Pengalaman Religious dalam
Fenomenologi dan Psikologi
Perjalanan panjang sejarah agama
sama lamanya dengan sejarah manusia. Semenjak manusia ada di bumi, agama dengan
berbagai bentuk pemujaannya berdampingan dengan aspek kehidupan manusia. Bahkan
dalam salah satu agama, sebelum manusia, agama telah ada di alam antah berantah
bernama dunia Tuhan dan malaikat-Nya. dikisahkan bahwa, di sana Tuhan berbincang-bincang
dengan malaikat, setan dan calon manusia pertama yang akan turun ke bumi ini.
Agama menjadi unsur
penting dalam kehidupan manusia, karena keberadaan agama tersebut merupakan
kebututuhan alami manusia itu sendiri. Bentuknya bisa bermacam-macam, agama
bagi manusia primitif adalah pemujaan bersama dalam tarian-tarian dan nyayian
di tengah alun-alun desa memuja nenek moyang mereka, agama adalah pemujaan
terhadap pohon dan gunung yang mempunyai kekuatan misterius. Dalam kepercayaan
Buddha, agama adalah pembentukan diri menjadi manusia yang lahir untuk
keduakalinya menjadi manusia sempurna dengan pembentukan alam fikiran (state
of mine) menuju Nirwana.
Banyak
pengertian dan tafsir tentang agama dan kenapa manusia beragama. Untuk
membatasi permasalahan tersebut penulis akan membatasi pengertian agama hanya
pada pengertian yang memiliki kecenderungan pada nilai psikologi dan
fenomenologi. Menurut Erich Fromm, psikoanalis dan tokoh dari pemikir Mazhab Frankfurt,
agama adalah suatu sistem berfikir dan berperilaku yang dilakukan bersama
kelompok yang memberikan kerangka orientasi dan objek pengabdian pada entitas
tertentu. Walapun pengertiannya sangat luas, akan tetapi muncul beberapa
dimensi penting dari agama dan keberagamaan manusia, diantaranya agama sebagai sistem
berfikir, memiliki perilaku yang khusus, dijalankan oleh kelompok dan memiliki pengabdian
pada Tuhan.[1]
Dari
pengertian di atas, muncul kemudian alasan kenapa manusia harus beragama dan
menjalankan aturan-aturan kegamaan seperti ibadah dan pengabdian kepada Tuhan.
Dalam Man for Himself, bagi Fromm, kesadaran-diri, akal dan imajinasi
adalah alasan kenapa manusia beragama. Akal sebagai aspek being (ada)
dalam diri manusia adalah anugerah sekaligus bencana. Akal mendorong manusia
untuk mencari hakikat eksistensi manusia karena ia bersifat dinamis dan mencari
kepuasan yang selalu berbeda. Tidak seperti makhluk lain yang statis, manusia
melakukan pengembaraan menuju eksistensi puncaknya lewat akal dan
alasan-alasan. Inilah yang sama terjadi pada Ibrahim di agama Samawi yang
mencari Tuhannya lewat pengembaraan spiritual yang didasarkan pada akal, juga sama
terjadi pada Odysseus dan Oedipus dalam mitologi Yunani.[2]
Dalam
Oxford Dictionary agama memilki pengertian yang mengandung unsur teistik
keilahian. religion is belief in the existence of a supernatural ruling
power, the creator and controller of the universe, who has given to man a
spiritual nature which continues to exist after the death of the body. Manusia
secara kodrati percaya akan adanya kekuatan yang absolut di luar kemampuannya
dan mengontrol dirinya untuk melakukan pemujaan dan pengakuaan akan kekuatan
itu. Akibat dari pengakuatan dan ibadah pada kekuatan absolut, manusia kemudian
bisa dikategorikan menjadi tipe orang yang memiliki kepatuan beragama (obedience),
dan manusia yang tidak patuh terhadap peraturan agama (disobedience). Di
sini agama memiliki pengertian sebagai pengenalan (recognition) manusia
akan kekuatan gaib yang lebih tinggi yang mengontrol tujuan hidup manusia, atau
sesuatu hal yang dijuluki sebagai pengabdian, pemujaan dan persembahan.[3]
Penekanan
akan adanya kekuatan absolut yang Maha Tahu, Yang Maha Menguasai, Yang Maha
Melindungi di luar seluruh kemampuan terbatas manusia, merupakan corak pada
agama yang diajarkan dalam Islam, Kristiani, Hindu, Yahudi, dengan jumlah
penganut terbesar di dunia. Bentuk ajaran dari keempat agama tersebut, banyak
menganjurkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan spiritual dan
praktek-praktek pemujaan kepada Tuhan. Tuhan karena memiliki sifat yang Maha,
dan manusia dengan sifat keterbatasannya diwajibkan untuk meminta perlindungan,
petunjuk, dan kasih sayang dari-Nya yang menguasai jagad raya.
