Rabu, 14 November 2012 0 komentar

Sabar


Sabar

“Apa yang dimaksud dengan kesabaran?”

Aku menjadi terkejut dan tidak menyangka sekecil itu mampu bertanya secara filosofis. Ah, aku berusaha ingin menjawab dengan sungguh dan semoga menjadi masukan yang melekat pada anak ini.

“Kesabaran adalah melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, menyeluruh, detail dan secara terus-menerus,” begitu aku menjawab pertanyaannya.
Sunguh jawaban yang aku sendiri belum tentu menyadari dari mana asalnya kata tersebut muncul. Aku sendiri pun belum tentu mampu mengikuti definisi sabar yang aku ucapkan.
Ia bertanya kembali, “Apa yang dimaksud detail dan hubungannya dengan sebuah kesabaran?”
“Nak, jika kau hendak mengetahui sesuatu sampai pada akar batasnya, kau harus bersabar dan memahami semuanya secara sedikit demi-sedikit. Itulah maksud hubungan antara detail dan kesabaran,” bersemangat aku menjawab bertanyaannya yang serius. 
“Kalau begitu, jika aku hendak mengetahui tentang dunia, aku harus mendalaminya secara pelan-pelan dan sabar?”,
“Betul. Dunia sangat luas dan beragam. Manusia tidak bisa mengetahuinya secara menyeluruh kecuali dengan ketekunan dan kesabaran”. Aku menimpali pertanyaan yang mulai serius.
“Baik pak. Aku mulai ingin mendalami tentang makna kesabaran dengan sungguh-sunggu.” Berjalan dia kembali ke kamarnya dengan senyum tanda sayang pada ayah satu-satunya.
“Oh… Andai kau sekarang berada di sini bersamaku. Kau pasti hendak menangisi keadaan anak kita yang saban hari semakin tumbuh besar dan mulai bernalar. Bangga aku memilikinya yang kau tinggalkan untuk kehidupannya. Kehidupan yang sederhana dengan cinta yang kau ajarkan padaku ketika itu. Cinta pada kebenaran dan kemanusiaan yang kau ajarkan padaku ketika dia membuka matanya pada dunia. Dan kau meninggalkan kita dengan tangis pertamanya” Aku berkata pada hati terdalam dan masa laluku.
Hari ini, aku memberinya pelajaran tentang kesabaran. Semoga esok, dia bisa memberikan aku semakin banyak pertanyaan-pertannyaan yang sulit untuk menjawabnya. Pertanyaan yang membuat aku bangga memilikinya dan menyanginya.


Jakarta. 14: 00 WIB. 
26/12/2010.
(Ditulis di Ciputan tanpa befikir ini akan menjadi cerita)
 
   
0 komentar

Consumer Society


Consumer Society

   Do you know why people love to buy something they don’t need? Spends money for things that never use, consumes something they really don’t like to eat? Regarding to this problems, after industrial revolution in England and the beginning of modern culture, people don’t aware of anything about the industrial impact and it influences to the world civilization. The most frightening impact of industrial development and the spreading of it ideas are about influencing the human behaviors to buy, to consume, and to perform. Jean Boudrillard said to this condition with ‘consumer society’.
   Sociologically, the industrial development stimulates to economic development, prosperity and mechanical reproduction. It is gradually makes people or world become prosperous and his buying capacity which commodities they want easily gotten. Because they have money, actually. Latter, either personal or group in a company, have the right to enrich they capital asset and build their opportunity to build economic development. The exchange of commodities object as the principal of economic development becomes something that unavoidable. This period named as capital economy that becomes something critical.
   Jean Boudrillard, as a Marxist commentator toward capitalism--but he gradually abandoned Marxist method because of the inappropriate theory in reading of the development of capitalism today--argue on other effect of economic development. The system of economic within it object exchange no more use a principle of classic economic. It is not about simple deal of exchanges but indoctrinating and influencing  people psychologically and sociologically to feel always lack and less of goods. They forced to buy every material object and service from the industrial output by monopolistic system. This is the system that the very newest of the capital system and said as consumer society.         
   There are questions appear related to consumer society term above. The first problem is consumption as independent or nondependent activity and the second related about psychological conditioning or do we controlled by any other system of influence. To read these problems, we really need any perspective through any critical theories.
   We are living in the new period of the objects. It not about human things anymore as essential object of living but it is about goods, a foods, and clothing. People of the previous period feel pleasure and find a value of living in interaction to another human living. They interacted in knowledge exchange, classic trading, and find living pleasure in communal perspective. People of consumer society feel pleasure in individuality. This period begin with goods accumulation or profusion. We can see everything after we cross our front yard and streets such department store, factory outlet, or any goods advertising in billboard and television. We don’t know how to control our willing to buy even in sleep. Advertisement influences our brain and forces our consciousness as we need everything to buy. It system of objects even worst with it signification to any pleasuresness, beauty, femininity, masculinity appears when we buy one of the products. For this reason, consumption becomes something controlled by advertisement signification and it influences of our psychological being.
   Finally, if you ever heard the modern philosophical wise as, “You are what you think / cogito ergo sum” actually has been changed by sentence, “You are what you eat”. This is period of late capitalism and consumer society where the values of living is on what you eat. The period where people sleeps even controlled by exchange values and gods exist in your pocket.

