Epistemologi
Agama dan Hermeneutik
Oleh:
Bahtiar Rifa’I
Makna Epistemologi
Agama
Epistemologi merupakan persoalan
dalam filsafat yang menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh
dan mendasar tentang pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani
episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Maka
secara harafiah epistemologi berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual
untuk menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya. Sebagai kajian
filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis
pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan.
Epistemologi sebagai cabang dalam
filsafat mempersoalkan, mengkaji, dan mencoba menemukan ciri-ciri umum serta
mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan yang muncul dalam persoalan ini
berkaitan dengan bagaimana dasarnya pengetahuan diperoleh dan diuji kebenarannya?
Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Apa
itu pengetahuan? Apa beda pengetahuan dan pendapat? Apa bedanya pengetahuan dan
kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahaui dapat dijelaskan dan
bagaimana struktur dasar budi atau pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga
pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Inilah beberapa pertanyaan pokok dalam
epistemologi yang menyibukan para epistemolog dari masa ke masa, sesuai dengan
persoalan zamanya.[1]
Menarik apa yang dikatakan oleh
filsuf Amerika kontemporer Richard Rorty bahwa epistemologi dewasa ini sudah
mati dan tidak ada relevansinya lagi untuk dihidupkan kembali. Lalu apakah
alasan Rorty mengatakan bahwa epistemologi sudah tidak relevan. Apakah ada
kesahalah metodologis, misalkan dalam epistemologi modern semenjak dibangun
oleh Descartes pada abad ke-17. [2]
Menurut Richard Rorty, ada beberapa
kerancuan yang muncul pada wilayah epistemologi modern yang secara ringkas diantaraya.
Pertama, sebagaimana nampak dalam pandangan Locke adalah kerancuan
antara syarat-syarat penjelasan atau penyeban munculnya
pegetahuan dan pembenaran terhadap klaim pengetahuan. Locke misalnya
berangapan bahwa dari adanya impresi dalam pikiran manusia tentang adanya
sebuah segitiga merah, dibuktikan bahwa sebuah benda yang berwarna merah dan
berbentuk segitiga memang ada di luar pikiran manusia. Hal ini menjadi seolah
dipaksakan bahwa sesuatu menurut pandangan Locke harus ada korespondensinya
dengan pengalaman manusia. Kedua, dalam pemikiran Kant adalah tentang
kerancuan antara predikasi (melekatnya predikat pada subjek) dan
sintesis (kegiatan memadukan dua hal yang berbeda). Menurut Rorty, Kant benar
ketika memahami pengetahuan sebagai suatu yang berkenaan dengan proposisi dan
bukan dengan benda atau objek pada dirinya sendiri di luar pikiran. Tetapi Kant
keliru ketika mengklaim bahwa konsep merupakan pemaduan (pembuatan sintesis)
secara apriori atas intuisi indrawi yang masih bersifat pusparagam.[3]
Singkatnya di sini Rorty ingin
mengkritik epistemologi modern yang dimulai sejak Descartes yang menjamin
kepastian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia sendiri
didasarkan atas gambaran pengetahuan sebagai representasi realitas atau
penyajian kembali objek yang berada di luar manusia. Inilah pengetahuan yang
kemudian disebut pengetahuan yang korespondensi atau accurate representation
of reality. Atau juga kadang-kadang disebut sebagai epistemologi fondasional.
Sebetulnya tidak hanya Rorty yang
mengkritik bentuk epistemologi fondasional seperti yang dibangun oleh filsafat
barat modern. Nietzche dapat dikatakan adalah seorang antifondasional
epistemologi modern. Kemudian tokok-tokoh seperti Gadamer, Foucault, Derrida,
Paul Feyerabend seorang tokoh anti positivisme yang menawarkan sebuah metode
apa saja boleh (anything goes) dan para filsuf yang dikategorikan
sebagai filsuf postmodern. Lalu apakah yang ditawarkan oleh Rorty untuk katakan
merefisi metodologi dan pembenaran pengetahuan yang dibangun oleh epistemologi
modern. Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah hermeneutika dalam suatu
aktivitas pemaknaan wacana dalam percakapan budaya umat manusia. Pendekatan
Hermeneutika ini yang kemudian menjadi pembahasan penulis untuk melihat agama
secara epistemologis.
Sebelum pada pembahasan tentang
bagaimana hermeneutika menganalisa persoalan-persoalan dalam pemahan agama dan
keberagamaan, penulis hendak memaparkan secara singkat apakah yang dimakasud
dengan agama dan kenapa agama ada.