Penganjuran-penganjuran tersebut yang melahirkan banyak praktek ritual (ibadah)
bermacam-macam dalam setiap agama. Ibadah dalam bentuk sederhannya adalah
perjalanan spiritual manusia untuk dapat secara langsung merasakan akan adanya
kekuatan Tuhan yang sesungguhnya. Kekuatan Tuhan atau perasaaan akan adannya
Tuhan tersebut menjadi pengertian penulis untuk menggunakan istilah pengalaman
religius (religious experiences) sebagai objek perbandingan antara
fenomenologi agama dan psikologi agama.
Pandangan Fenomenologi Agama Tentang
Pengalaman Religius
Istilah
fenomenologi, banyak dipakai oleh para pakar filsafat. Khususnya di German, istilah
ini berakar dari tradisi yang dikembangkan oleh Immanuel Kant sekitar abad
delapan belas. Kant menganalisa “phenomena” sebagai kumpulan dari
pengalaman-pengalaman dan memunculkan sesuatu sampai terbentuk
sedemikian rupa pada fikiran manusia. Kemudian Kant memberikan perbedaan dan
makna untuk istilah “noumena” atau “sesuatu” yang
membentuk pikiran manusia tadi sebagai objek yang dapat dipelajari oleh akal
sehat, ilmiah dan objektif.[4]
Selain itu,
istilah fenomenologi dipakai juga oleh G. W. F. Hegel dalam bukunya Phenoenology
of Spirit sebagai kritik atas dualisme phenomena-noumena
Kant. Menurut Hegel, fenomena adalah perwujudan nyata (manifestasi) dari
pengetahuan-manifestasi dari hasil perkembangan spirit[5]
dalam diri manusia-yang muncul dari kesadaran yang terpendam dan hasil
pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan kemudian mencapai puncaknya dalam
bentuk pengetahuan absolut. Fenomenologi menurut Hegel adalah ilmu pengetahuan
berdasarkan akal budi yang sadar akan perkembangan spirit dan mencari
tahu esensi yang sesunguhnya.[6]
Sedangkan
fenomenologi agama, sangat berbeda dengan fenomenologi dalam tradisi filsafat.
Disepakati oleh para ahli bahwa fenomenologi agama adalah disiplin penelitian
yang secara umum masuk pada wilayah Religionwissenschaft, yaitu
penelitian secara ilmiah pada wilayah agama yang dapat berupa ibadah,
penyembahan ataupun mitos dalam agama.[7]
Karena sifatnya
hanya sebagai model penelitian keagamaan, fenomenologi memfokuskan penelitiannya
tentang pengalaman religius pada agama manusia. Fenomeologi agama, tidak
meneliti kenapa manusia harus beragama, dan alasan-alasannya tetapi
fenomenologi agama meneliti hasil-hasil dari alasan manusia beragama.
Bentuk-bentuk ekspresi keagamaan seperti berdoa, sembahyang, atau bentuk
pemujaan pada Tuhan dengan ritual tertentu adalah objek penelitian dari
fenomenologi agama. Kategori yang dipakai dalam pengelompokan beberapa ritual
menyembah Tuhan seperti di atas adalah bentuk pengalaman-pengalaman manusia
tentang adannya kekuasan yang absolut di luar kemampuan manusia.