Bahtiar Rifa'I 
Jakarta, 10/02/2011       
                                                     
0 komentar

Epistemologi Agama dan Hermeneutik


Epistemologi Agama dan Hermeneutik
Oleh: Bahtiar Rifa’I
Makna Epistemologi Agama
            Epistemologi merupakan persoalan dalam filsafat yang menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Maka secara harafiah epistemologi berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan.
            Epistemologi sebagai cabang dalam filsafat mempersoalkan, mengkaji, dan mencoba menemukan ciri-ciri umum serta mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan yang muncul dalam persoalan ini berkaitan dengan bagaimana dasarnya pengetahuan diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Apa itu pengetahuan? Apa beda pengetahuan dan pendapat? Apa bedanya pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahaui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi atau pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Inilah beberapa pertanyaan pokok dalam epistemologi yang menyibukan para epistemolog dari masa ke masa, sesuai dengan persoalan zamanya.[1]
            Menarik apa yang dikatakan oleh filsuf Amerika kontemporer Richard Rorty bahwa epistemologi dewasa ini sudah mati dan tidak ada relevansinya lagi untuk dihidupkan kembali. Lalu apakah alasan Rorty mengatakan bahwa epistemologi sudah tidak relevan. Apakah ada kesahalah metodologis, misalkan dalam epistemologi modern semenjak dibangun oleh Descartes pada abad ke-17. [2]
            Menurut Richard Rorty, ada beberapa kerancuan yang muncul pada wilayah epistemologi modern yang secara ringkas diantaraya. Pertama, sebagaimana nampak dalam pandangan Locke adalah kerancuan antara syarat-syarat penjelasan atau penyeban munculnya pegetahuan dan pembenaran terhadap klaim pengetahuan. Locke misalnya berangapan bahwa dari adanya impresi dalam pikiran manusia tentang adanya sebuah segitiga merah, dibuktikan bahwa sebuah benda yang berwarna merah dan berbentuk segitiga memang ada di luar pikiran manusia. Hal ini menjadi seolah dipaksakan bahwa sesuatu menurut pandangan Locke harus ada korespondensinya dengan pengalaman manusia. Kedua, dalam pemikiran Kant adalah tentang kerancuan antara predikasi (melekatnya predikat pada subjek) dan sintesis (kegiatan memadukan dua hal yang berbeda). Menurut Rorty, Kant benar ketika memahami pengetahuan sebagai suatu yang berkenaan dengan proposisi dan bukan dengan benda atau objek pada dirinya sendiri di luar pikiran. Tetapi Kant keliru ketika mengklaim bahwa konsep merupakan pemaduan (pembuatan sintesis) secara apriori atas intuisi indrawi yang masih bersifat pusparagam.[3]
            Singkatnya di sini Rorty ingin mengkritik epistemologi modern yang dimulai sejak Descartes yang menjamin kepastian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia sendiri didasarkan atas gambaran pengetahuan sebagai representasi realitas atau penyajian kembali objek yang berada di luar manusia. Inilah pengetahuan yang kemudian disebut pengetahuan yang korespondensi atau accurate representation of reality. Atau juga kadang-kadang disebut sebagai epistemologi fondasional.
            Sebetulnya tidak hanya Rorty yang mengkritik bentuk epistemologi fondasional seperti yang dibangun oleh filsafat barat modern. Nietzche dapat dikatakan adalah seorang antifondasional epistemologi modern. Kemudian tokok-tokoh seperti Gadamer, Foucault, Derrida, Paul Feyerabend seorang tokoh anti positivisme yang menawarkan sebuah metode apa saja boleh (anything goes) dan para filsuf yang dikategorikan sebagai filsuf postmodern. Lalu apakah yang ditawarkan oleh Rorty untuk katakan merefisi metodologi dan pembenaran pengetahuan yang dibangun oleh epistemologi modern. Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah hermeneutika dalam suatu aktivitas pemaknaan wacana dalam percakapan budaya umat manusia. Pendekatan Hermeneutika ini yang kemudian menjadi pembahasan penulis untuk melihat agama secara epistemologis.
            Sebelum pada pembahasan tentang bagaimana hermeneutika menganalisa persoalan-persoalan dalam pemahan agama dan keberagamaan, penulis hendak memaparkan secara singkat apakah yang dimakasud dengan agama dan kenapa agama ada.
            Sungguh pendefinisian agama menjadi persoalan tersendiri karena agama adalah sesuatu yang memiliki bentuk yang sangat beragam dalam kehidupan kita. Yang pasti, sepanjang sejarah agama selalu saja ada hal pokok yaitu konsepsi tentang Yang Suci atau Tuhan yang menjadi watak utama agama dan biasanya juga ada kitab sucinya. Yang menarik, ada pula agama yang tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan seperti pada agama Buddha. Ini sangat berbeda dengan agama Islam, Kristen, Yahudi yang memiliki konsep tentang Tuhan secara masing-masing.
            Apapun agamanya, Tuhan yang menjadi hal pokok keberagamaan manusia, tentunya tidak dapat bercakap dan menyapa langsung manusianya. Ketakterbatasan Tuhan tidak mungkin berbicara dengan manusia yang bersifat partikular. Oleh sebab itu kemudian ada kitab suci sebagai bahasa agama yang menjadi teks pembuktian diatara pembuktian-pembuktian yang lain. Kitab suci inilah yang kemudian banyak melahirkan model keberagamaan yang bermacam-macam di antara manusia dan memunculkan problematika tersendiri. Lalu, apakah sebab problematika tersebut muncul? Adakah kemungkinan kesalahan epistemologi dalam membaca fenomena agama. Di sinilah menurut penulis signifikasi hermeneutik dalam sebuah upaya menafsirkan agama dan keberagamaan manusia.       
Hermeneutik dan Upaya Penafsiran Agama serta Perkembangannya dalam Penafsiran Teks