Sungguh pendefinisian agama menjadi
persoalan tersendiri karena agama adalah sesuatu yang memiliki bentuk yang
sangat beragam dalam kehidupan kita. Yang pasti, sepanjang sejarah agama selalu
saja ada hal pokok yaitu konsepsi tentang Yang Suci atau Tuhan yang menjadi
watak utama agama dan biasanya juga ada kitab sucinya. Yang menarik, ada pula
agama yang tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan seperti pada agama Buddha. Ini
sangat berbeda dengan agama Islam, Kristen, Yahudi yang memiliki konsep tentang
Tuhan secara masing-masing.
Apapun agamanya, Tuhan yang menjadi
hal pokok keberagamaan manusia, tentunya tidak dapat bercakap dan menyapa
langsung manusianya. Ketakterbatasan Tuhan tidak mungkin berbicara dengan
manusia yang bersifat partikular. Oleh sebab itu kemudian ada kitab suci
sebagai bahasa agama yang menjadi teks pembuktian diatara pembuktian-pembuktian
yang lain. Kitab suci inilah yang kemudian banyak melahirkan model keberagamaan
yang bermacam-macam di antara manusia dan memunculkan problematika tersendiri.
Lalu, apakah sebab problematika tersebut muncul? Adakah kemungkinan kesalahan
epistemologi dalam membaca fenomena agama. Di sinilah menurut penulis
signifikasi hermeneutik dalam sebuah upaya menafsirkan agama dan keberagamaan
manusia.
Hermeneutik
dan Upaya Penafsiran Agama serta Perkembangannya dalam Penafsiran Teks
Kehadiran Hermeneutik ini tidak
terlepas dari perkembangan dan pertumbuhan pemikiran dan bahasa dan filsafat.
Walaupun pada awalnya hermeneutika banyak dipakai untuk menafsirkan Bibel dalam
menafsirkan kehendak Tuhan pada manusia. Namun kemudian, hermeneutika tidak
hanya untuk menafsirkan teks kitab suci saja, tetapi berkembang pesat pada
disiplin ilmu yang lebih luas bahkan pada upaya menafsirkan agama.
Akar kata hermeneutika sendiri berasal dari istilah Yunani dari kata
kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia
atau “interpretasi”. Hermeneuin dan hermeneia terdapat dalam
teks Aristoteles, Organon. Dia menggunakan kata peri hermeneias yang
diterjemahkan menjadi “on interpretation”. Kemudian dalam bentuk kata
bendanya di dalam teks Plato Oedipus at Colonus. Untuk kata Yunani hermeneuein
dan hermeneia memiliki akar
kata hermeios yang mengacu pada sseorang pendeta bijak Hermes. Tepatnya
Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik emahaman
manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. bentuk kata
yang beragam itu mengasumsikan adanya proses mengiring sesuatu atau situasi
dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami.
Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan
sebagai mediasi antara pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan
kepada orang lain[4]
Menurut Richar Palmer, ada tiga bentuk makna dasar dari hermeneuien dan
hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga benrtuk ini menggunakan bentuk verb
dari hermeneuien, yaitu mengungkapkan kata-kata misalnya, to say, kedua,
bentuk menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi dan terakhir
menerjemahkan. Ketiga makna ini bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja
inggris to interpret. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu pada
tiga persoalan yang berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal,
dan transliterasi bahasa.[5]
Richard E. Palmer dalam buku
pengantarnya tentang hermeneutik memetakan perkembangan hermeneutik sebagai
wacana pengetahuan interpretasi sejak permulaan kemunculanya dalam bentuk
kronologis. Palmer memberikan peta hermeneuutik sebagai berikut:
Pertama, hermeneutik sebagai
teori penafsiran kitab suci Bibel. Hermeneutika dalam bentuk ini terdapat dalam
tradisi gereja Kristen dimana masyarakat Eropa mendiskusikan Bibel untuk
mendapatkan kejelasan terhadap makanya. Hermeneutik yang identik dengan prinsip
interpretasi sering kali dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of
scripture). Bentuk hermeneutik semacam ini pertama kali dikaji oleh J.C
Dannhauer pada tahun 1654 dalam karyanya hermeneutica sacra sive methodus
exponendarum sacrarum litterarum. Kajian semacam ini memiliki aneka bentuk
dan melahirkan berbagai corak pemikiran. Seperti yang dilakukan oleh Martin
Luther yang memberikan interpretasi dalam Bible melalui misktik, dogmatic,
humanis.[6]
Kedua, hermeneutika sebagai
metode filologi. Dimulai dengan mucnulnya rasionalisme dan hal-hal yang
berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad 18 mempunyai
pengaruh pada hermeneutika Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik
sejarah dalam teologi. Kajian dalam bentuk ini dimulai oleh Ernesti pada tahun
1761, sampai akhirnya corak ini dianggap sbagai metode penafsiran sekuler oleh
gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode
Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode penelitian dalam filologi. Kehadiran
bentuk ini mulai tampak pada abad 19 yang menjadi fokus oleh filolog seperti
Schleiermacher, Frederich August Wolf, dan Friedrich Ast. Mereka memberikan
porsi yang sama dengan tafsir kitab suci dan teks lainnya.[7]
Ketiga, hermeneutika sebagai
ilmu pemahaman linguistic. Schleiermacher membedakan hermeneutika science
(ilmu) dan hermenutika sebagai art (seni) dalam memahami. Bentukmemahami dalam
hermeneutikmerupakan arti secara umum dalam keilmuan hermeneutik dan hal ini
masih digunakan sampai saat ini. arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik.