Pada
perkembangannya, istilah dan pemakaian fenomenologi agama sebagai disiplin yang
mengkaji berbagai fenomena-fenomena pengalaman religius dapat dibedakan menjadi
empat kelompok utama. Pertama, kelompok yang menggunakan fenomenologi
hanya sebagai metode investigasi pada fenomena-fenomena yang dapat diteliti
secara jelas berupa fakta atau peristiwa dalam agama. Kedua, kelompok
yang didasari oleh ahli dari Belanda P. D Chantepie de la Saussaye, yang
menggunakan fenomenologi agama sebagai komparatif studi (kajian perbandingan)
dan klasifikasi tentang perbedaan jenis fenomena-fenomena dalam agama. Ketiga,
kelompok yang menggunakan fenomenologi agama sebagai cabang pada disiplin
ilmu, dan metode dalam Religionwissenschaft atau studi agama. Penggunaan
pengertian ini banyak dipakai oleh para pakar studi agama seperti W. Brede
Kristensen, Gerardus Van der Leeuw, Joahim Wach, C, Jouco Bleekr, Mircea Eliade
dan Jacques Waardenburg. Keempat, kelompok yang menggunakan fenomenologi
agama sebagai pengaruh dari filsafat fenomenologi, tokoh dari kelompok ini
seperti fenomenolog German Max Scheler dan Paul Ricoeur.[8]
Karena
fenomenologi memiliki akar dari filsafat, maka perlu diperhatikan perbedaan mendasar
dari pertannyaan filsafat fenomenologi dan fenomenologi agama. Jika ada pertannyaan
kenapa manusia harus percaya akan Tuhan?. Filsafat fenomenologi akan
mempersoalkan manusia yang percaya terhadap Tuhan dengan mempertannyakan
kepercayaan tersebut pada wilayah yang normatif. Mereka akan mengajukan
pertannyaan dan alasan manusia harus mempercayai Tuhan. Mereka akan
mempertannyaan kebenaran dan kenyataan pengalaman manusia terhadap Tuhan dalam
ibadah-ibadah mereka pada Tuhan. Apakah kebenaran dari bukti eksistensi Tuhan bagi
mereka yang beragama.[9]
Berbeda dengan
filsafat fenomenologi yang mempertannyakan keberadaan dan bentuk pembuktian
esensi Tuhan ketika manusia memiliki kepercayaan kepada-Nya. Fenomenologi agama
sebagai disiplin ilmu hanya menggambarkan fenomen-fenomena agama dengan
berbagai bentuk pengalaman keagamaannya dan menginterpretasi makna dari
keberagaman manusia seobjektif mungkin.[10]
Oleh karena
itu, fenomenologi agama bukan bentuk disiplin yang mendalam untuk mempersoalkan
pengalaman religius umat manusia. Untuk bentuk pengalaman religius yang umum
dalam agama-agama dunia seperti doa,
fenomeologi agama tidak mencari kebenaran hakiki dari alasan manusia harus
berdoa. Fenomeologi agama hanya meneliti dan menggambarkan fenomena doa sebagai
data empiris untuk bahan penelitian agama, mensistematisasi fenomena doa dalam
bentuk penelitian-penelitian, mencari akar sejarah dari doa dalam agama-agama
dunia. Maka tidak dapat disangkal bahwa dengan karakteristik fenomenologi agama
di atas, dalam meneliti pengalaman religius, fenomenologi agama akan banyak
menghasilkan data keagamaan yang beragam. Untuk meneliti bentuk spesifik dari
pengalaman religius seperti doa, penelitian fenomenologi agama bisa
menghasilkan berjilid-jilid data sejarah tentang doa dan mungkin bisa
menghasilkan bentuk sejarah agama-agama manusia hanya dengan meneliti doa.