            Kehadiran Hermeneutik ini tidak terlepas dari perkembangan dan pertumbuhan pemikiran dan bahasa dan filsafat. Walaupun pada awalnya hermeneutika banyak dipakai untuk menafsirkan Bibel dalam menafsirkan kehendak Tuhan pada manusia. Namun kemudian, hermeneutika tidak hanya untuk menafsirkan teks kitab suci saja, tetapi berkembang pesat pada disiplin ilmu yang lebih luas bahkan pada upaya menafsirkan agama.
Akar kata hermeneutika sendiri berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia atau “interpretasi”. Hermeneuin dan hermeneia terdapat dalam teks Aristoteles, Organon. Dia menggunakan kata peri hermeneias yang diterjemahkan menjadi “on interpretation”. Kemudian dalam bentuk kata bendanya di dalam teks Plato Oedipus at Colonus. Untuk kata Yunani hermeneuein dan hermeneia  memiliki akar kata hermeios yang mengacu pada sseorang pendeta bijak Hermes. Tepatnya Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik emahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses mengiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan sebagai mediasi antara pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain[4]
Menurut Richar Palmer, ada tiga bentuk makna dasar dari hermeneuien dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga benrtuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuien, yaitu mengungkapkan kata-kata misalnya, to say, kedua, bentuk menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi dan terakhir menerjemahkan. Ketiga makna ini bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris to interpret. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu pada tiga persoalan yang berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi bahasa.[5]
            Richard E. Palmer dalam buku pengantarnya tentang hermeneutik memetakan perkembangan hermeneutik sebagai wacana pengetahuan interpretasi sejak permulaan kemunculanya dalam bentuk kronologis. Palmer memberikan peta hermeneuutik sebagai berikut:
            Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci Bibel. Hermeneutika dalam bentuk ini terdapat dalam tradisi gereja Kristen dimana masyarakat Eropa mendiskusikan Bibel untuk mendapatkan kejelasan terhadap makanya. Hermeneutik yang identik dengan prinsip interpretasi sering kali dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture). Bentuk hermeneutik semacam ini pertama kali dikaji oleh J.C Dannhauer pada tahun 1654 dalam karyanya hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum. Kajian semacam ini memiliki aneka bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran. Seperti yang dilakukan oleh Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam Bible melalui misktik, dogmatic, humanis.[6]
            Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Dimulai dengan mucnulnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad 18 mempunyai pengaruh pada hermeneutika Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam teologi. Kajian dalam bentuk ini dimulai oleh Ernesti pada tahun 1761, sampai akhirnya corak ini dianggap sbagai metode penafsiran sekuler oleh gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode penelitian dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad 19 yang menjadi fokus oleh filolog seperti Schleiermacher, Frederich August Wolf, dan Friedrich Ast. Mereka memberikan porsi yang sama dengan tafsir kitab suci dan teks lainnya.[7]
            Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistic. Schleiermacher membedakan hermeneutika science (ilmu) dan hermenutika sebagai art (seni) dalam memahami. Bentukmemahami dalam hermeneutikmerupakan arti secara umum dalam keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif sejarah, hermeneutik patut diangap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel dan filologi tradisional. Sebab dengan munculnya dua bentuk disiplin tersebut, menandai adanya pemahaman secara bahasa (linguistic) terhadap suatu teks.
            Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Pendekatan hermenutik bentuk ini dimulai oleh Wilhelm Dilthey. Ia berusaha membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. menurut Dilthey untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, aakah itu yang berbentuk hukum, karya sastra, maupun kitab suci, membutuhkan tidakan historis. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi pemahaman histories bagi kritik akal murninya Kant yang telah mengurusi ilmu-ilmu alam. Di akhir perkembangannya pemikiran Dilthey, ia berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.
            Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Corak hermenutika ini diungkapkan pertama kali oleh Martin Heidegger yang berangkat dari fisafat eksistensial dan fenomenologi. Dalam bentuk ini, hermeneutika tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagai geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dalam perjalananya, bentuk hermenutika filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer yang memberikan perhatian terhadap hermenutika dan kaitannya dengan filsafat. Gadamer dalam pandangan hermenutikanya tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.  
            Terakhir, hermenutika sebagai system interpretasi. Bentuk pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang mementukan suatu interpretasi (exegesis) suatu bagian dari teks atau sekumpulan tanda yang dianggap sebagai teks. Kajian tipe terakhir dari hermeneutika ini dikemukakan oleh Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur bahkan mimpi merupakan nyata hermeneutis, karena mimpi merupakan teks karena dipenuhi kesan-kesan simbolis. [8] 
                                   
