi akibatnya, tidak hanya terjadi penurunan saham
global, kebangkrutan perusahaan Lehman Brother, Merril Lynch dan industri
otomotif dunia yang bertarap perusahan multinasional. Di wilayah Indonesia,
krisis ini mengakibakan rencana penyelamatan terhadap Bank Century dengan
talangan 6,7 trilyun rupiah. Selain beberapa peristiwa tersebut, baru-baru ini
krisis yang terjadi di Yunani akibat ketidakdisiplinan pihak swasta (pemilik
modal) dalam mengeluarkan kebijakan fiskal, dan pembayaran hutang, juga
mengakibatkan krisis transnasional terutama negara-negara besar Uni Eropa
seperti Perancis, Spanyol, Italia dan Portugal.
Bahkan belum lama ini, aksi-aksi Occupy
Wallstreet (menduduki Wallstreet)
masih terus berlangsung. Di Amerika, kalangan yang mengatasnamakan 99% warga
negara Amerika yang secara ekonomi memiliki property terbatas. Mereka adalah
golongan yang kesulitan mencari kerja, tidak memiliki jaminan sosial, dan jauh
di bawah standar kepemilikan para bankir yang kebanyakan mengkontrol keuangan
global. Para pendukung gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia
seperti Australia, New Zealand, Hong Kong bahkan ke Indonesia.
Di Indonesia sendiri, fakta kejadian yang menarik dicermati adalah
persoalan semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Semburan yang terjadi murni
karena kesalahan manusia ketika melakukan pengeboran minyak dan gas oleh perusahaan
Lapindo Brantas, ternyata diangap oleh pemerintah sebagai bencana alam murni.
Tidak heran kenapa pemerintah sampai berkesimpulan seperti itu, faktannya bahwa
Lapindo Brantas adalah anak perusahaan dari Bakrie Brothers yang
mayoritas sahamnya dimiliki oleh milyuder Aburizal Bakrie yang pada waktu itu
menjabat di kabinet pemerintah dan sekarang menjabat sebagai Ketua harian
Sekretariat Gabungan Partai Koalisi. Posisi yang sangat sulit bagi pemerintah
untuk tegas memberikan hukuman atau karena mereka sama-sama sebagai pemilik
modal yang menguasai negeri ini.
Kedua, yaitu mengenai peranan negara dalam pandangan Locke.
Dalam istilah filsafat politik konsep negara ideal menurut Locke tergambar
seperti negara minimum (minimum government) atau negara yang hanya
mengurusi pada hak-hak tertentu saja. Lalu, apakah minimum government
bermasalah bagi konsep negara persemakmuran Locke yang berdasarkan kontrak
sosial?
Tentu saja, minimum government memiliki kelemahan pada wilayah
partisipasi dan kegunaan adannya pemerintah itu sendiri. Dalam pemerintahan
yang minimum, negara berfungsi hanya sebagai penjaga hak-hak warganegarannya,
terutama hak kepemilikikan. Keterlibatan negara tidak menjadi syarat bagi
berkembangnya suatu peradaban warganegara, karena negara bersifat negatif
mencampuri urusan kepemilikian. Dalam istilah politik, negara yang seperti ini
sering dikaitkan dengan istilah Negara Penjaga Malam.
Dalam kondisi ketika negara sudah tidak lagi menjaga hak-hak warganegarannya
(terutama kepemilikan), sebagaimana telah dibahas di atas, negara bisa
dibubarkan dan pemerintahan bisa digantikan. Locke tidak menyadari bahwa konsep
negara persemakmuran (commonwealth) tergambar seperti negara yang kecil
batas teritorinya. Karena tidak mungkin, bagi negara yang terlalu sentralisir
dan besar dapat dengan mudah melakukan pembubaran pemerintahan. Walaupun dengan
adanya desentralisasi seperti di Indonesia, pemerintahan setempat tidak bisa
dibubarkan dengan mudah.
Tentang ide pembubaran negarannya pun, Locke kurang melihat konteks
pada siapa kekuasaan dipegang. Jika dalam pandangan Locke yang harus diberikan
kekuasaan lebih adalah eksekutif karena dia sebagai pengemban amanat dalam
kontrak sosial. Lalu bagaimana jika ternyata pihak eksekutif sebagaimana telah
digambarkan pada kasus-kasus di atas, menyalahi aturan-aturan kontrak sosial. Pada
kondisi tersebut, pihak legislatif tidak hanya bisa mempengaruhi eksekutif dan
kebijakan internasional (federatif) akan tetapi dia telah menjadi otoritatif
dan sewenang-wenang. Sesuatu yang justru sangat ditentang Locke seperti
kritiknya atas otoriterianisme Robert Filmer dan Thomas Hobbes.
Bahtiar Rifa'i
19/11/2011
Catatan
[1]
Joseph Losco & Leonard Williams, Political Theory (Kajian Klasik dan
Kontemporer), (Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 134-135
[2]
John Locke, Two Treatises of Government (in the Former, the False Principle
and Foundation of Sir Robeert Filmer, and His Followers, Are Detected and
Overthrown: The Latter, Is an Essay Concerning the Original, Extent, and End,
of Civil Government ), (London: 1823), bab II, pasal 4, hlm. 106.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid. bab II, pasal 6, hlm. 107.
[5]
Ibid bab II, pasal 8, hlm. 108.
[6]
Ibid bab II, pasal 13, hlm. 110.
[7]
Ibid Bab III, pasal 16, hlm. 112.
[8]
Ibid Bab V, pasal. 26. hlm. 116.
[9]
Ibid Bab IX pasal, 124, hlm. 159
[10]
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa
Depannya), (Yogyakarta: Qalam, 2004), hlm. 24.
Daftar Pustaka
1. Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Konsep,
Ragam, Kritik, dan Masa Depannya), (Yogyakarta: Qalam, 2004).
2. Locke, John, Two Treatises of Government (in the
Former, the False Principle and Foundation of Sir Robeert Filmer, and His
Followers, Are Detected and Overthrown: The Latter, Is an Essay Concerning the
Original, Extent, and End, of Civil Government ), (London: 1823).
3. Losco, Joseph & Williams, Leonard, Political
Theory (Kajian Klasik dan kontemporer), (Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada,
2005).
4. Russel,Betrand. Sejarah
Filsafat Barat & Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman
Kuno-Sekarang,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002).
5. Thomas, Lioyd D. A., Locke on Government, (London: Routledge,
1995).
0 komentar:
Posting Komentar