Pandangan Psikologi Agama Tentang
Pengalaman Religius
Psikologi agama mempelajari fenomena-fenomena dalam
berbagai agama sejauh bisa dipahami secara psikologis. Dasar ini walaupun
banyak ditentang oleh pengikut agama karena sifatnya yang mereduksi agama pada
psikologi, akan tetapi menjadi landasan penting karena metode kritiknya yang
dapat mempertanyakan kecenderungan manusia untuk menyembah pada entitas yang metapisik.[11]
Psikologi
agama, melihat bahwa kecenderungan manusia mempercayai agama dan merasa bahwa
dirinya telah mengalami pengalaman religius atau pengalaman tentang kesucian
adalah buah dari kekalutan ruhani (spiritual chaos), dan kegilaan karena
kecanduan pada entitas yang tidak nyata. Agama, dengan banyak aturannya dalam
bentuk kitab suci yang diturunkan oleh entitas yang metapisik dan mitos
ibadahnya membawa manusia pada sebuah pengalaman religius yang bermacam-macam.[12]
Karena
agama membawa manusia untuk mempercayai entitas yang tidak nyata dan menggiring
manusia pada berbagai ilusi ketuhanan, Freud seorang dokter dan kelompok
rasionalis besar pada abad pencerahan muncul dan mengkritik agama sebagai patologi
sosial (penyakit pada masyarakat). Ia datang dengan membawa pernyataan bahwa
kebenaran yang sesungguhnya adalah rasio atau intelek. Ia menunjukan bahwa
nalar manusia adalah kekuatan terbesar manusia yang paling berharga tetapi
sekaligus juga membawa perusak lewat nafsu-nafsu sex. Oleh karena itu, kata
Freud dengan memahami nafsu, masusia dapat membebaskan dirinya dari kekalutan
jiwa dan menjadikan manusia pada kebenaran nalar yang sesungguhnya dan agama
adalah suatu kesalahan yang sebenarnya bagi umat manusia.[13]
Sigmund
Freud yang lantas menjadi peletak dasar psikoanalisa, mengatakan bahwa umat
manusia secara umum pada dasarnya memang mempunyai spirit, karena itu,
saya akan menunjukan bahwa hal tersebut hanya sebatas insting belaka.
Kemudian, dia juga mengungkapkan penolakannya pada agama sebagai
ketidakberdayaan manusia dan kegelisahan pada masa kanak-kanak dan berlanjut
pada waktu dewasa. Inti dari manusia beragama adalah karena ia mengalami oedipus
complex berdasarkan dorongan-dorongan masa kecilnya ditahan sedemikian
rupa, dan agama adalah perwujudan dari akumulasi dorongan nafsu pada masa
kecil.[14]
Sebagian
besar pandangan Freud tentang agama terungkap dalam karyanya “The Future of
An Illusion ”. bagi Freud, agama pada dasarnya berasal dari keadaan
‘ketidakberdayaan’ manusia dalam melawan kekuatan-kekuatan alami di luar dan
kekuatan naluri yang terdapat dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, agama
adalah sebuah kekuatan yang datang pada manusia pada tahap manusia tidak bisa
menggunakan akal sehatnya untuk menolak kekuatan-kekuatan di luar kemampuan
manusia. [15]
Kata
Freud, kemudian manusia mengembangkan sesuatu yang disebut sebagai Illusi,
di sini manusia membayangkan ilusi yang datang dari masa kanak-kanaknya. Karena
manusia pada masa ini belum bisa mengembangkan nalarnya dan dalam suatu kondisi
ketikdaberdayaan, dia mendapatkan perlindungan dari sosok bayangan bapak
sebagai pelindung dirinya. Menurutnya, agama adalah sebatas “repetition of
the experience of the child” (pengulangan pengalaman masa kanak-kanak).
Selain itu, dia mengatakan bahwa agama
adalah neurosis kolektif (kegilaan bersama) yang disebabkan oleh kondisi yang
mirip dengan kondisi neurosis pada anak-anak karena ketiakberdayan dan belum
berfungsinya nalar intelek manusia.[16]
Dari
beberapa premis yang diungkapkan Freud tentang agama, dia memposisikan sebagai
yang sangat keberatan dan menentang terhadap keberadaan agama bagi umat manusia.
Dalam agama, kata Freud manusia meletakan harapanya pada ilusi yang tidak jelas
kebenarannya disebabkan keterbatasan kemampuan manusia dalam memanfaatkan nalar
berfikrinya. Kemudian agama terlalu rendah dalam meletakan nilai moralitas pada
kepercayaan Tuhan, nilai moralitas dalam agama dibatasi sedemikian rupa dengan
ukuran patuh dan tidak patuh terhadap ketentuan Tuhan. Maka dari itu, manusia
tidak bisa menggunakan akal sehatnya dalam kebebasan berfikir, dan agama sangat
bertangung jawab jika umat manusia mengalami kemunduran dalam kemampuan berfikir
karena terkungkung oleh pijakan agama yang tidak rasional.
