Jumat, 09 November 2012

Konsep Ketuhanan Agama Ibrahimi


KONSEP KETUHANAN AGAMA IBRAHIMI
(PANDANGAN ANTROPOLOGI ATAS AGAMA DAN TUHAN)

Pendahuluan
Seluruh agama di dunia, Ibrahimi, Pagan, Budha, Hindu dan segalannya memiliki konsepsi tentang tuhan, atau dikatakan sebagai ‘yang supernatural’.[1] Masyarakat pemeluk agama masing-masing tersebut mempercayai bahwa kekuatannnya tidak memadai dan terbatas secara natural. Kemudian dia percaya terhadap ‘sesuatu’ yang berada di luar dirinya (manusia) sebagai sesuatu yang lebih tinggi, berada di atas, di balik, di seberang. Manungaling kawula Gusti, yang supernatural mengalir dalam diri dan darah manusia bahkan lebih dekat sebagaimana personal dirinya. Bagitu kata Syeh Siti Jenar menerjemahakan ‘yang supernatural’ sebagai yang impersonal pada dirinya sendiri.
Immanuel Kant, seorang filsuf abad pencerahkan menganggap bahwa tuhan merupakan sebuah esensi, dalam hal ini dia berkata bahwa; “tuhan bukanlah wujud dalam diriku, tapi semata fikiran yang ada dalam diriku. Tuhan harus direpresentasikan sebagai subtansi yang berada di luar diriku, tetapi sebagai prinsip yang paling tinggi yang berada di dalam diriku”.[2]
Pada mulannya, manusia menciptakan satu tuhan yang mejadi Penyebab Petama bagi segala sesuatu dan penguasa bagi langit dan bumi. Penyebab Utama ini tidak bisa digambarkan oleh apapun dan tidak memiliki tempat tinggal berupa kuil-kuil medium penyembahan dan pengabdian. Penyebab Utama ini sungguh terlalu luhur untuk disembah oleh manusia karena manusia adalah makhluk yang tidak memadai.
Seiring dengan berjalannya waktu Penyebab Utama memudar dari kesadaran manusia. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga manusia tidak lagi menginginkannya, dan Dia menghilang.[3]
Pernyataan di atas tentang awal adannya konsep ketuhanan adalah bentuk monoteisme yang didukung oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea od God, yang  penulis kutip dalam Karen Armstong tentang sejarah tuhan agama ibrahimi. Konsep Tuhan pada masa monoteisme awal (primitif) diungkapkan dengan kepercayaan bahwa Dia menguasai dunia dari seberang ketinggian di langit, mengatur harmoni dan mengawasi di atas sana.
Tuhan dalam konsep mitologi monoteisme primitif ini selalu digambarkan dalam bentuk spiritualisme yang diasosiasikan sabagai yang tinggi. Khusunsya masyarakat Afrika kuno yang mempuyai konseptualisasi tuhan dalam monotieme primitif dengan tidak pernah menggambarkan tuhan dalam bentuk penggambaran apapun.
Seiring dengan berjalannya waktu, monotiesme primitif kemudian menghilang dan ‘dia’ dikatakan telah pergi kemudian digantikan oleh tuhan-tuhan yang ditempatkan dalam kuil, di pegunungan, dalam semak-semak atau bentuk pagan yang memiliki pemujaan pada banyak tuhan.
Dasar dari pemujaan pada bentuk banyak tuhan bisa dikatakan karena manusia secara natural tidak memiliki kekuatan dan menanggapi fenomena natural yang menakjubkan pada sekitarnya sebagai asosiasi yang gaib dan supranatural. Pada masa ini manusia biasa menganggap api sebagai asosiasi tuhan, atau hujan, matahari, angin dan lain sebaginya.
Ketakjuban akan sebuah kekuatan yang di luar diri manusia atau sebuah perasaan tentang gaib (numinous) adalah dasar dari setiap agama penyembah tuhan, sepeti yang diungkapkan oleh Rudolf Otto dalam The idea of the Holy. Perasaan yang gaib ini dirasakan oleh manusia dalam bentuk yang berbeda-beda, bisa saja dia mengalami sebuah  kemabukan spiritual, ketentrraman batin, rasa kagum, atau keperihan dan hina sama sekali dihadapan kekuatan misterius yang manusia alami.[4]
Karena merasakan kekuatan gaib yang di luar batas kemampuan diri manusia, kemudian dia melakukan upaya metaforis tentang esensi tuhan yang diasosiasikan sebagai yang memiliki kekuatan mengatur alam. Tuhan kemudian dimitologikan sebagai yang memberi hujan, yang memberikan kesuburan pada bumi kemudian dipersonifikasikan sebagai dewi-dewi, atau tuhan sebagai esensi yang ada dalam api. Inilah bentuk upaya manusia pada bentuk politeisme yang mengasosiasikan personifikasi tuhan dalam bentuk natural bayangan manusia.       
     