Hermeunetika dalam Pemikiran Islam  
            Hermeneutika dalam pemikiran islam pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Sekalipun sebetulnya tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu islam tradisional, terutama tafsir al-Quran, Hasan Hanafi pennggunaan heremeneutik padaawalnya hanya merupakaneksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dasi positivisme dalam teoritissasi hukum islam dan ushul fiqh. Dalam pandangannya, hermeneutik tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan peneriman wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai tingkat kenyataan, dan lugas sampai praksis serta juga tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[9]
            Tokoh lain adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menawarkan rekonstruksi ilmu-ilmu kajian al-Quran dengan mengadopsi kritik sastra, sehingga menempatkan al-Quran seolah sebagai sastra yang teragung dalam bahasa Arab.[10] Pemikiran Abu Zayd dalam upaya merekonstruksi ilmu-ilmu al-Qurana terutama dalam karya utamaanya Mafhum an-Nass (Dirasah fi Ulum al-Quran). Selain Abu Zaid, para sarjana islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur dan Muhammad Arkoun adalah mereka yang memadukan tradisi keilmuan dalam pengetahaun islam dan pola berfikir religious studies kontemporer, khususnya hermeneutika yang berkembang pada sekitar abad 19 sebagai kerangka metodologi ilmu sosial dan humaniora.

 Bahtiar Rifa'I 
Jakarta, 2011


  


Daftar Pustaka

-          Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta Selatan: Teraju, 2003.
-          Palmer, Richard Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
-           Sudarminta, J. Epistemologi: Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001.
-          Syamsuddin, Sahiron dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.
-          Titus, Harold H.  Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj. H.M Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,



                [1] Harold H. Titus, Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj. H.M Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 187.  
                [2] J. Sudarminta, Epistemologi: Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001), hlm. 7-8.  
                [3] Ibid
                [4] Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 14.
                [5] Ibid,
                [6] Ibid, hlm. 39-42. lihat juga Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 54-55.
                [7] Palmer, Ibid, hlm. 43. 
                [8] Ibid, hlm. 47-49. 
                [9] Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003),, hlm. 60.
                [10] Ibid, hlm. xvii 
2 komentar

Filsafat Politik Aristoteles


Filsafat Politik Aristoteles
Menakar Hubungan Individu, Negara, Moralitas dan Konstitusi dalam Pandangan Aristoteles