Selain
Freud, tokoh psikoananalis yang membahas tentang agama dan pengalaman religius
adalah Carl G. Jung. Akan tetapi, untuk sebagian besar pembahasan Jung tentang
agama hampir semuanya bertentangan dengan pendapat Freud.
Jung
pada dasarnya ingin pula menjawab pertannyaan tentang apa itu agama dan alasan kenapa
manusia harus mengalami pengalaman religius (religious experience).
Sebelumnya, Jung membatasi metodologi dalam menjawab pertannyaan tersebut. Dia
membatasi dirinya hanya pada observasi fenomena-fenomena agama dan menghindari
observasi-observasi yang bersifat metafisik dan filosofis. Metode yang Jung
pakai adalah titik tolak yang fenomenologis berdasarkan pada
peristiwa-peristiwa, kejadian dan fakta-fakta dalam agama. Ia tidak mencari
kebenaran berupa keputusan bahwa beragama itu salah atau benar, tapi dia
mengakui bahwa agama adalah suatu kebenaran karena secara realitas umum, agama
dianut oleh umat manusia kebanyakan.[17]
Setelah
mendasari bahwa agama adalah suatu
kebenaran yang umum dianut oleh manusia, Jung mengatakan bahwa “pengalaman
religius” yang dilakukan oleh manusia yang menganut agama adalah sebagai sikaf
submisif (penerimaan) terhadap kekuatan yang memang harus diakui lebih tinggi
dari pada dirinya.[18] Ini
mereka lakukan dalam setiap ibadah-ibadah pemujaan terhadap kekuatan absolut Tuhan
dan tercermin pada pemujaan yang dilakukan secara sadar oleh kolektif ataupun
individu.
Selain
itu, Jung menginterpretasikan konsep ‘ketidaksadaran’ (unconscious) dalam
pengalaman religius sebagai hal yang agamawi. Menurutnya, keadaan tidak sadar (unconsciousness)
tidak hanya menjadi bagian dari akal fikiran individu semata, akan tetapi juga
merupakan kekuatan yang berada di luar kontrol kemampuan manusia.[19]
Dari
dua tokoh psikoanalisa di atas, dapat disimpulkan perbedaan yang mendasari
proposisi mereka terhadap agama dan pengalaman religius. Bagi Freud yang
menentang agama dan menganggap pengalaman religius seseorang adalah semata-mata
sebagai neurosis dan ini merupakan sebuah penyakit kesadaran belaka.
Sedangkan
Jung, kalau pun dia seorang yang menerima kebenaran agama, dia terlalu mereduksi
agama pada fenomena psikologis manusia dan menganggap ketidaksadaran (the
unconscious) manusia sebagai sesuatu yang dianggap religius.[20]
Nilai Kebenaran pada Pengalaman Religius
Setelah
membahas perbandingan antara fenomenologi dan psikologi agama dalam melihat
kenyataan pengalaman religius. Penulis tidak bermaksud untuk menyalahkan salah
satu dari pendekatan di atas sebagai pendekatan yang keliru atau benar. Pada
dasarnya dua pendekatan di atas adalah sama benarnya selama bermanfaat bagi
berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian agama. Akan tetapi,
memang ada beberapa kelemahan dalam pendekatan fenomenologi maupun psikologi
agama dalam meneliti peristiwa pengalaman religius.
Seperti
yang penulis ungkapkan di atas, pengalaman religius bukan semata pengalaman
yang datang secara tiba-tiba tentang perasaaan ketuhanan, tapi secara umum
pengalaman religius adalah semua unsur dorongan yang dirasakan oleh manusia
yang beragama karena rasa ketakjubannya dan rasa keheranan pada kekuatan
tertentu di luar kemampuan manusia. Perasaaan tersebut akhirnya mendorong
manusia untuk melakukan pemujaan-pemujaan atau doa-doa sebagai manifestasi
nyata dari pengalaman religius. Secara sederhana, ketika manusia mempercayai
bahwa adanya Tuhan, dia telah mengalami sebuah pengalaman religius. Akibatnya,
semenjak manusia mempercayai adannya kekuatan yang maha dahsyat di luar
kemampuan manusia yang diasosiasikan sebagai Tuhan, manusia menanggapi hal tersebut
dengan berbagai bentuk pemujaan, ritual, penyucian diri, pembentukan
kitab-kitab suci dan lain sebagainya.
