Jumat, 09 November 2012

Pengalaman Religius dalam Fenomenologi dan Psikologi



Pengalaman Religious dalam Fenomenologi dan Psikologi

Perjalanan panjang sejarah agama sama lamanya dengan sejarah manusia. Semenjak manusia ada di bumi, agama dengan berbagai bentuk pemujaannya berdampingan dengan aspek kehidupan manusia. Bahkan dalam salah satu agama, sebelum manusia, agama telah ada di alam antah berantah bernama dunia Tuhan dan malaikat-Nya. dikisahkan bahwa, di sana Tuhan berbincang-bincang dengan malaikat, setan dan calon manusia pertama yang akan turun ke bumi ini.
Agama menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia, karena keberadaan agama tersebut merupakan kebututuhan alami manusia itu sendiri. Bentuknya bisa bermacam-macam, agama bagi manusia primitif adalah pemujaan bersama dalam tarian-tarian dan nyayian di tengah alun-alun desa memuja nenek moyang mereka, agama adalah pemujaan terhadap pohon dan gunung yang mempunyai kekuatan misterius. Dalam kepercayaan Buddha, agama adalah pembentukan diri menjadi manusia yang lahir untuk keduakalinya menjadi manusia sempurna dengan pembentukan alam fikiran (state of mine) menuju Nirwana.
            Banyak pengertian dan tafsir tentang agama dan kenapa manusia beragama. Untuk membatasi permasalahan tersebut penulis akan membatasi pengertian agama hanya pada pengertian yang memiliki kecenderungan pada nilai psikologi dan fenomenologi. Menurut Erich Fromm, psikoanalis dan tokoh dari pemikir Mazhab Frankfurt, agama adalah suatu sistem berfikir dan berperilaku yang dilakukan bersama kelompok yang memberikan kerangka orientasi dan objek pengabdian pada entitas tertentu. Walapun pengertiannya sangat luas, akan tetapi muncul beberapa dimensi penting dari agama dan keberagamaan manusia, diantaranya agama sebagai sistem berfikir, memiliki perilaku yang khusus, dijalankan oleh kelompok dan memiliki pengabdian pada Tuhan.[1]
            Dari pengertian di atas, muncul kemudian alasan kenapa manusia harus beragama dan menjalankan aturan-aturan kegamaan seperti ibadah dan pengabdian kepada Tuhan. Dalam Man for Himself, bagi Fromm, kesadaran-diri, akal dan imajinasi adalah alasan kenapa manusia beragama. Akal sebagai aspek being (ada) dalam diri manusia adalah anugerah sekaligus bencana. Akal mendorong manusia untuk mencari hakikat eksistensi manusia karena ia bersifat dinamis dan mencari kepuasan yang selalu berbeda. Tidak seperti makhluk lain yang statis, manusia melakukan pengembaraan menuju eksistensi puncaknya lewat akal dan alasan-alasan. Inilah yang sama terjadi pada Ibrahim di agama Samawi yang mencari Tuhannya lewat pengembaraan spiritual yang didasarkan pada akal, juga sama terjadi pada Odysseus dan Oedipus dalam mitologi Yunani.[2]
            Dalam Oxford Dictionary agama memilki pengertian yang mengandung unsur teistik keilahian. religion is belief in the existence of a supernatural ruling power, the creator and controller of the universe, who has given to man a spiritual nature which continues to exist after the death of the body. Manusia secara kodrati percaya akan adanya kekuatan yang absolut di luar kemampuannya dan mengontrol dirinya untuk melakukan pemujaan dan pengakuaan akan kekuatan itu. Akibat dari pengakuatan dan ibadah pada kekuatan absolut, manusia kemudian bisa dikategorikan menjadi tipe orang yang memiliki kepatuan beragama (obedience), dan manusia yang tidak patuh terhadap peraturan agama (disobedience). Di sini agama memiliki pengertian sebagai pengenalan (recognition) manusia akan kekuatan gaib yang lebih tinggi yang mengontrol tujuan hidup manusia, atau sesuatu hal yang dijuluki sebagai pengabdian, pemujaan dan persembahan.[3]