            Interaksi politik dewasa ini seolah berjalan pada ingatan yang membosankan dan mengerikan. Membosankan, karena pandangan ini umunya digunakan oleh pandangan masyarakat awam yang jenuh dengan perkembangan politik, sehingga mereka acuh terhadapnya. Upaya mereka terhadap partisifasi politik paling hanya digunakan pada saat pemilihan umum. Bagi mereka yang acuh pada pergolakan politik biasanya dikerenakan politik sebagai praktek kotor dan mengelikan serta rumit. Pada sisi yang lain, politik menjadi mengerikan dengan berbagai ideologi dan pandangannya masing-masing menjerumuskan manusia pada peperangan atau bentrok antar pandangan politik berbeda. Jika dihitung kebelakang, seabad lalu pergolakan politik internasional telah membawa pada peperangan yang menghabisnkan jutaan nyawa manusia dan kerusakan mental juga materil.
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan politik demokrasi dewasa ini pula mengalami diskursus yang tak selesai-selesai. Tenyata demokrasi khususnya di Indonesia membawa pada kondisi yang para politikusnya berkesempatan membodohi rakyatnya. Sebagai wakil dari jutaan rakyat, politikus malah membingungkan masyarakat banyak dan (dengan tak ragu-ragu penulis katakan) melakukan tindak korupsi yang merugikan negara. Inilah ironi dari demokrasi Indonesia setelah sekian lama terjerumus pada totaliterianisme Orde baru. Peralihan antara totaliterianisme orde baru dan demokrasi reformasi belum menunjukan adanya itikad baik dari para politikus untuk mensejahterakan rakyat banyak.      
            Dalam tulisan ini, penulis bukan ingin menjelek-jelekan persoalan politik demokrasi di Indonesia. Tetapi, penulis ingin mengajak alam pikiran ini menelusuri makna politik semenjak awal dilahirkannya konsep manusia sebagai zoon politikon. Pandangan zoon politikon ditemukan dalam pandangan filsafat politiknya Aristoteles yang memberikan banyak kontribusi pada pandangan filsafat politik setelahnya. Ambil contoh seperti al-Farabi dalam dunia islam, menulis pandangan politiknya dalam buku al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama) yang terinspirasi Aristoteles. Di sini, penulis ingin menakar hubungan antara manusia sebagai zoon politikon dan perkembangannya dalam pembentukan sebuah negara (polis) dan sebuah konstitusi sebagai regulasi politik. Di sisi lain, moralitas menjadi pandangan Aristoteles yang sangat penting dalam melihat perkembangan politik di atas. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam praktek politik. Sebagaimana perkembangan politik sekarang, nalar kritis terhadap pandangan Aristoteles di rasa masih sangat relevan jika kita kontekstualisasikan atau dilakukan suatu perbandingan dengan masa sekarang, khusunya di Indonesia.

Asal Usul Negara
            Sebagai murid dari Plato, Aristoteles berbeda dengan gurunya yang berpandangan idealistik. Aristoteles adalah antitesa dari Plato yang seluruh pandangan filsafatnya empiris-realis. Karya politik Aristoteles yang terkenal adalah Politics dan The Athenian Constitution. Dalam bukunya, Aristoteles menguraikan konsep-konsep dasar dalam ilmu politik seperti asal mula negara, negara ideal, warga negara ideal, pembagian kekuasaan politik, keadilan serta kedaulatan, penguasa yang ideal, konstitusi dan tentang stabilitas sebuah negara.
            Kemunculan negara menurut Aristoteles tidak dapat dipisahkan dari watak manusia sendiri atau ini merupakan insting sosial seseorang. Karena itu penyebutan manusia adalah zoon politikon atau makhluk berpolitik. Dengan definisi seperti ini, sebuah negara merupakan kepastian, karena merupakan sebuah sarana agar makhluk berpolitik tersebut dapat berinteraksi dan beraktualisasi.
            Negara dalam bentuknya yang paling sederhana dianalogikan seperti sebuah keluarga. Keluarga merupakan unit atau komponen negara yang paling sederhana dan yang paling paripurna adalah negara. Hubungan antar keluarga membentuk sebuah desa sebagai komponen yang menyatukan antar keluarga berdasarkan kebutuhan masing-masing. Di sini, kebutuhan menjadi landasan hubungan sebuah negara, karena kebutuhan tentunya mensyaratkan ketergantungan pada keluarga lain dan begitu seterusnya.
Dalam teks Politicsnya, Aristoteles mengatakan, “….terbuktilah bahwa negara termasuk dalam bangunan yang sesuai dengan kodrat dan bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang membentuk negara (zoon politikon), dia yang menurut kodratnya dan tidak hanya secara kebetulan hidup di luar negara adalah lebih buruk atau lebih tinggi dari manusia”.[1] 
               