Oleh karena itu, dalam perspektif sejarah, hermeneutik patut diangap sebagai
pahlawan dalam penafsiran Bibel dan filologi tradisional. Sebab dengan
munculnya dua bentuk disiplin tersebut, menandai adanya pemahaman secara bahasa
(linguistic) terhadap suatu teks.
Keempat, hermeneutika sebagai
fondasi metodologi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Pendekatan
hermenutik bentuk ini dimulai oleh Wilhelm Dilthey. Ia berusaha membawa
hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan
ekspresi kehidupan manusia. menurut Dilthey untuk menafsirkan ekspresi hidup
manusia, aakah itu yang berbentuk hukum, karya sastra, maupun kitab suci,
membutuhkan tidakan historis. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan,
dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi
pemahaman histories bagi kritik akal murninya Kant yang telah mengurusi
ilmu-ilmu alam. Di akhir perkembangannya pemikiran Dilthey, ia berusaha
menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.
Kelima, hermeneutika sebagai
fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Corak hermenutika ini
diungkapkan pertama kali oleh Martin Heidegger yang berangkat dari fisafat
eksistensial dan fenomenologi. Dalam bentuk ini, hermeneutika tidak mengacu
pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagai
geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang
keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa
pemahaman dan interpretasi merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dalam
perjalananya, bentuk hermenutika filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer yang
memberikan perhatian terhadap hermenutika dan kaitannya dengan filsafat.
Gadamer dalam pandangan hermenutikanya tidak percaya dengan adanya metode
tertentu dalam mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.
Terakhir, hermenutika sebagai
system interpretasi. Bentuk pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang
seperangkat aturan yang mementukan suatu interpretasi (exegesis) suatu bagian
dari teks atau sekumpulan tanda yang dianggap sebagai teks. Kajian tipe
terakhir dari hermeneutika ini dikemukakan oleh Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur
bahkan mimpi merupakan nyata hermeneutis, karena mimpi merupakan teks karena
dipenuhi kesan-kesan simbolis. [8]
Hermeunetika
dalam Pemikiran Islam
Hermeneutika dalam pemikiran
islam pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Sekalipun sebetulnya
tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu islam
tradisional, terutama tafsir al-Quran, Hasan Hanafi pennggunaan heremeneutik
padaawalnya hanya merupakaneksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri
dasi positivisme dalam teoritissasi hukum islam dan ushul fiqh. Dalam
pandangannya, hermeneutik tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman,
tetapi juga ilmu yang menjelaskan peneriman wahyu sejak dari tingkat perkataan
sampai tingkat kenyataan, dan lugas sampai praksis serta juga tampaknya wahyu
dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[9]
Tokoh lain adalah Nasr Hamid Abu
Zayd yang menawarkan rekonstruksi ilmu-ilmu kajian al-Quran dengan mengadopsi
kritik sastra, sehingga menempatkan al-Quran seolah sebagai sastra yang
teragung dalam bahasa Arab.[10]
Pemikiran Abu Zayd dalam upaya merekonstruksi ilmu-ilmu al-Qurana terutama
dalam karya utamaanya Mafhum an-Nass (Dirasah fi Ulum al-Quran). Selain
Abu Zaid, para sarjana islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, ‘Abid
al-Jabiri, Muhammad Syahrur dan Muhammad Arkoun adalah mereka yang memadukan
tradisi keilmuan dalam pengetahaun islam dan pola berfikir religious studies
kontemporer, khususnya hermeneutika yang berkembang pada sekitar abad 19
sebagai kerangka metodologi ilmu sosial dan humaniora.
Bahtiar Rifa'I
Jakarta, 2011
Daftar Pustaka
-
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta
Selatan: Teraju, 2003.
-
Palmer, Richard Hermeneutika: Teori Baru Mengenai
Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
-
Sudarminta, J. Epistemologi:
Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, Jakarta: Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001.
-
Syamsuddin, Sahiron dkk, Hermeneutika al-Quran
Mazhab Yogya, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.
-
Titus, Harold H.
Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj.
H.M Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
0 komentar:
Posting Komentar