Perlu
digarisbawahi bahwa, fenomenologi agama dalam melihat pengalaman religius
memiliki karakteristik yang justru menjadi kelemahannya sendiri. Karakteristik tersebut
antara lain. Fenomenologi agama, sebagai disiplin ilmu hanya menggambarkan
pengalaman-pengalaman religius berdasarkan data-data historis dan tidak
menjelaskannya secara mendalam. Fenomenologi agama hanya memahami kemunculan
pengalaman religius kemudian menelitinya secara empiris berdasarkan sejarah dan
data-data yang ada dalam mitos dan catatan-catatan sejarah selama manusia
beragama. Setelah mendapatkan data dan diteliti secara empiris, fenomenologi
agama tidak menyentuh pengalaman religius secara serius dan mencapai esensi
yang sebenarnya tentang alasan kenapa manusia harus beragama, dengan kata lain
klaim anti-reduksionis yang dipakai oleh fenomenologi agama, menjadikan
kebingungan tersendiri bagi para pengkritik fenomenologi agama.[21]
Oleh
karena itu, fenomenologi agama tidak menyentuh sama sekali esensi dari
pengalaman religius dan secara substansi tidak dapat memahai kecuali hanya
sebuah teropong empirisme dan sebuah metodologi historis. Andaikata,
fenomenologi agama ingin meneliti sebuah fenomena pengalaman religius seperti shalat,
fenomenologi agama tidak akan menemukan kebenaran sesungguhnya dari alasan
mereka yang melaksanakan shatat dan pengalaman apa yang ditemukan ketika
orang melakukan shalat. Fenomenologi agama akan melihat fenomena ini
sebatas peristiwa ritual belaka karena shalat sebagaimana bentuk
ibadah-ibadah dalam agama lain adalah bentuk kewajiban memuja Tuhan. Ibadah
seperti ini, sama dilakukan juga oleh manusia primitif dalam pemujaan entitas
metapisik yang tersembunyi dalam pohon besar dan gunung-gunung, kemudian
fenomenologi akan mereduksi fenomena shalat dan bentuk pemujaan lainnya
menjadi catatan sejarah umat manusia dalam memuja Tuhan.
Adapun
untuk pandangan psikologi agama dalam melihat fenomena pengalaman religius
sebagai neurosis, khususnya premis yang digunakan oleh Freud, sama tidak
tepatnya. Juga reduksionisme Jung dalam melihat unconscious sebagai
sesuatu yang religus adalah bentuk penyederhanaan alasan psikologis dorongan
manusia untuk beragama.
Dua
tokoh ini, walaupun sangat keliru melihat hal tersebut, paling tidak memberikan
banyak kontribusi pada penelitian psikologi khususnnya psikologi agama. Dalam
posisis ini, penulis lebih menyetujui beberapa pendapat psikologi humanistik
dari Abraham Maslow tentang hirarki kebutuhan dasar manusia. Untuk mencapai
eksistesi manusia yang sesungguhnya, Maslow memberikan lima tahapan yang
dibutuhkan manusia, dan puncaknya adalah eksistensi yang sesungguhnya (Being
Values). Eksistensi mansusia sempurna ini, dalam psikologi humanistik
adalah manusia yang kebutuhan dasar fisik dan sosialnya sudah terpenuhi dengan
cukup dan mencapai puncak kesempurnaan dalam sebuah manifestasi kasih sayang
terhadap sesama ataupun percaya akan kebenaran nyata dan mengakui akan
pengalaman-pengalaman mistik di luar kemampuan manusia atau sebuah pengalaman
religius.[22]
Di
sini, psikologi agama atau dalam hal psikoanalisnya Freud, tidak akan bisa
menjelaskan hal-hal yang sebetulnya di luar kemampuan nalar manusia. Karena
pada saat manusia melakukan perjalanan dalam sebuah pengembaraan spiritual, ia mengalami
perjalanan mencari sebuah makna dari kehidupan yang sesungguhnya. Hal inilah
yang dilakukan oleh para sufi dalam sebuah pengembaraan spiritual, juga sama
halnya yang dilakukan oleh orang awan ketika berdoa merenungkan tentang
keberadaan Tuhannya.