Komunitas Politis, Manusia sebagai Zoon Politikon
“…Bahwa manusia adalah makhluk politis yang lebih tinggi dari segala lebah atau makhluk kawanan manapun adalah jelas. Karena alam, seperti kita tegaskan, tak pernah membuat hal yang sia-sia. Manusialah makhluk hidup satu-satunya yang memiliki bahasa. Suara menunjukan rasa sakit dan hasrat dan kerenanya juga dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Lain daripada itu, bahasa berfungsi untuk memberitahukan hal-hal yang bermanfaat dan merugikan dan juga menyatakan apa yang adil dan yang tak adil”.[2]
“…Negara menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan. Jika dia makin menjadi satu, dia dari negara akan menjadi sebuah rumah dan dari rumah akan menjadi seorang manusia. karena kita tentu boleh berkata bahwa sebuah rumah lebih tunggal daripada sebuah negara, dan seorang individu lebih tunggal daripada sebuah rumah. Juga andaikata orang dapat membuat kesatuan ini, orang kiranya tak boleh melakukan hal itu. Karena orang kiranya akan menyudahi negara. Di samping itu negara tidak hanya terdiri dari banyak manusia, melainkan pula dari orang yang berbeda-beda jenisnya. Negara tak dapat terjadi dari orang-orang yang sama sekali sama ”.[3]
Setelah memberikan beberapa kutipan dari teks Politics Aristoteles di atas, kiranya memberikan latar belakang sebuah komunitas dan tindakan politis yang diformulasikan oleh Aristoteles. Tindakan bernegara atau dalam konteks Athena pada masa Aristoteles adalah tindakan polis mengandaikan dorongan kodrati manusia yang disertai dengan bahasa sebagai komunikasi politik.
Sekedar memberikan gambaran singkat, kaum sofisme yang pada waktu itu berkembang pula di Athena, menyerukan pandangan politis relativisme, di mana masing-masing manusia sebagai ukuran. Hal ini kemudian dikritik oleh Plato dengan kebaikan dan negara yang dipimpin oleh filsuf lewat idealismenya, akan tetapi dikritik kemudian oleh Aristoteles yang menekankan bahasa kebutuhan bersama dalam polis. Seperti dalam kutipan di atas, bahasa dalam polis adalah bahasa yang menekankan keadilan dan kebutuhan bersama demi tercapainya polis yang adil.
Lebih lanjut, pluralisme yang dikatakan Aristoteles sebagai pembangun dasar polis menunjukan bahwa tidak ada sebuah negara yang hanya dilingkupi oleh manusia yang sama. Dalam bahasa lain ide Bhineka Tunggal Ika berbeda tetapi tetap satu telah 2 milenium lalu adalah syarat dari polis. Jika kita lihat bersama kebelakang, tragedi genosida yang dilakukan Hitler sangat bertolak belakang dengan ide persatuan polis Aristoteles. Penyatuan bangsa atas ras unggul adalah sejarah kehancuran sebuah cita-cita pada keadilan. Dalam konteks yang lebih dekat, walaupun negara Indonesia berdasarkan persatuan masyarakat yang berbeda-beda suku dan wilayah, tapi kadang-kadang praktek politiknya berdasarkan kepentingan masing dan mementingkan kepedulian golongan.        

Bentuk-bentuk Negara dan Konstitusi
            Negara ideal menurut Aristoteles adalah polis atau negara kota. Negara bentuk polis memiliki bayangan sebuah negara yang tidak terlalu besar dan kecil. Tentang kekuasaan negara polis, Aristoteles berpendapat bahwa karena negara merupakan tingkat tertingi maka ia memiliki kekuasaan mutlak atau absolut.[4] Tujuan negara menurut Aristoteles pada prinsipnya sama dengan tujuan manusia yaitu agar mencapai kebahagiaan. Maka negara oleh sebab itu bertugas untuk dan mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan penduduknya. Selain itu negara dalam pandangan Aristoteles harus memiliki sebuah konstitusi di mana konstitusi terkait dengan sebuah jabatan pemerintah dan ini mewakili konstitusi. Dengan kata lain jabatan yang di pegang oleh seseorang dalam sebuah pemerintahan harus berdasarkan konstitusi yang telah disepakati dalam sebuah negara dalam bentuk keutamaan.
            Konstitusi menurut Aristoteles paling tidak harus terdiri dari tiga bagian, diantaranya; bagian pembuat hukum yang menguji hal-hal yang bermanfaat untuk keentingan umum. Adapun bagian tersebut adalah instansi yang yang memberi pertimbangan tentang hal-hal publik, kedua adalah para pejabat, dan terakhir adalah peradilan.   
            Negara yang ideal dalam pandangan Aristoteles berkaitan erat dengan moralitas. Pandangan ini kemudian dapat mengklasifikasikan sebuah negara pada bentuk yang baik dan buruk. Negara yang baik adalah negara yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai penjamin warga negara dan yang buruk adalah negara yang gagal.
            Untuk menetapkan sebuah bentuk negara Aristoteles menetapkan beberapa kriteria diantaranya; pertama, berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang satu orang, beberapa orang ataukah banyak. Kedua, apa tujuan dibentuknya negara. Apakah bertujuan untuk  mensejahterakan dan demi kebaikan umum ataukah hanya untuk si penguasa saja. Berdasarkan kritera ini. negara dapat diklasifikasikan pada beberapa kategori.
            Negara monarki, apabila kekuasaan di tangan satu orang, bertujuan untuk kebaikan dan kesejahteraan semua. Maka ini bentuk pemerintahan terbaik, negara ideal. Adapun bentk penyimpangan terhadap konstitusinya adalah tirani. Di mana kekuasan di tangan satu orang dan kekuasaan demi kepentinan pribadi dan sewenang-wenang.[5]    
            Kedua, adalah bentuk aristokrasi di mana kekuasaan negara dipegang oleh beberapa orang dan bertujuan baik demi kepentingan umum. Adapun penyimpangan terhadap bentuk negara seperti ini adalah oligarki di mana kekuasan kelompok kaya menjadi dominan dan penyaluran pada masyarakat umum menjadi terhambat. Kepentingan oligarki menekankan pada kepentingan para penguasa kaya saja. Kemudian terakhir negara yang diideakan oleh Aristoteles adalah bentuk negara yang kekuasaanya terletak ditangan di tangan orang banyak/rakyat dan bertujuan demi kepentingan semua masyarakat. Bentuk negara ini adalah politeia dan penyimpangannya adalah demokrasi. Demokrai bagi Aristoteles bukanlah negara yang ideal karena kekuasaan dipegang oleh masyarakat miskin dan demi kepentingan mereka.
            Untuk memberikan gambaran nyata antara setiap bentuk negara dan penyimpangan konstitusinya, penulis sajikan gambaran dalam bentuk table berikut ini: 
             
