Mahasiswa Copy-Paste
Pythagoras berkata kepada muridnya yang malas belajar,
“Wahai anak muda, jika engkau tidak sanggup menahan
lelahnya belajar, engkau harus menanggung pahitnya kebodohan.”
Sekitar 3
bulan lalu dunia akademisi di Indonesia dikagetkan dengan banyak kasus plagiasi
dilakukan oleh guru besar yang mengakui karya orang lain sebagai hasil
tulisannya sendiri. Menjiplak secara utuh dari jurnal internasional hanya untuk
mendapatkan sertifikasi demi kenaikan pangkat dengan mengorbankan nilai moral
pendidikan.
Sebagai mahasiswa pembelajar dan
peduli pada kemajuan pendidikan Indonesia, yang terjadi di beberapa kota besar
tersebut, adalah noda dan dosa yang tidak dapat diampuni dalam dunia
pendidikan. Dan sebagai mahasiwa yang mengemban amanat kenabian (agent of social
change), mari kita refleksikan diri selama dan sebagai mahasiswa sampai
saat ini, sudahkan kita bersih dari kegiatan plagiasi.
Plagiasi atau
penjiplakan jika ditinjau secara hukum tertuang pada UU nomor 29 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan medefinisikan term plagiat sebagai
pengambilan atau pencuplikan karya/pendapat orang lain dan menjadikannya
seolah-olah karya/pendapat sendiri. Modus dari plagiasi ini dengan mengutip
karya/pendapat orang lain tanpa menyebut sumbermya, atau menjiplak sebagian
atau semua karya/pendapat orang lain dengan objek antara lain tesis, disertasi,
makalah, skripsi dan karya ilmiah.(Kompas, 19/02/2010).
Nah, untuk
civitas akedemika UIN-Jakarta, hemat subjektif penulis paling tidak sebagian
besar dari kita pernah melakukan plagiasi. Jika ingin jujur, dan kita tidak
perlu melakukan penelitian untuk berapakan presentasi mahasiswa UIN yang pernah
melakukan plagiasi. Sadar atau tidak, karena sistem informasi sudah sangat
modern, kita diberikan banyak informasi tersedia di internet dan membuat
mahasiswa nyaman untuk ber-copypaste-ria jika ada tugas makalah, paper,
atau skripsi. Atau, jika sulit menemukan data di internet, para plagiator
menjiplak ide-ide tanpa memberikan sumber kutipannya dari sumber buku kutipan.
Percaya atau
tidak, jika plagiasi menjadi kebiasaan, ini menunjukan bahwa pendidikan bukan
lagi tempat untuk menjadikan manusia mahluk yang bermoral. Pendidikan bukan
lagi tempat manusia belajar kejujuran dan kearifan dari hasil akumulasi
nilai-nilai yang didapat ketika mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Sebagaimana amanat pendidikan
yang sesungguhnya, mahasiswa bukan kuliah untuk mencari nilai, tapi mahasiswa
diajarkan dalam kampus dalam proses pembentukan karakter, kejujuran, kebajikan
dan tentu sebagai pengemban amanat kenabian dalam masyarakat (agent of
social change).
Jika
nilai-nilai kebajikan di atas sudah tidak ada di dalam institusi pendidikan,
dan ketidakjujuran sudah dilakukan tidak hanya sekedar mahasiswa tapi oleh
dosen atau guru besar, institusi pendidikan sudah teralihkan fungsinya menjadi
pabrik. Pada kondisi ini, mahasiswa dan pengajar berlomba untuk menciptakan
nilai prestasi dengan segala cara. Karena yang penting adalah bukan kualitas
pembentukan jiwa individunya, tapi bagaimana “dia” bisa mencitrakan sebagai
produk (mahasiswa) yang berkualitas dengan melakukan kecurangan-kecurangan dalam
bentuk plagiasi dan manifulasi.
Menyontek,
menjiplak, potong ide sana-sini. Jika sudah menjadi kebiasaan di antara
mahasiswa demi mencari nilai--jangan heran--menurut penulis, praktek pendidikan
seperti ini tidak akan menciptakan kualitas mahasiswa yang bisa melahirkan
revolusi dalam pendidikan Indonesia. Mentalitas demikian, adalah mentalitas
mahasiswa yang menerabas demi hasil padahal dengan cara cemar dan memalukan
(Koentjaraningrat, 1986, lihat Kompas, 19/02/2010). Mentalitas ini harus
dirubah. Institusi pendidikan harus bisa melahirkan mahasiswa yang berkulitas,
jujur serta paham akan hakikat sesunguhnya dari pengertian pembelajar. Juga
harus bisa menanamkan bahwa plagiasi adalah dosa besar dalam proses
pembelajaran dan haram hukumnya bagi mahasiwa yang melakukan plagiasi.
Bahtiar Rifai
April 2010
0 komentar:
Posting Komentar