Kesimpulan
Tidak ada sesuatu yang tidak berarti dalam hidup ini.
Begitu pula untuk kajian fenomenologi dan psikologi agama dalam melihat
fenomena pengalaman religius. Walaupun dua pendekatan yang digunakan disiplin
ini masih menggunakan premis yang keliru tetang pengalaman religius (khususnya
pandangan psikoanalisa Freud yang melihat pengalaman religius sebagai bentuk
neurosis). Paling tidak, fenomenologi agama memberikan sebuah metode yang dapat
membantu kajian agama dalam pengklasifikasian bentuk pengalaman religius.
Selain itu, dengan metode empiris dan historisnya, dari fenomenologi agama,
kajian-kajian yang berkaitan dengan Religionwissenschaft menjadi kaya karena memberikan wawasan baru
pada sebuah penelitian fenomena agama.
Begitu
pula untuk psikologi agama, karena secara umum premis dasar psikologi adalah
disiplin yang mempertahankan sebuah status quo, artinya, jika kegilaan
keagamaan atau pun prkatek-praktek yang berhubungan dengan kejiwaan dan tidak
banyak dilakukan oleh konsensus atau masyarakat banyak, maka hal tersebut bisa
dikategorikan sebagai sebuah kegilaan psikologis (seperti yang dikatakan
Freud) Oleh karena itu, menurut Fromm kebenaran psikologis adalah
sebuah kebenaran yang subjektif sejauh ide-ide yang dipakai adalah terjadi
hanya pada seseorang individu semata. Namun akan bersifat objektif sejauh ide
itu ditetapkan oleh masyarakat atau konsensus bersama.[23]
Sedangkan
yang terjadi pada fenomena pengalaman religius adalah bukan sebuah peristiwa
yang semata terjadi pada individu belaka, tetapi semenjak dari dulu ini telah
terjadi dan melibatkan seluruh pengalaman umat manusia. Maka, kepercayaan
manusia terhadap agama yang terjadi pada peristiwa pengalaman religius adalah
sebuah kebenaran nyata tidak dapat direduksi sebagai sebuah kegilaan atau
neurosis.
Bahtiar Rifa'I
27/12/2009
Catatan
[1] Erich
Fromm, Psikoanalisa dan Agama, penterjemah, Choirul Fuad Yusuf dan
Prasetya Utama (Jakarta:Atisa Pers, 1988) hal. 20.
[2] Erich
Fromm, Manusia Bagi Dirinya, penterjemah, Eno Syafrudien (Jakarta:
Akademika, 1988) hal. 34-35.
[3] Op-cit.
hal. 32
[4] John R.
Hinnells (Editor), The Routledge Companion to the Study of Religion (New
York: Routledge, 2005) hal. 186.
[5] Istilah Spirit
(Geist) (Ruh) oleh penulis tidak terjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk
menghindari munculnya kerancuan makna.
[6]
Hinnells, ibid.
[7] Ibid.
185
[8] Ibid.
[9] Ibid.
hal 188
[10] Ibid
[11] Ibid,
165
[12] Ibid
165-166
[13] Fromm, Psikoanalisa
dan Agama. hal. 6-7
[14]
Hinnells, hal.166-167.
[15] Fromm, Psikoanalisa
dan Agana. hal. 10.
[16] Ibid.
hal. 10-11.
[17] Ibid.
hal.13-14.
[18] Ibid
[19] Ibid.
hal. 16
[20] Ibid.
[21]
Hinnells. hal. 200-203.
[22]
Ibid. 174
[23]
Fromm, Psikoanalisa dan Agama. Hal. 14.
0 komentar:
Posting Komentar