Bentuk-bentuk konstitusi yang baik
Batasan
Bentuk-bentuk konstitusi yang merosot
Batasan
Monarki
Kuasa satu orang demi kesejahteran umum
Tirani
Kuasa satu orang demi keuntungan satu orang
Aristokrasi
Kuasa beberapa orang demi kesejahteraan umum
Oligarki
Kuasa beberapa orang demi keuntngan golongan kaya
Politeia
Kuasa semua orang demi kesejahteraan umu
Demokrasi
Kuasa banyak orang demi keuntungan golongan miskin
            Bagi Aristoteles revolusi merupakan sesuatu yang mungkin dalam negara polis. Di mana jika ada ketidaksamaan dan pelecehan terhadap konstitusi. Jika konstitusi sebagai sebab terjadinya ketidakadilan dan pelecehan terhadap kepentingan bersama, menurut Aristoteles revolusi adalah sesuatu yang memungkinkan runtuhnya sebuah negara. Oleh sebab itu kepatuhan terhadap konstitusi menjadi sebuah kemutlakan yang berarti bukan perbudakan, akan tetapi hal ini merupakan penyelamatan terhadap konstitusi dan kepentingan bersama.

Kesimpulan
            Berdasarkan paparan di atas, sebetulnya diskursus filsafat politik Aristoteles memiliki banyak dimensi penafsiran dan tentunya masih belum usang untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi perpolitikan sekarang. Namun, sepertinya pergolakan politik khusunya di Indonesia banyak melupakan sejarah filsafat politik demokrasi. Walaupun sebetunya Aristoteles menolak demokrasi, tetapi bentuk negara polis memang terlalu kecil untuk masa sekarang.
            Di sisi lain, sebetulnya ada yang perlu digarisbawahi dari pandangan politis masyarakat pilitik Aristoteles, yaitu tentang bahasa politis dan komunikasi sebagai sarana dalam tindakan politis. Sejauh ini, berdasarkan sejarah manusia bahasa dan komunikasi politis menjadi hal yang menarik karena merupakan kehkasan dan kebebasan individu yang dijamin oleh konstitusi. Dalam ruang lingkup yang lebih banyak dalam komunitas publik, bahasa politis menjadi bahasa yang disampaikan berdasarakan kepentingan bersama dan kemajuan peradaban masyarakat umum. Dengan logos sebagai sarana, maka menurut Aristoteles percakapan tentang negara untuk menjadikan kepentingan bersama sebagai cita-cita adalah sebuah keniscayaan.
            Sayangnya, ada banyak yang lupa dengan gagasan ini. Di setiap percakapan politik sekarang ini tidak menekankan pada kepentingan bersama dan pluralitas. Bahasa politik sekarang kadang-kadang malah menyebarkan syiar kebencian pada golongan yang berbeda. Padahal demokrasi bukan berdasarkan penyatuan tetapi persatuan. Inilah yang di sayangkan. Para politikus lupa pada esensi kebersamaan dan malah kadang-kadang menggunakan konstitusi sebagai kepentingan dan alat golongannya masing-masing. Walaupun demikian, kiranya pergolakan politik khusunya di Indonesia memang bukan persoalan bagaimana menerapkan gagasan Aristoteles saja. Tetapi, kita masih perlu pada diskursus yang lebih luas dan memerukan perjuangan yang panjang. Walaupun masih banyak persoalan di tingkat pilar-pilar demokrasi, tetapi cita-cita pluralisme dan keadilan masih menjadi hal yang bukan absurd.