Konsep Tuhan dalam Agama Ibrahimi
Agama Yahudi
            Pada sekitar 742 SM, seorang anggota keluarga kerajaan Yehuda mendapatkan penampakan Yahweh di Kuil yang dibangun Raja Salomo di Yerusalem. Yesawa seseorang dari kelas pengusa dan memiliki pandangan demokratis dan populis di kerajaan Yehuda dengan masyarakat yang kecil dibandingkan kerajaan pada masa itu, sebut saja misalnya Assyiria, Babylon, Mesir dan Syiria. Dia tiba-tiba merasa melihat Yahweh tengah menduduki singgasanannya di langit di atas kuil, yang merupakan replika istana langit di bumi.[5]
            Yahweh (dalam persi King James kata ini salah eja sehingga menjadi “Jahovah”) yang dilihat oleh Yesaha tengah menduduki singgasananya di langit tepat di atas kuil memenuhi tempat suci itu dan dia dikawal oleh serafim yang menutupi wajah dengan sayap-sayap mereka. Mereka berteriak satu sama lain; kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam (Yahweh Sabaoth). Seluruh bumi penuh kemuliaannya!.[6] Ketika suara keduannya menggema, seluruh kuil bergetar dan dipenuhi asap tebal, mengelilingi Yahweh dengan kabut tak tembus, mirip awan dan asap yang menyembunyikannya dari pandangan Musa di gunung Sinai.[7]
            Orang Yahudi (baca:Israel) merupakan masyarakat yang sangat kecil dibandingkan peradaban pada jamannya, dibandingkan Mesir yang sudah mempunyai piramid, dan peradaban Sumeria dan Akad yang merupakan kerajaan besar pada waktu itu, adalah orang yang menempati daerah yang sekarang disebut Palestina dengan luas wilayah yang kecil.   
            Penampakan Yahweh dan risalah yang disampaikan pada nabi-nabi Israel adalah kepercayaan yang harus secara mutlak percaya pada keesaan Yahweh. Karena percaya pada keesaan Yahweh, orang Yahudi kemudian terkenal dengan pembawa risalah monoteisme pada peradaban agama manusia.
Dengarlah (shema), hai orang-orang Israel!Tuhan adalah Allah kita, Tuhan itu esa (ehad)! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatannmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah enggkau perhatikan.[8]
            Pada masa itu, masyarakat pada umumya adalah penyembah dewa-dewa dengan bentuk ibadah memberikan korban-korban dalam bentuk persembahan hewan-hewan kurban sapi maupun kambing dengan dibakar serta darahnya dipersembahkan. Dewa-dewa pagan menurut mereka sangat menyukai bentuk persembahan ini yang diiringi upacara-upacara atau pesta-pesta sebagai bentuk ibadah mereka atau karena rahmat kehidupan.
            Orang Yahudi sangat tidak menyukai bentuk ibadah lahiriyah seperti di atas, dan mereka meyakini bahwa bentuk ibadah tersebut tidak memadai karena itu Yesawa dan masyrakat Israel pada waktu itu mencari makna batin agama dari pada bentuk ibadah lahiriah. Mereka percaya bahwa Yahweh lebih menghendaki kasih sayang daripada pengorbanan.
Bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa,
Aku tidak akan mendena\garkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah.
Basuhlah, bersihkanlah dirtimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku.
Berhentilah berbuat jahar, belajrlah berbuat baik; usahkannlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belailah anak-anak yatim, perjuangkanlah erkara-perkala janda-janda.[9]
            Ajarah Yahudi ini, sangat bertentangan dengan peradaban pada waktu itu yang menggap bahwa ibadah pada tuhan adalah dalam bentuk persembahan kurban-kurban. Dibandingkan dengan dewa-dewa pada masa itu, Yahweh adalah bentuk tuhan yang sangat bertentangan dengan konsep dewa-dewa yang dianut peradaban besar disekitarnya.
Dewa Anu dari peradaban Mesopotamia dan dewa El dari Kanaan bersikap sombong dan menjauh dari kehidupan manusia. Maka Yahweh berbicara dengan manusia (seperti yang dialami Abraham) dan menampakan tanda-tandannya (dialami oleh Yesawa, Musa), untuk memberikan petunjuk pada manusia. Yahweh menurut orang Yahudi adalah seorang tuhan kebenaran, yang kemurahan hati dan cinta kasih-Nya berlanjut sepanjang abad dan kasihnya yang lembut meresapi seluruh karyanya, dan yang membebaskan umatnya dari perbudakan dan belenggu.[10]