            Penekanan akan adanya kekuatan absolut yang Maha Tahu, Yang Maha Menguasai, Yang Maha Melindungi di luar seluruh kemampuan terbatas manusia, merupakan corak pada agama yang diajarkan dalam Islam, Kristiani, Hindu, Yahudi, dengan jumlah penganut terbesar di dunia. Bentuk ajaran dari keempat agama tersebut, banyak menganjurkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan spiritual dan praktek-praktek pemujaan kepada Tuhan. Tuhan karena memiliki sifat yang Maha, dan manusia dengan sifat keterbatasannya diwajibkan untuk meminta perlindungan, petunjuk, dan kasih sayang dari-Nya yang menguasai jagad raya. Penganjuran-penganjuran tersebut yang melahirkan banyak praktek ritual (ibadah) bermacam-macam dalam setiap agama. Ibadah dalam bentuk sederhannya adalah perjalanan spiritual manusia untuk dapat secara langsung merasakan akan adanya kekuatan Tuhan yang sesungguhnya. Kekuatan Tuhan atau perasaaan akan adannya Tuhan tersebut menjadi pengertian penulis untuk menggunakan istilah pengalaman religius (religious experiences) sebagai objek perbandingan antara fenomenologi agama dan psikologi agama.

Pandangan Fenomenologi Agama Tentang Pengalaman Religius 
Istilah fenomenologi, banyak dipakai oleh para pakar filsafat. Khususnya di German, istilah ini berakar dari tradisi yang dikembangkan oleh Immanuel Kant sekitar abad delapan belas. Kant menganalisa “phenomena” sebagai kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan memunculkan sesuatu sampai terbentuk sedemikian rupa pada fikiran manusia. Kemudian Kant memberikan perbedaan dan makna untuk istilah “noumena” atau sesuatu yang membentuk pikiran manusia tadi sebagai objek yang dapat dipelajari oleh akal sehat, ilmiah dan objektif.[4]
Selain itu, istilah fenomenologi dipakai juga oleh G. W. F. Hegel dalam bukunya Phenoenology of Spirit sebagai kritik atas dualisme phenomena-noumena Kant. Menurut Hegel, fenomena adalah perwujudan nyata (manifestasi) dari pengetahuan-manifestasi dari hasil perkembangan spirit[5] dalam diri manusia-yang muncul dari kesadaran yang terpendam dan hasil pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan kemudian mencapai puncaknya dalam bentuk pengetahuan absolut. Fenomenologi menurut Hegel adalah ilmu pengetahuan berdasarkan akal budi yang sadar akan perkembangan spirit dan mencari tahu esensi yang sesunguhnya.[6]
Sedangkan fenomenologi agama, sangat berbeda dengan fenomenologi dalam tradisi filsafat. Disepakati oleh para ahli bahwa fenomenologi agama adalah disiplin penelitian yang secara umum masuk pada wilayah Religionwissenschaft, yaitu penelitian secara ilmiah pada wilayah agama yang dapat berupa ibadah, penyembahan ataupun mitos dalam agama.[7]
Karena sifatnya hanya sebagai model penelitian keagamaan, fenomenologi memfokuskan penelitiannya tentang pengalaman religius pada agama manusia. Fenomeologi agama, tidak meneliti kenapa manusia harus beragama, dan alasan-alasannya tetapi fenomenologi agama meneliti hasil-hasil dari alasan manusia beragama. Bentuk-bentuk ekspresi keagamaan seperti berdoa, sembahyang, atau bentuk pemujaan pada Tuhan dengan ritual tertentu adalah objek penelitian dari fenomenologi agama. Kategori yang dipakai dalam pengelompokan beberapa ritual menyembah Tuhan seperti di atas adalah bentuk pengalaman-pengalaman manusia tentang adannya kekuasan yang absolut di luar kemampuan manusia.
