Rabu, 14 November 2012

Epistemologi Agama dan Hermeneutik


Epistemologi Agama dan Hermeneutik
Oleh: Bahtiar Rifa’I
Makna Epistemologi Agama
            Epistemologi merupakan persoalan dalam filsafat yang menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Maka secara harafiah epistemologi berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan.
            Epistemologi sebagai cabang dalam filsafat mempersoalkan, mengkaji, dan mencoba menemukan ciri-ciri umum serta mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan yang muncul dalam persoalan ini berkaitan dengan bagaimana dasarnya pengetahuan diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Apa itu pengetahuan? Apa beda pengetahuan dan pendapat? Apa bedanya pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahaui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi atau pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Inilah beberapa pertanyaan pokok dalam epistemologi yang menyibukan para epistemolog dari masa ke masa, sesuai dengan persoalan zamanya.[1]
            Menarik apa yang dikatakan oleh filsuf Amerika kontemporer Richard Rorty bahwa epistemologi dewasa ini sudah mati dan tidak ada relevansinya lagi untuk dihidupkan kembali. Lalu apakah alasan Rorty mengatakan bahwa epistemologi sudah tidak relevan. Apakah ada kesahalah metodologis, misalkan dalam epistemologi modern semenjak dibangun oleh Descartes pada abad ke-17. [2]
            Menurut Richard Rorty, ada beberapa kerancuan yang muncul pada wilayah epistemologi modern yang secara ringkas diantaraya. Pertama, sebagaimana nampak dalam pandangan Locke adalah kerancuan antara syarat-syarat penjelasan atau penyeban munculnya pegetahuan dan pembenaran terhadap klaim pengetahuan. Locke misalnya berangapan bahwa dari adanya impresi dalam pikiran manusia tentang adanya sebuah segitiga merah, dibuktikan bahwa sebuah benda yang berwarna merah dan berbentuk segitiga memang ada di luar pikiran manusia. Hal ini menjadi seolah dipaksakan bahwa sesuatu menurut pandangan Locke harus ada korespondensinya dengan pengalaman manusia. Kedua, dalam pemikiran Kant adalah tentang kerancuan antara predikasi (melekatnya predikat pada subjek) dan sintesis (kegiatan memadukan dua hal yang berbeda). Menurut Rorty, Kant benar ketika memahami pengetahuan sebagai suatu yang berkenaan dengan proposisi dan bukan dengan benda atau objek pada dirinya sendiri di luar pikiran. Tetapi Kant keliru ketika mengklaim bahwa konsep merupakan pemaduan (pembuatan sintesis) secara apriori atas intuisi indrawi yang masih bersifat pusparagam.[3]
            Singkatnya di sini Rorty ingin mengkritik epistemologi modern yang dimulai sejak Descartes yang menjamin kepastian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia sendiri didasarkan atas gambaran pengetahuan sebagai representasi realitas atau penyajian kembali objek yang berada di luar manusia. Inilah pengetahuan yang kemudian disebut pengetahuan yang korespondensi atau accurate representation of reality. Atau juga kadang-kadang disebut sebagai epistemologi fondasional.
            Sebetulnya tidak hanya Rorty yang mengkritik bentuk epistemologi fondasional seperti yang dibangun oleh filsafat barat modern. Nietzche dapat dikatakan adalah seorang antifondasional epistemologi modern. Kemudian tokok-tokoh seperti Gadamer, Foucault, Derrida, Paul Feyerabend seorang tokoh anti positivisme yang menawarkan sebuah metode apa saja boleh (anything goes) dan para filsuf yang dikategorikan sebagai filsuf postmodern. Lalu apakah yang ditawarkan oleh Rorty untuk katakan merefisi metodologi dan pembenaran pengetahuan yang dibangun oleh epistemologi modern. Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah hermeneutika dalam suatu aktivitas pemaknaan wacana dalam percakapan budaya umat manusia. Pendekatan Hermeneutika ini yang kemudian menjadi pembahasan penulis untuk melihat agama secara epistemologis.
            Sebelum pada pembahasan tentang bagaimana hermeneutika menganalisa persoalan-persoalan dalam pemahan agama dan keberagamaan, penulis hendak memaparkan secara singkat apakah yang dimakasud dengan agama dan kenapa agama ada.
            Sungguh pendefinisian agama menjadi persoalan tersendiri karena agama adalah sesuatu yang memiliki bentuk yang sangat beragam dalam kehidupan kita. Yang pasti, sepanjang sejarah agama selalu saja ada hal pokok yaitu konsepsi tentang Yang Suci atau Tuhan yang menjadi watak utama agama dan biasanya juga ada kitab sucinya. Yang menarik, ada pula agama yang tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan seperti pada agama Buddha. Ini sangat berbeda dengan agama Islam, Kristen, Yahudi yang memiliki konsep tentang Tuhan secara masing-masing.
            Apapun agamanya, Tuhan yang menjadi hal pokok keberagamaan manusia, tentunya tidak dapat bercakap dan menyapa langsung manusianya. Ketakterbatasan Tuhan tidak mungkin berbicara dengan manusia yang bersifat partikular. Oleh sebab itu kemudian ada kitab suci sebagai bahasa agama yang menjadi teks pembuktian diatara pembuktian-pembuktian yang lain. Kitab suci inilah yang kemudian banyak melahirkan model keberagamaan yang bermacam-macam di antara manusia dan memunculkan problematika tersendiri. Lalu, apakah sebab problematika tersebut muncul? Adakah kemungkinan kesalahan epistemologi dalam membaca fenomena agama. Di sinilah menurut penulis signifikasi hermeneutik dalam sebuah upaya menafsirkan agama dan keberagamaan manusia.       
Hermeneutik dan Upaya Penafsiran Agama serta Perkembangannya dalam Penafsiran Teks