Agama Kristen
            Sungguh sulit untuk mengetahui tentang Yesus sebagai pribadi karena fakta-fakta historis tentang kehidupannya sudah terselubungi oleh mitos apalagi anggapan bahwa Yesus adalah tuhan. Uraian pertama tentang riwayat hidupnya adalah Injil Markus yang baru ditulis sekitar 70 M, hampir empat puluh tahun setelah kematianya. Pendapat orang kristen generasi pertama memandang pribadi Yesus sebagai seorang Musa baru, seorang Yosua baru, dan sebagai pendiri Israel baru. Dalam masa hidupnya, banyak orang Yahudi Palestina yang percaya bahwa dia adalah seorang Mesias, dia masuk ke Yerusalem dan elu-elukan sebagi anak Daud, tetapi hanya beberapa selang kemudian, dia dihukum mati melalui penyaliban Romawi yang mengerikan karena diangap bid’ah.[11]  
            Pada saat kematian Yesus sekitar tahun 30 M, orang Yahudi yang merupakan penganut monoteisme tidak menganggap Yesus sang Mesias sebagai figur yang suci, mereka menanggap Yesus adalah manusia biasa mesti dia istimewa.  Dalam Mazmur dikatakan bahwa mesias ‘anak tuhan’, adalah anak keturunan raja Daud yang datang sebagai raja dan pemimpin spiritual dan telah mendirikan kerajaan Yahudi merdeka pertama di Yerusalem.
            Kenyataan bahwa Yesus yang kemudiaan dianggap sebagai Tuhan atau yang kudus sampai masa sekarang merupakan pengakuan yang dilakukan oleh pengikut Yesus setelah beliau wafat. Mereka percaya bahwa Yesus adalah perwujudan atau ingkarnasi tuhan dalam bentuk manusia dan membawa risalah agar orang Israel tidak tersesat dalam kegelapan karena meninggalkan ajaran ketuhanan, terutama yang diajarkan oleh Musa.
            Dalam injil Markus sebagai risalah  yang paling pertama yang dipandang paling bisa diandalakan, menampilkan Yesus sendiri sebagai seorang manusia biasa, memiliki keluarga yang terdiri dari saudara lelaki maupun perempuan. Bahkan masa kanak-kanak maupun remajannya tidak ditandai sebagai sesuatu yang luar bisa sama sekali. Adapun anggapan bahwa Yesus sebagai tuhan muncul kemudian pada sekitar abad keempat setelah kematianya.
Trinitas Tuhan Kristen         
Konsep trinitas dalam agama kristen merupakan perdebatan teologi yang panjang semenjak abad ke-empat setelah kematian Yesus. Kontropersi teologi dalam agama kristen, khususnya tentang ketuhanan Yesus dan apakah dia hanya manusia belaka, pada sekitar tahun 320 M disulut pertama kali oleh Arius seorang pemuka gereja dari Aleksandria.
Arius mempertannyakan bagimana Yesus bisa menjadi tuhan dalam cara yang sama dengan Tuhan Bapa. Dan bagaimana mungkin Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan Bapa itu lebih agung daripada dirinya, sedangkan dirinya sendiri diangap sebagai tuhan. Propoganda yang dilakukan Arius ini kemudian menjadi perdebatan yang sengit yang ditanggapi oleh Aleksander dan asistennya Athanasius.
Menurut Arius Tuhan adalah ‘satu-satunya yang tidak memperanakan, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang memiliki keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan satu-satunya yang kuasa’. Dan dia mengatakan bahwa Yesus bukanlah tuhan dalam hakikatnya, tetapi diangkat ke status ilahiah. Dia berbeda dengan manusia biasa karena tuhan menciptakannya secara langsung sedangkan makhluk-makhluk diciptakannya melalui Dia.[12]   
Arius tidak mempunyai maksud untuk merendahkan Yesus dan menyiayiakan pengorbanan Yesus untuk umat manusia. Arius sangat percaya bahwa orang Kristen telah disucikan dan diselamatkan dengan pengorbanan Yesus. Akan tetapi hal tersebut kemudian ditentang oleh kalangan uskup yang menganggap Arius sebagai orang yang bid’ah.
Namun kemudian angapan tersebut ditentang oleh Athanasius yang memiliki pandangan yang tidak optimis terhadap kapasitas manusia di hadapan tuhan. Dia memandang kemanusiaan secara inheren merupakan suatu yang rapuh, kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali kedalam ketiadaan jika kita berdosa. Oleh karena itu, menurut Athanasius, Tuhan ketika merenungkan makhluknya dan seluruh alam ciptaannya, jika dibiarkan berjalan dengan sendirinya, akan berubah dan bisa mengalami kehancuran. Untuk mencegah ini dan menjaga agar alam semesta tidak kembali tiada, Dia ciptakan segala sesuatu dengan logos-nya sendiri yang secara abadi dan meangaruniakan wujud kepada ciptaanya.[13] 
Dengan demikian, menurut Athanasius logos tuhan turun ke bumi menjadi wujud Yesus untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Kristus yang mampu menyelamatkan manusia dari kesesatan, karena tidak mungkin tuhan menempatkan logosnya pada manusia yang rentan, logos tuhan bersemayam dalam wujud Yesus. Sebagimana Athanasius berkata, Firman dibuat menjadi manusia dengan tujuan agar kita bisa menjadi kudus.
Doktrin Athanasius kemudian akhirnya disepakati oleh umat kristen pada pertemuan pada uskup di Nicaea pada 20 Mei 325. Secara garis besar Kredo Athanasius menjadi resmi menjadi doktrin umat kristen dan menegaskan bahwa Yesus Kristus bukanlah makhluk atau aeon, akan tetapi Sang Pencipta dan Penebus itu adalah Satu.
Akan tetapi, orang-orang Kristen masih kebingungan dengan peryataan bahwa jika ada satu tuhan, bagaimana bisa logos itu juga menjadi Tuhan?. Akhirnya muncul tiga teolog terkemuka dari Kapadokia Turki Timur menjelaskan kebingungan tersebut dan mengeluarkan konsep tentang trinitas yang diterima oleh agama kristen pada waktu itu. Mereka adalah Basil, Uskup Caesaera  (329-79), adiknya Gregory, Uskup Nyssa (335-95), dan sahabatnya Gregory dari Nazianzus (329-91), mereka ini yang kemudian terkenal dengan sebutan Kapadokian.[14]
Kapodokian menjelaskan bahwa Ousia (Yunani: satu esensi tuhan) Tuhan itu tidak terpahamkan oleh manusia, maka manusia hanya dapat mengenalnya melalui manifestasi-manifestasi yang telah diwahyukan kepada manusia sebagai Bapa, Putra, dan Roh (Hypostasi, tiga bentuk ). Kemudian mereka berkata bahwa, Tuhan adalah satu Ousia dalam tiga Hypostasis, Tuhan dalam dirinya sendiri adalah Satu, hanya ada satu kesadaran-diri ilahi. Akan tetapi, ketika Dia membiarkan bagian dirinya diketahui oleh makhluknya, Dia adalah tiga Prosopoi[15].[16]
Mereka mengatakan bahwa Trinitas tidak boleh dilihat sebagai fakta harafiah belaka, trinitas harus dipandang sebagai paradigma yang berkesesuain dengan fakta real yang tersembunyi dalam Tuhan. Bapa, Putra, dan Roh tidak mesti disamakan dengan tuhan itu sendiri, hakikat ilahi (ousia) tidak dapat dinamai dan dibicarakan; Bapak, Putra, dan Roh hanyalah istilah-istilah yang kita pakai untuk membicarakan energeiai yang melaluinya Tuhan menjadikan dirinya diketahui. Manusia telah mengalami tuhan sebagai yang transenden (Bapa, tersembunyi di dalam cahaya yang tak tembus), dan sebagai yang kreatif (logos), dan sebagai yang imanen (Roh Kudus).[17]   
Secara sederhana mereka menguraikan garis besara doktrin pentingnya tentang keterpisahan atau koinherensi ketiga prinsip ilahiah atau hypostases, Kapodokian mengatakan bahwa, orang tak mesti mengira bahwa Tuhan membelah dirinya  ke dalam tiga bagian, itu adalah gagasan yang berlebihan dan menghujat. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika dia ingin mewahyukan dirinya kepada dunia. Trinitas harus dipahami sebagai perbuatan yang berasal dari tuhan menuju tatanan makhluk, seperti yang yang ditunjukan oleh kitab suci, segalannya berawal dari Bapa, berproses melalui bantuan Putra, dan menjadi efektif di dunia karena adanya Roh yang imanen.[18]  