Pada perkembangannya, istilah dan pemakaian fenomenologi agama sebagai disiplin yang mengkaji berbagai fenomena-fenomena pengalaman religius dapat dibedakan menjadi empat kelompok utama. Pertama, kelompok yang menggunakan fenomenologi hanya sebagai metode investigasi pada fenomena-fenomena yang dapat diteliti secara jelas berupa fakta atau peristiwa dalam agama. Kedua, kelompok yang didasari oleh ahli dari Belanda P. D Chantepie de la Saussaye, yang menggunakan fenomenologi agama sebagai komparatif studi (kajian perbandingan) dan klasifikasi tentang perbedaan jenis fenomena-fenomena dalam agama. Ketiga, kelompok yang menggunakan fenomenologi agama sebagai cabang pada disiplin ilmu, dan metode dalam Religionwissenschaft atau studi agama. Penggunaan pengertian ini banyak dipakai oleh para pakar studi agama seperti W. Brede Kristensen, Gerardus Van der Leeuw, Joahim Wach, C, Jouco Bleekr, Mircea Eliade dan Jacques Waardenburg. Keempat, kelompok yang menggunakan fenomenologi agama sebagai pengaruh dari filsafat fenomenologi, tokoh dari kelompok ini seperti fenomenolog German Max Scheler dan Paul Ricoeur.[8]
            Karena fenomenologi memiliki akar dari filsafat, maka perlu diperhatikan perbedaan mendasar dari pertannyaan filsafat fenomenologi dan fenomenologi agama. Jika ada pertannyaan kenapa manusia harus percaya akan Tuhan?. Filsafat fenomenologi akan mempersoalkan manusia yang percaya terhadap Tuhan dengan mempertannyakan kepercayaan tersebut pada wilayah yang normatif. Mereka akan mengajukan pertannyaan dan alasan manusia harus mempercayai Tuhan. Mereka akan mempertannyaan kebenaran dan kenyataan pengalaman manusia terhadap Tuhan dalam ibadah-ibadah mereka pada Tuhan. Apakah kebenaran dari bukti eksistensi Tuhan bagi mereka yang beragama.[9]
Berbeda dengan filsafat fenomenologi yang mempertannyakan keberadaan dan bentuk pembuktian esensi Tuhan ketika manusia memiliki kepercayaan kepada-Nya. Fenomenologi agama sebagai disiplin ilmu hanya menggambarkan fenomen-fenomena agama dengan berbagai bentuk pengalaman keagamaannya dan menginterpretasi makna dari keberagaman manusia seobjektif mungkin.[10]
Oleh karena itu, fenomenologi agama bukan bentuk disiplin yang mendalam untuk mempersoalkan pengalaman religius umat manusia. Untuk bentuk pengalaman religius yang umum dalam agama-agama dunia  seperti doa, fenomeologi agama tidak mencari kebenaran hakiki dari alasan manusia harus berdoa. Fenomeologi agama hanya meneliti dan menggambarkan fenomena doa sebagai data empiris untuk bahan penelitian agama, mensistematisasi fenomena doa dalam bentuk penelitian-penelitian, mencari akar sejarah dari doa dalam agama-agama dunia. Maka tidak dapat disangkal bahwa dengan karakteristik fenomenologi agama di atas, dalam meneliti pengalaman religius, fenomenologi agama akan banyak menghasilkan data keagamaan yang beragam. Untuk meneliti bentuk spesifik dari pengalaman religius seperti doa, penelitian fenomenologi agama bisa menghasilkan berjilid-jilid data sejarah tentang doa dan mungkin bisa menghasilkan bentuk sejarah agama-agama manusia hanya dengan meneliti doa.