            Kehadiran Hermeneutik ini tidak terlepas dari perkembangan dan pertumbuhan pemikiran dan bahasa dan filsafat. Walaupun pada awalnya hermeneutika banyak dipakai untuk menafsirkan Bibel dalam menafsirkan kehendak Tuhan pada manusia. Namun kemudian, hermeneutika tidak hanya untuk menafsirkan teks kitab suci saja, tetapi berkembang pesat pada disiplin ilmu yang lebih luas bahkan pada upaya menafsirkan agama.
Akar kata hermeneutika sendiri berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia atau “interpretasi”. Hermeneuin dan hermeneia terdapat dalam teks Aristoteles, Organon. Dia menggunakan kata peri hermeneias yang diterjemahkan menjadi “on interpretation”. Kemudian dalam bentuk kata bendanya di dalam teks Plato Oedipus at Colonus. Untuk kata Yunani hermeneuein dan hermeneia  memiliki akar kata hermeios yang mengacu pada sseorang pendeta bijak Hermes. Tepatnya Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik emahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses mengiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan sebagai mediasi antara pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain[4]
Menurut Richar Palmer, ada tiga bentuk makna dasar dari hermeneuien dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga benrtuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuien, yaitu mengungkapkan kata-kata misalnya, to say, kedua, bentuk menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi dan terakhir menerjemahkan. Ketiga makna ini bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris to interpret. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu pada tiga persoalan yang berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi bahasa.[5]
            Richard E. Palmer dalam buku pengantarnya tentang hermeneutik memetakan perkembangan hermeneutik sebagai wacana pengetahuan interpretasi sejak permulaan kemunculanya dalam bentuk kronologis. Palmer memberikan peta hermeneuutik sebagai berikut:
            Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci Bibel. Hermeneutika dalam bentuk ini terdapat dalam tradisi gereja Kristen dimana masyarakat Eropa mendiskusikan Bibel untuk mendapatkan kejelasan terhadap makanya. Hermeneutik yang identik dengan prinsip interpretasi sering kali dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture). Bentuk hermeneutik semacam ini pertama kali dikaji oleh J.C Dannhauer pada tahun 1654 dalam karyanya hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum. Kajian semacam ini memiliki aneka bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran. Seperti yang dilakukan oleh Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam Bible melalui misktik, dogmatic, humanis.[6]
            Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Dimulai dengan mucnulnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad 18 mempunyai pengaruh pada hermeneutika Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam teologi. Kajian dalam bentuk ini dimulai oleh Ernesti pada tahun 1761, sampai akhirnya corak ini dianggap sbagai metode penafsiran sekuler oleh gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode penelitian dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad 19 yang menjadi fokus oleh filolog seperti Schleiermacher, Frederich August Wolf, dan Friedrich Ast. Mereka memberikan porsi yang sama dengan tafsir kitab suci dan teks lainnya.[7]
            Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistic. Schleiermacher membedakan hermeneutika science (ilmu) dan hermenutika sebagai art (seni) dalam memahami. Bentukmemahami dalam hermeneutikmerupakan arti secara umum dalam keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif sejarah, hermeneutik patut diangap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel dan filologi tradisional. Sebab dengan munculnya dua bentuk disiplin tersebut, menandai adanya pemahaman secara bahasa (linguistic) terhadap suatu teks.
            Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Pendekatan hermenutik bentuk ini dimulai oleh Wilhelm Dilthey. Ia berusaha membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. menurut Dilthey untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, aakah itu yang berbentuk hukum, karya sastra, maupun kitab suci, membutuhkan tidakan historis. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi pemahaman histories bagi kritik akal murninya Kant yang telah mengurusi ilmu-ilmu alam. Di akhir perkembangannya pemikiran Dilthey, ia berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.
            Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Corak hermenutika ini diungkapkan pertama kali oleh Martin Heidegger yang berangkat dari fisafat eksistensial dan fenomenologi. Dalam bentuk ini, hermeneutika tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagai geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dalam perjalananya, bentuk hermenutika filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer yang memberikan perhatian terhadap hermenutika dan kaitannya dengan filsafat. Gadamer dalam pandangan hermenutikanya tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.  
            Terakhir, hermenutika sebagai system interpretasi. Bentuk pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang mementukan suatu interpretasi (exegesis) suatu bagian dari teks atau sekumpulan tanda yang dianggap sebagai teks. Kajian tipe terakhir dari hermeneutika ini dikemukakan oleh Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur bahkan mimpi merupakan nyata hermeneutis, karena mimpi merupakan teks karena dipenuhi kesan-kesan simbolis. [8] 
                                   