Agama Islam  
            Sekitar tahun 610 M, seorang pedagang Arab dari Kota Makkah yang tidak pernah membaca Alkitab dan mungkin tidak penah mendengar tentang Yesawa, Yeremia dan Yehezkiel, mengalami suatu pengalaman ajaib yang sama dengan pengalaman mereka, di dalam Gua Hira pada bulan ramadhan hari ketujuh belas. Muhammad ibn Abdullah ketika melakukan penyendirian spiritual di gua tersebut mendapatkan penampakan ilahiah serta memberikan perintah untuknya membaca.
            Penampakan ilahiah lewat malaikat jibril di hadapan Muhammad dan memerintahkannya untuk membaca ditolak oleh Muhammad. ‘Aku bukan seorang pembaca’. Kemudian Muhammad merasa malaikat jibril mendekapnya kuat, seolah napasnya meningalkan raganya. Ketika Muhammad merasa seakan tak mampu lagi bertahan, malaikat jibril melepaskan dekapannya dan memerintahkanya lagi, ‘Bacalah!’. Muhammad kemudian menolak. Dan akhirnya saat dekapan ketiga, Muhammad merasakan kata-kata pertama sebuah kitab suci baru keluar dari mulutnya[19]:
Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah!. Bacalah, dan Tuhamnulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam-Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.[20]   
            Fiman pertama ini, adalah bukti pengangkatan Muhammad sebagai nabi dalam agama islam, dan menjadi awal wahyu-wahyu Allah dalam kitab suci yang disebut al-Quran/bacaan.
            Setelah Muhammad mendapatkan risalah tentang kerosulan, beliau memulai dakwah keislaman dengan sembunyi-sembunyi pada penduduk Quraish. Dakwah Muhammad bukanlah model dakwah yang baru, prinsipnya sama saja seperti pada Agama Yahudi dan Krisnten dalam model monoteisme, Muhammad berdakwah mengajarkan tentang keesaan Tuhan.
            Agama Muhammad kemudian dikenal dengan Islam atau kepasrahan eksistensi yang diharapkan diberikan setiap Muslim kepada Allah, seorang muslim adalah seorang yang menyerahkan segenap dirinya kepada Sang Pencipta. Islam juga berarti bahwa kaum Muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara di mana orang-orang miskin, lemah diperlakukan secara layak. Seberti halnya nabi-nabi ibrani, Muhammad juga menyebarkan sebuah etika yang bisa disebut etika sosialis sebagai konsekwensi dari penyembahan pada satu Tuhan (monoteis).[21]
            Dalam agama islam, risalah tentang tuhan yang tertuang dalam al-Quran sebagai bukti wahyu keberadaan tuhan, menggambarkan bahwa dia tampil lebih impersonal daripada Yahweh tuhan Yahudi. Dia juga tidak dicirikan sebagai tuhan yang sedih dan memeberikan pengorbanan pada umatnya seperti dalam agama kristen.
            Tuhan dalam agama islam hanya bisa dipahami melalui ‘tanda-tanda’ alam, dan saking transendennya tuhan dalam agama islam, umatnya hanya bisa memahaminya dari ‘perumpamaannya’.[22] Kemudian, al-Quran juga menghimbau umat islam untuk melihat alam sebagai penampakan tuhan, mereka harus mengunakan upaya imajinatif untuk melihat melalui dunia yang beraneka ini wujud asal yang utuh adalah realitas transenden yang Dia menapasi segalannya dan ada di dalamnya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apoa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati(kering)-nya, dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah), bagi kaum yang memikirkannya.[23]
Selain itu, dalam sebuah hadist qudsi, tuhan berfirman kepada Muhammad; ‘Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Kemudian aku ciptakan lam agar Aku bisa dikenal’.[24]
Selain itu bukti ajaran islam tentang ketuhanan monoteis terdapat juga dalam rukum islam. Rukun islam sebagai fondasi keislaman seorang muslim yang pertama adalah mengakui dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah bukti pengakuan bahwa Allah merupakan realitas sejati yang satu-satunya, keindahan dan kesempurnaan sejati.
Huston Smith yang mengarang buku Religion of Man (Agama-agama Manusia), menulis bahwa agama islam sangat terkenal karena pengakuannnya kepada keagungan dan kekuasaan tuhannya yang esa, sehingga hal ini tidak memerlukan pembuktian lagi bagi para penganutnya atau yang di luar agama islam. Allah itu maha Besar, Maha Kuasa, Tuhan dari seluruh jagat raya, Pencipta langit dan bumi, Pengusa hidup dan mati. Ia yang merupakan Penguasa dari seluruh jagat raya adalah juga: Yang Maha Suci, Yang Maha Damai, Yang Maha Setia, Pemimpin para hamban-Nya, Pelindung anak yatim piatu, Petunjuk bagi jalan yang sesat, Pengibur bagi mereka yang mendapat musibah, Sahabat bagi kebaikan, dan dia adalah tuhan yang Maha Pemurah, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Mendengarkan, Yang selalu dekat, Yang Pengasih, Yang Paling Baik Hati, yang cintannya kepada manusia lebih lembut dari cinta induk burung kepada anak-anaknya.[25]