Pandangan Psikologi Agama Tentang Pengalaman Religius
            Psikologi agama mempelajari fenomena-fenomena dalam berbagai agama sejauh bisa dipahami secara psikologis. Dasar ini walaupun banyak ditentang oleh pengikut agama karena sifatnya yang mereduksi agama pada psikologi, akan tetapi menjadi landasan penting karena metode kritiknya yang dapat mempertanyakan kecenderungan manusia untuk menyembah pada entitas yang metapisik.[11]
            Psikologi agama, melihat bahwa kecenderungan manusia mempercayai agama dan merasa bahwa dirinya telah mengalami pengalaman religius atau pengalaman tentang kesucian adalah buah dari kekalutan ruhani (spiritual chaos), dan kegilaan karena kecanduan pada entitas yang tidak nyata. Agama, dengan banyak aturannya dalam bentuk kitab suci yang diturunkan oleh entitas yang metapisik dan mitos ibadahnya membawa manusia pada sebuah pengalaman religius yang bermacam-macam.[12]
            Karena agama membawa manusia untuk mempercayai entitas yang tidak nyata dan menggiring manusia pada berbagai ilusi ketuhanan, Freud seorang dokter dan kelompok rasionalis besar pada abad pencerahan muncul dan mengkritik agama sebagai patologi sosial (penyakit pada masyarakat). Ia datang dengan membawa pernyataan bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah rasio atau intelek. Ia menunjukan bahwa nalar manusia adalah kekuatan terbesar manusia yang paling berharga tetapi sekaligus juga membawa perusak lewat nafsu-nafsu sex. Oleh karena itu, kata Freud dengan memahami nafsu, masusia dapat membebaskan dirinya dari kekalutan jiwa dan menjadikan manusia pada kebenaran nalar yang sesungguhnya dan agama adalah suatu kesalahan yang sebenarnya bagi umat manusia.[13]
            Sigmund Freud yang lantas menjadi peletak dasar psikoanalisa, mengatakan bahwa umat manusia secara umum pada dasarnya memang mempunyai spirit, karena itu, saya akan menunjukan bahwa hal tersebut hanya sebatas insting belaka. Kemudian, dia juga mengungkapkan penolakannya pada agama sebagai ketidakberdayaan manusia dan kegelisahan pada masa kanak-kanak dan berlanjut pada waktu dewasa. Inti dari manusia beragama adalah karena ia mengalami oedipus complex berdasarkan dorongan-dorongan masa kecilnya ditahan sedemikian rupa, dan agama adalah perwujudan dari akumulasi dorongan nafsu pada masa kecil.[14]
            Sebagian besar pandangan Freud tentang agama terungkap dalam karyanya “The Future of An Illusion ”. bagi Freud, agama pada dasarnya berasal dari keadaan ‘ketidakberdayaan’ manusia dalam melawan kekuatan-kekuatan alami di luar dan kekuatan naluri yang terdapat dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, agama adalah sebuah kekuatan yang datang pada manusia pada tahap manusia tidak bisa menggunakan akal sehatnya untuk menolak kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia. [15]
            Kata Freud, kemudian manusia mengembangkan sesuatu yang disebut sebagai Illusi, di sini manusia membayangkan ilusi yang datang dari masa kanak-kanaknya. Karena manusia pada masa ini belum bisa mengembangkan nalarnya dan dalam suatu kondisi ketikdaberdayaan, dia mendapatkan perlindungan dari sosok bayangan bapak sebagai pelindung dirinya. Menurutnya, agama adalah sebatas “repetition of the experience of the child” (pengulangan pengalaman masa kanak-kanak). Selain itu, dia mengatakan  bahwa agama adalah neurosis kolektif (kegilaan bersama) yang disebabkan oleh kondisi yang mirip dengan kondisi neurosis pada anak-anak karena ketiakberdayan dan belum berfungsinya nalar intelek manusia.[16]
            Dari beberapa premis yang diungkapkan Freud tentang agama, dia memposisikan sebagai yang sangat keberatan dan menentang terhadap keberadaan agama bagi umat manusia. Dalam agama, kata Freud manusia meletakan harapanya pada ilusi yang tidak jelas kebenarannya disebabkan keterbatasan kemampuan manusia dalam memanfaatkan nalar berfikrinya. Kemudian agama terlalu rendah dalam meletakan nilai moralitas pada kepercayaan Tuhan, nilai moralitas dalam agama dibatasi sedemikian rupa dengan ukuran patuh dan tidak patuh terhadap ketentuan Tuhan. Maka dari itu, manusia tidak bisa menggunakan akal sehatnya dalam kebebasan berfikir, dan agama sangat bertangung jawab jika umat manusia mengalami kemunduran dalam kemampuan berfikir karena terkungkung oleh pijakan agama yang tidak rasional.