Hermeunetika dalam Pemikiran Islam  
            Hermeneutika dalam pemikiran islam pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Sekalipun sebetulnya tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu islam tradisional, terutama tafsir al-Quran, Hasan Hanafi pennggunaan heremeneutik padaawalnya hanya merupakaneksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dasi positivisme dalam teoritissasi hukum islam dan ushul fiqh. Dalam pandangannya, hermeneutik tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan peneriman wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai tingkat kenyataan, dan lugas sampai praksis serta juga tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[9]
            Tokoh lain adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menawarkan rekonstruksi ilmu-ilmu kajian al-Quran dengan mengadopsi kritik sastra, sehingga menempatkan al-Quran seolah sebagai sastra yang teragung dalam bahasa Arab.[10] Pemikiran Abu Zayd dalam upaya merekonstruksi ilmu-ilmu al-Qurana terutama dalam karya utamaanya Mafhum an-Nass (Dirasah fi Ulum al-Quran). Selain Abu Zaid, para sarjana islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur dan Muhammad Arkoun adalah mereka yang memadukan tradisi keilmuan dalam pengetahaun islam dan pola berfikir religious studies kontemporer, khususnya hermeneutika yang berkembang pada sekitar abad 19 sebagai kerangka metodologi ilmu sosial dan humaniora.

 Bahtiar Rifa'I 
Jakarta, 2011


  


Daftar Pustaka

-          Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta Selatan: Teraju, 2003.
-          Palmer, Richard Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
-           Sudarminta, J. Epistemologi: Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001.
-          Syamsuddin, Sahiron dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.
-          Titus, Harold H.  Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj. H.M Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,



                [1] Harold H. Titus, Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj. H.M Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 187.  
                [2] J. Sudarminta, Epistemologi: Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001), hlm. 7-8.  
                [3] Ibid
                [4] Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 14.
                [5] Ibid,
                [6] Ibid, hlm. 39-42. lihat juga Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 54-55.
                [7] Palmer, Ibid, hlm. 43. 
                [8] Ibid, hlm. 47-49. 
                [9] Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003),, hlm. 60.
                [10] Ibid, hlm. xvii 

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Pages

 
;