Pandangan Antropologi atas Tuhan dan Agama
            Antropologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia atau antropos, merupakan suatu ilmu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari suatu masalah-masalah khusus mengenai manusia.[26]Kajian antropologi pada perkembangannya memiliki ruang lingkup penelitian pada masalah etnografi dan berkembang pada masalah kebudayaan.
            Berdasarkan landasan berfikir antropologi yang melihat gejala-gejala manusia, antropologi agama muncul untuk meneliti kecenderungan dan sikap manusia atas orientasi mereka beragama. Dalam antropologi agama, para peneliti antropolog memepertannyakan tentang bagaimana manusia bisa mempercayai tuhan (agama) dan bagaimana sebuah masyarakat bisa memiliki agama. Berkaitan dengan persoalan pertanyaan di atas, kemudian banyak menarik para antropologi untuk meneliti masalah ketuhanan dan keberagamaan manusia.  
            Di sini penulis akan memaparkan beberapa pengagas antropologi  yang memiliki minat pada penelitian manusia dan agama dan melihat kecenderungan mereka terhadap fenomena tersebut. Penulis akan membatasi pada beberapa antropolog saja dan melihat gagasan mereka tentang agama dan tuhan secara umum, kemudian membandingkannya dengan sikap-sikap manusia terhadap tuhan dalam agama-agama ibrahimi.
            Max Muller (1823-1900) seorang yang dilahirkan di Jerman dan sangat dipengaruhi oleh tradisi romantik Jerman ialah seorang profesor bahasa dan sarjana Sanskrit terkemuka. Dia terkenal karena menerjaemahkan kitab Veda dan menulis buku tentang agama yang berjudul Introduction to the Science of Religion.
            Menurut Muller bahwa keyakinan terhadap tuhan merupakan suatu hal yang bersifat universal yang dialami oleh seluruh manusia dan dia berpendapat bahwa agama yang umatnya (manusia) menyembah berhala bukan meruapakan suatu kesalahan tetapi merupakan konsepsi ketuhanan yang masih belum berkembang. Kebenaran selalu ada dalam agama, bahkan dalam agama yang paling rendah pun dan paling primitif, karena walaupun agama itu masih belum berkembang, agama selalu menempatkan jiwa manusia akan keberadaan tentang tuhan.[27]
            Konsepsi tentang tuhan oleh Muller memang terlalu abstrak dan menuai banyak kritik dari sarjana-sarjana yang memiliki kepedulian terhadap kajian agama. Akan tetapi asumsi dasar yang dikemukakakan olehnya kemudian menjadi landasan bahwa agama yang paling awal adalah agama yang bercorak monoteistik. Hal ini karena penarikan kesimpulan yang dilakukann oleh Muller adalah berasal dari pengalaman indera setiap manusia. Karena dari asumsi ini, konsep ketuhanan tidak perlu susah untuk dicari karena pada dasarnya manusia secara natural memiliki perasaan-perasaaan ketuhanan dan keagamaan.
            Herbert Spencer (1820) seorang sosiolog besar abad sembilan belas dan semasa dengan Darwin adalah seorang yang disebut sebagai ‘Evolusionist’ pertama. Dibandingkan dengan Darwin yang populer dengan teori evolusinya lewat Origin of Species, Spencer menerapkan teori ini pada perkembangan masyarakat lebih awal daripada Darwin. Menurut Spencer evolusi terjadi tidak hanya dalam pembentukan bumi  semesta dan spesies, evolusi juga terjadi pada kebudayaan manusia.
            Dalam karya masterpiece-nya Principle of Sociology (1876) Spencer memandang bahwa konsepsi tentang ‘ada’ sebagai yang supernatural berawal dari konsepsi tentang hantu. Ide tentang hantu kemudian berkembang menjadi ide tentang tuhan. Hantu-hantu dalam masyarakat yang bersemayam atau dalam bentuk bayangan nenek moyang mereka, oleh masyarakat dianggap sebagai yang sakral kemudian secara evolusionis melekat pada dirinya sifat-sifat ketuhanan. Setelah dianggap memiliki sifat ketuhanan masyarakat memberikan persembahan-persembahan yang diletakan pada tempat-tempat keramat. Kemudian masyarakat tersebut melakukan ritual-ritual di tempat keramat tersebut. Kemudian Spencer menyimpulkan bahwa penyembahan terhadap leluhur merupakan akar bagi setiap agama manusia.[28]
            Herbert Spencer dan Max Muller, dikenal oleh kebanyakan sarjana sebagai seorang sarjana yang duduk di belakang meja saja. Muller yang menerjemahkan Veda tidak pernah pergi untuk meneliti masyarakat India, juga Spencer seorang sarjana independen yang hampir seluruh hidupnya tidak pernah pergi untuk melihat evolusi agama dalam masyarakat.
            Akan tetapi sebaliknya dengan Edward Tylor (1832-1917), seorang antropolog yang tidak meneliti di belakang meja saja, tetapi terjun langsung pada penelitian masyarakat. Tylor sebelum memberikan pengertian tentang keagamaan manusia, mendefinisikan antropologi sebagai ilmu tentang kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan atau peradaban adalah kesatuan yang kompleks yang memuat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[29]
            Selain antropolog, Tylor yang juga seorang evolusionis, berpendirian bahwa agama adalah sebuah fenomena natural, sebuah produk dari nalar manusia dan tidak ada interpensi supranatural. Agama oleh Tylor didefinisikan sebagai keyakinan terhadap ‘ada’ spiritual. Menurutnya animisme adalah dasar dari seluruh sistem keagamaan dan memiliki dua aspek, yaitu keyakinan pada jiwa (soul) dan keyakinan pada roh (spirit). Dua hal ini pada dasarnya bersifat universal dan ada dirasakan oleh seluruh manusia. Kemudian konsep ini berkembang pda gagasan tenteng spiritualitas being yang diyakini oleh Tylor dapat menjelaskan peristiwa dan fenomena natural, dan pada akhirnya politeisme berkembang menjadi monoteisme, dimana kekuatan banyak tuhan berasal dari satu tuhan (animisme masyarakat yang telah berperadaban).[30]
            Antropolog yang terakhir yang penulis kutip, yang juga pengikut Tylor adalah James Frazer (1854-1951). Pandangan dia tentang agama dan magis terdapat dalam bukunya yang terkenal The Golden Bough.
            Frazer sebagaigama Tylor membedakan konsepsi antara magis, ilmu dan agama. Magis manurut Frazer diasumsikan sebagai semua tidakan manusia untuk mencapai suatu maksud nmelalui kekuaatan-kekuatan yang ada di dalam alam. Manusia pada awalnya hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan persoalan hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu agama belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magis itu tadi tidak ada hasilnya, maka mulailah manusia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia, lalu mulailah manusia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. lantas timbullah agama.[31]
            Di sisi lain, kemudian frazer mendefinisikan agama sebagai suatu upaya untuk merangkul dan mengakrabi kekuatan-kekuatan yang diyakini lebih superior dibanding manusia, kemudian dilihatnya bertentangan secara fundamental baik secara magis maupun ilmu. Ini adalah sebuah tingkah laku manusia ujnntuk mencapai suatu maksud tertentu dengan cara menyandarkan diri kepada kemuan dan kekuasaan makhluk-mahkluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam. Itulah agama, menurut Frazer dalam The Golden Bough.[32]