            Selain Freud, tokoh psikoananalis yang membahas tentang agama dan pengalaman religius adalah Carl G. Jung. Akan tetapi, untuk sebagian besar pembahasan Jung tentang agama hampir semuanya bertentangan dengan pendapat Freud.
            Jung pada dasarnya ingin pula menjawab pertannyaan tentang apa itu agama dan alasan kenapa manusia harus mengalami pengalaman religius (religious experience). Sebelumnya, Jung membatasi metodologi dalam menjawab pertannyaan tersebut. Dia membatasi dirinya hanya pada observasi fenomena-fenomena agama dan menghindari observasi-observasi yang bersifat metafisik dan filosofis. Metode yang Jung pakai adalah titik tolak yang fenomenologis berdasarkan pada peristiwa-peristiwa, kejadian dan fakta-fakta dalam agama. Ia tidak mencari kebenaran berupa keputusan bahwa beragama itu salah atau benar, tapi dia mengakui bahwa agama adalah suatu kebenaran karena secara realitas umum, agama dianut oleh umat manusia kebanyakan.[17]
            Setelah mendasari  bahwa agama adalah suatu kebenaran yang umum dianut oleh manusia, Jung mengatakan bahwa “pengalaman religius” yang dilakukan oleh manusia yang menganut agama adalah sebagai sikaf submisif (penerimaan) terhadap kekuatan yang memang harus diakui lebih tinggi dari pada dirinya.[18] Ini mereka lakukan dalam setiap ibadah-ibadah pemujaan terhadap kekuatan absolut Tuhan dan tercermin pada pemujaan yang dilakukan secara sadar oleh kolektif ataupun individu.
            Selain itu, Jung menginterpretasikan konsep ‘ketidaksadaran’ (unconscious) dalam pengalaman religius sebagai hal yang agamawi. Menurutnya, keadaan tidak sadar (unconsciousness) tidak hanya menjadi bagian dari akal fikiran individu semata, akan tetapi juga merupakan kekuatan yang berada di luar kontrol kemampuan manusia.[19]
            Dari dua tokoh psikoanalisa di atas, dapat disimpulkan perbedaan yang mendasari proposisi mereka terhadap agama dan pengalaman religius. Bagi Freud yang menentang agama dan menganggap pengalaman religius seseorang adalah semata-mata sebagai neurosis dan ini merupakan sebuah penyakit kesadaran belaka.
Sedangkan Jung, kalau pun dia seorang yang menerima kebenaran agama, dia terlalu mereduksi agama pada fenomena psikologis manusia dan menganggap ketidaksadaran (the unconscious) manusia sebagai sesuatu yang dianggap religius.[20]

Nilai Kebenaran  pada Pengalaman Religius
            Setelah membahas perbandingan antara fenomenologi dan psikologi agama dalam melihat kenyataan pengalaman religius. Penulis tidak bermaksud untuk menyalahkan salah satu dari pendekatan di atas sebagai pendekatan yang keliru atau benar. Pada dasarnya dua pendekatan di atas adalah sama benarnya selama bermanfaat bagi berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian agama. Akan tetapi, memang ada beberapa kelemahan dalam pendekatan fenomenologi maupun psikologi agama dalam meneliti peristiwa pengalaman religius.
            Seperti yang penulis ungkapkan di atas, pengalaman religius bukan semata pengalaman yang datang secara tiba-tiba tentang perasaaan ketuhanan, tapi secara umum pengalaman religius adalah semua unsur dorongan yang dirasakan oleh manusia yang beragama karena rasa ketakjubannya dan rasa keheranan pada kekuatan tertentu di luar kemampuan manusia. Perasaaan tersebut akhirnya mendorong manusia untuk melakukan pemujaan-pemujaan atau doa-doa sebagai manifestasi nyata dari pengalaman religius. Secara sederhana, ketika manusia mempercayai bahwa adanya Tuhan, dia telah mengalami sebuah pengalaman religius. Akibatnya, semenjak manusia mempercayai adannya kekuatan yang maha dahsyat di luar kemampuan manusia yang diasosiasikan sebagai Tuhan, manusia menanggapi hal tersebut dengan berbagai bentuk pemujaan, ritual, penyucian diri, pembentukan kitab-kitab suci dan lain sebagainya.
            Perlu digarisbawahi bahwa, fenomenologi agama dalam melihat pengalaman religius memiliki karakteristik yang justru menjadi kelemahannya sendiri. Karakteristik tersebut antara lain. Fenomenologi agama, sebagai disiplin ilmu hanya menggambarkan pengalaman-pengalaman religius berdasarkan data-data historis dan tidak menjelaskannya secara mendalam. Fenomenologi agama hanya memahami kemunculan pengalaman religius kemudian menelitinya secara empiris berdasarkan sejarah dan data-data yang ada dalam mitos dan catatan-catatan sejarah selama manusia beragama. Setelah mendapatkan data dan diteliti secara empiris, fenomenologi agama tidak menyentuh pengalaman religius secara serius dan mencapai esensi yang sebenarnya tentang alasan kenapa manusia harus beragama, dengan kata lain klaim anti-reduksionis yang dipakai oleh fenomenologi agama, menjadikan kebingungan tersendiri bagi para pengkritik fenomenologi agama.[21]
            Oleh karena itu, fenomenologi agama tidak menyentuh sama sekali esensi dari pengalaman religius dan secara substansi tidak dapat memahai kecuali hanya sebuah teropong empirisme dan sebuah metodologi historis. Andaikata, fenomenologi agama ingin meneliti sebuah fenomena pengalaman religius seperti shalat, fenomenologi agama tidak akan menemukan kebenaran sesungguhnya dari alasan mereka yang melaksanakan shatat dan pengalaman apa yang ditemukan ketika orang melakukan shalat. Fenomenologi agama akan melihat fenomena ini sebatas peristiwa ritual belaka karena shalat sebagaimana bentuk ibadah-ibadah dalam agama lain adalah bentuk kewajiban memuja Tuhan. Ibadah seperti ini, sama dilakukan juga oleh manusia primitif dalam pemujaan entitas metapisik yang tersembunyi dalam pohon besar dan gunung-gunung, kemudian fenomenologi akan mereduksi fenomena shalat dan bentuk pemujaan lainnya menjadi catatan sejarah umat manusia dalam memuja Tuhan.
            Adapun untuk pandangan psikologi agama dalam melihat fenomena pengalaman religius sebagai neurosis, khususnya premis yang digunakan oleh Freud, sama tidak tepatnya. Juga reduksionisme Jung dalam melihat unconscious sebagai sesuatu yang religus adalah bentuk penyederhanaan alasan psikologis dorongan manusia untuk beragama.
            Dua tokoh ini, walaupun sangat keliru melihat hal tersebut, paling tidak memberikan banyak kontribusi pada penelitian psikologi khususnnya psikologi agama. Dalam posisis ini, penulis lebih menyetujui beberapa pendapat psikologi humanistik dari Abraham Maslow tentang hirarki kebutuhan dasar manusia. Untuk mencapai eksistesi manusia yang sesungguhnya, Maslow memberikan lima tahapan yang dibutuhkan manusia, dan puncaknya adalah eksistensi yang sesungguhnya (Being Values). Eksistensi mansusia sempurna ini, dalam psikologi humanistik adalah manusia yang kebutuhan dasar fisik dan sosialnya sudah terpenuhi dengan cukup dan mencapai puncak kesempurnaan dalam sebuah manifestasi kasih sayang terhadap sesama ataupun percaya akan kebenaran nyata dan mengakui akan pengalaman-pengalaman mistik di luar kemampuan manusia atau sebuah pengalaman religius.[22]
            Di sini, psikologi agama atau dalam hal psikoanalisnya Freud, tidak akan bisa menjelaskan hal-hal yang sebetulnya di luar kemampuan nalar manusia. Karena pada saat manusia melakukan perjalanan dalam sebuah pengembaraan spiritual, ia mengalami perjalanan mencari sebuah makna dari kehidupan yang sesungguhnya. Hal inilah yang dilakukan oleh para sufi dalam sebuah pengembaraan spiritual, juga sama halnya yang dilakukan oleh orang awan ketika berdoa merenungkan tentang keberadaan Tuhannya.            