Antropologi Versus Tuhan Agama Ibrahimi
            Dalam karya ilmiah ini, sengaja penulis membatasi beberapa tokoh antropologi saja, dan bagaimana pandangan mereka secara umum tentang agama dan tuhan. Sebetulnya masih banyak beberapa antropolog yang membahas tentang agama dan tuhan. Sebut saja misalnya Durkheim yang masuk dalam perspektif sosiologi, kemudian golongan antropolog fungsionalis seperti Bronislaw Malinowski atau antropolog struktural Prancis C. Levi-Stauss. Dari keempat teoritisi antropologi yang penulis kutip pandangannya tentang tuhan dan agama seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan mereka tentang agama adalah kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman manusia sebagai individu tentang dirinya sendiri dan dunia ini.
            Semuannya melihat kebudayaan manusia dari perspektif evolusi dan memandang agama dengan bias psikologis atau empiris. Sehingga seolah-olah agama dan tuhan adalah yang datang dengan sendirinya secara natural pada diri manusia itu sendiri. Bahwa pandangan ini menghilangkan ‘yang supernatural’ tidak datang dari ‘sesuatu’ yang berada di luar manusia itu sendiri. ‘Yang supernatural’ dan ‘sesuatu’ menurut keempat antropolog di atas adalah ada pada diri manusia sendiri.
            Konsepsi tentang tuhan, khususnya dalam agama Ibrahimi, jika menggunakan analisis antropologi dari keempat tokoh yang penulis kutip hanya merupakan inferensi rasional dan bisa juga kegelisahan jiwa nabi-nabi yang mendapatkan penampakan bukti ilahiah.
            Penarikan kesimpulan tentang tuhan dalam antropologi, sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran teologi agama ibrahimi tentang tuhan dan agama. Dalam kesimpulannya antropologi evolusionis yang penulis sebutkan di atas terlalu antroposentris dan menganggap manusia terlalu independen. Bahwa, manusia dalam antropologi adalah seorang yang mempunyai keyakinan dan emosi keagamaan menjadi landasan terbentuknya sebuah sistem keagamaan. Kemudian secara berangsur melalui proses evolusi emosi keagamaan menampakan manusia dengan sistem ritus yang mengikat dalam peribadatan. Sistem ritus agar bisa dijalankan oleh manusia kemudian membutuhkan peralatan ritus atau alat dalam bentuk aktifitas upacara penyembahan yang kemudian berakhir pada sebuah sistem keyakinan yang dianut oleh umat manusia. Inilah yang kemudian menjadi sebuah sistem agama menurut antropologi evolusionis.
            Sedangkan dalam teologi ibrahimi secara umum, agama tidak sesederhana kesimpulan di atas. Kepercayaan akan ‘Yang Spiritual’ selain memang menjadi kegelisahan psikologis manusia, ia membutuhkan sesuatu yang lain yang ada di luar batas natural manusia. Ajaran teologi ibrahimi menekankan bahwa ‘Yang Esa’ muncul dalam kesadaran nabi dan rosulnya melalui cara yang tidak bisa manusia bayangkan. Dimensi transenden menjadi aspek penting dalam pandangan umum agama ibrahimi tentang tuhan entah itu berupa kemunculan ilahiah-Nya lewat tanda-tanda alam seperti dalam islam, atau dalam bayangan kabut asap seperti yang diajarkan dalam teologi Yahudi ketika Musa mendapatkan risalah di gunung Sinai.