                   

Kesimpulan
            Tidak ada sesuatu yang tidak berarti dalam hidup ini. Begitu pula untuk kajian fenomenologi dan psikologi agama dalam melihat fenomena pengalaman religius. Walaupun dua pendekatan yang digunakan disiplin ini masih menggunakan premis yang keliru tetang pengalaman religius (khususnya pandangan psikoanalisa Freud yang melihat pengalaman religius sebagai bentuk neurosis). Paling tidak, fenomenologi agama memberikan sebuah metode yang dapat membantu kajian agama dalam pengklasifikasian bentuk pengalaman religius. Selain itu, dengan metode empiris dan historisnya, dari fenomenologi agama, kajian-kajian yang berkaitan dengan Religionwissenschaft  menjadi kaya karena memberikan wawasan baru pada sebuah penelitian fenomena agama.
            Begitu pula untuk psikologi agama, karena secara umum premis dasar psikologi adalah disiplin yang mempertahankan sebuah status quo, artinya, jika kegilaan keagamaan atau pun prkatek-praktek yang berhubungan dengan kejiwaan dan tidak banyak dilakukan oleh konsensus atau masyarakat banyak, maka hal tersebut bisa dikategorikan sebagai sebuah kegilaan psikologis (seperti yang dikatakan Freud)  Oleh karena itu,  menurut Fromm kebenaran psikologis adalah sebuah kebenaran yang subjektif sejauh ide-ide yang dipakai adalah terjadi hanya pada seseorang individu semata. Namun akan bersifat objektif sejauh ide itu ditetapkan oleh masyarakat atau konsensus bersama.[23]
            Sedangkan yang terjadi pada fenomena pengalaman religius adalah bukan sebuah peristiwa yang semata terjadi pada individu belaka, tetapi semenjak dari dulu ini telah terjadi dan melibatkan seluruh pengalaman umat manusia. Maka, kepercayaan manusia terhadap agama yang terjadi pada peristiwa pengalaman religius adalah sebuah kebenaran nyata tidak dapat direduksi sebagai sebuah kegilaan atau neurosis.   

Bahtiar Rifa'I 
27/12/2009



 Catatan                   


[1] Erich Fromm, Psikoanalisa dan Agama, penterjemah, Choirul Fuad Yusuf dan Prasetya Utama (Jakarta:Atisa Pers, 1988) hal. 20.     
[2] Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, penterjemah, Eno Syafrudien (Jakarta: Akademika, 1988) hal. 34-35. 
[3] Op-cit. hal. 32
[4] John R. Hinnells (Editor), The Routledge Companion to the Study of Religion (New York: Routledge, 2005) hal. 186.  
[5] Istilah Spirit (Geist) (Ruh) oleh penulis tidak terjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menghindari munculnya kerancuan makna. 
[6] Hinnells, ibid.
[7] Ibid. 185
[8] Ibid
[9] Ibid. hal 188
[10] Ibid
[11] Ibid, 165
[12] Ibid 165-166
[13] Fromm, Psikoanalisa dan Agama. hal. 6-7
[14] Hinnells, hal.166-167.
[15] Fromm, Psikoanalisa dan Agana. hal. 10.
[16] Ibid. hal. 10-11.
[17] Ibid. hal.13-14. 
[18] Ibid
[19] Ibid. hal. 16
[20] Ibid.
[21] Hinnells. hal. 200-203.
[22] Ibid. 174
[23] Fromm, Psikoanalisa dan Agama. Hal. 14.  

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Pages

 
;