Kesimpulan
            Pandangan antara pendekatan antropologi terhadap konsepsi tuhan serta pandangan teologis yang diajarkan dalam teologi monoteisme agama-agama ibrahimi, dapat dikatakan sebagai dua konsepsi yang bertentangan. Dalam antropologi tuhan dikonsepsikan sebagai ‘sesuatu’ substansi yang berada di luar diri dan manusia independen memutuskan tuhan ada atau tidak. Sedangkan konsepsi tuhan dalam teologi monoteisme walaupun ‘dia’ sebagai substansi yang berada di luar diri manusia, ‘dia’ harus ada sebagai prinsip yang paling tinggi dalam diri setiap pemeluknya.
            Ini adalah posisi yang dilematis bagi penulis untuk menyebutkan bahwa di antara dua hal tersebut di atas, ada salah satu yang memiliki kelemahan dalam memandang konsepsi tuhan dan agama. Kalaupun ada kelamahan, paling tidak ada upaya akal manusia untuk menafsirkan fenomena-fenomena manusia dan agama. Atau, paling tidak doktrin agama tentang penggunaan akal secara optimal pada manusia untuk berusaha keras sampai pada pemahaman tentang ketuhanan, merupakan salah satu ajaran teologis agama juga.
            Pada akhirnya, agama dan tuhan menjadi objek penelitian bagi manusia yang memandang ini sebagai pengetahuan positif, dan menjadi sebuah doktrin dan kepercayaan bagi mereka yang memandang agama dan tuhan sebagai substansi teologis.  
                       
Bahtiar Rifa'i 
25/02/2010                   
           
           
                           




            
Catatan


[1] Term ‘yang supernatural’ penulis kutip dari karya Roney Stark. One True God, Resiko Sejarah Bertuhan Satu. (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2003).   
[2] Rodney Stark. One True God, Risiko Sejarah Bertuhan Satu. (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2003). hal. 12.
[3] Karen Armsrong. Sejarah Tuhan (Kisah Pencarian Tuhan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun). (Bandung: Mizan. 2001). hal. 27.
[4] Ibid. hal. 29
[5] Ibid. hal. 72-73.
[6] Yesawa 6:3. Ibid. hal. 73.
[7] Ibid.
[8] Ulangan 6:4-6. Ibid. hal. 87.
[9] Ibid. hal.77.
[10] Huston Smith. Agama-Agama Manusia.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009). hal. 304 . 
[11] Op-Cit. Karen Armstrong. Hal. 120.
[12] Ibid. hal 157-158.
[13] Ibid.
[14] Ibid. 163.
[15] Kapadokian juga sering menggunakan kata Proposon untuk mengantikan Hypostasis. Proposon pada dasarnya berarti ‘daya’, tetapi juga memiliki makna sekunder dan dipakai untuk merujuk pada ekspresi wajah seseorang yang mencerminkan keadaan pikirannya, atau ekspresi luar watak batin seorang individu sebagaimana tampak oleh orang lain. Karen Armstrong. hal. 166.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hal. 166-167
[18] Ibid.
[19] Ibid. hal. 186-192.
[20] QS Al-‘Alaq. Ibid. 193.
[21] Ibid. hal. 199.
[22] Ibid.hal. 200.
[23] Qs Al-Baqarah, 164. ibid
[24] Ibid.208.
[25] Huston Smith. Agama-Agama Manusia. hal. 271.
[26] Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. (Jakarta: UI-Press.1987).hal.2. 
[27] Brian Morris. Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer .(Yogyakarta: AK Group.2003). hal.111-112.   
[28] Ibid. hal.116-117. 
[29] Ibid. hal. 118-119.
[30] Ibid. hal.120-121.
[31] Koentjaraningrat. hal 54.
[32] Ibid. 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Alam tercipta dan sangat terencana, bukan terjadi begitu saja ujuk-ujuk ada malam - ada siang, ada buruk - ada jahat dan semua bentuk dan sifat materi di alam semesta ini; Tidak ada yang menyangkal ttg keberadaan manusia pertama diciptakan dan diturunkan ke bumi kecuali setan; kelompok dan sekte setanic (illuminaty, freemason dll) adalah aliran setan dan agama adalah jalan lurus yang difirmankan oleh Tuhan melalui nabi dan hamba-hambanya yg shalih;
Setan selalu merusak jalan lurus yang dibangun oleh manusia suci dengan segala propaganda yg terstruktur, masif dan terencana; Takdir gen suci akan bersemanyam dan selalu condong pada jalan yg lurus tanpa harus diminta sementara gen kotor sebaliknya;
Pertanyaanya, dimanakah silsilah gen kita.? (ini lintas budaya,agama dan sosial, lo.?)
jawabannya, mari lihat orang tua kita, rezeki yang diperoleh, sekolah kita, teman kita dan informasi yang kita konsumsi; Anda jangan merasa diintervensi tentang cara bersikap dan berfikir harus sesuai dengan sebuah dogma dan kredo apapun karena tidak ada yang merasa diuntungkan atau dirugikan;
Di Gen manakah, saya...?

Posting Komentar

Pengikut

Pages

 
;