Bahtiar Rifa'I 
Jakarta 07/07/2011
   
Daftar Pustaka

  1. Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol I Greek and Rome, Double Day, New York, 1993.
  2. Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, teks-teks kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta, Driyarkara, 2001.
  3. Jurnal Filsafat driyarkata, edisi XXVI No. 02. 1971.
  4. Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Terj. Sigit Jatmiko Dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
  5. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.



                [1] Aristoteles, Politik, hlm 1253a1-5, (dikuti dari F. Budi Hardiman, Filsafat Politik, teks-teks kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta, Driyarkara, 2001, tanpa halaman.
                [2] Ibid , 123a6-15.
                [3] Ibid, 1261a16-25
                [4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta: PT. Gramedia Pustala Utama, 2001. Hlm. 45.
                [5] Ibid 
Jumat, 09 November 2012 0 komentar

Mahasiswa Copy-Paste


Mahasiswa Copy-Paste
Pythagoras berkata kepada muridnya yang malas belajar,
“Wahai anak muda, jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, engkau harus menanggung pahitnya kebodohan.”
Sekitar 3 bulan lalu dunia akademisi di Indonesia dikagetkan dengan banyak kasus plagiasi dilakukan oleh guru besar yang mengakui karya orang lain sebagai hasil tulisannya sendiri. Menjiplak secara utuh dari jurnal internasional hanya untuk mendapatkan sertifikasi demi kenaikan pangkat dengan mengorbankan nilai moral pendidikan.
Sebagai mahasiswa pembelajar dan peduli pada kemajuan pendidikan Indonesia, yang terjadi di beberapa kota besar tersebut, adalah noda dan dosa yang tidak dapat diampuni dalam dunia pendidikan. Dan sebagai mahasiwa yang mengemban amanat kenabian (agent of social change), mari kita refleksikan diri selama dan sebagai mahasiswa sampai saat ini, sudahkan kita bersih dari kegiatan plagiasi.
Plagiasi atau penjiplakan jika ditinjau secara hukum tertuang pada UU nomor 29 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan medefinisikan term plagiat sebagai pengambilan atau pencuplikan karya/pendapat orang lain dan menjadikannya seolah-olah karya/pendapat sendiri. Modus dari plagiasi ini dengan mengutip karya/pendapat orang lain tanpa menyebut sumbermya, atau menjiplak sebagian atau semua karya/pendapat orang lain dengan objek antara lain tesis, disertasi, makalah, skripsi dan karya ilmiah.(Kompas, 19/02/2010).
Nah, untuk civitas akedemika UIN-Jakarta, hemat subjektif penulis paling tidak sebagian besar dari kita pernah melakukan plagiasi. Jika ingin jujur, dan kita tidak perlu melakukan penelitian untuk berapakan presentasi mahasiswa UIN yang pernah melakukan plagiasi. Sadar atau tidak, karena sistem informasi sudah sangat modern, kita diberikan banyak informasi tersedia di internet dan membuat mahasiswa nyaman untuk ber-copypaste-ria jika ada tugas makalah, paper, atau skripsi. Atau, jika sulit menemukan data di internet, para plagiator menjiplak ide-ide tanpa memberikan sumber kutipannya dari sumber buku kutipan.
Percaya atau tidak, jika plagiasi menjadi kebiasaan, ini menunjukan bahwa pendidikan bukan lagi tempat untuk menjadikan manusia mahluk yang bermoral. Pendidikan bukan lagi tempat manusia belajar kejujuran dan kearifan dari hasil akumulasi nilai-nilai yang didapat ketika mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Sebagaimana amanat pendidikan yang sesungguhnya, mahasiswa bukan kuliah untuk mencari nilai, tapi mahasiswa diajarkan dalam kampus dalam proses pembentukan karakter, kejujuran, kebajikan dan tentu sebagai pengemban amanat kenabian dalam masyarakat (agent of social change).
Jika nilai-nilai kebajikan di atas sudah tidak ada di dalam institusi pendidikan, dan ketidakjujuran sudah dilakukan tidak hanya sekedar mahasiswa tapi oleh dosen atau guru besar, institusi pendidikan sudah teralihkan fungsinya menjadi pabrik. Pada kondisi ini, mahasiswa dan pengajar berlomba untuk menciptakan nilai prestasi dengan segala cara. Karena yang penting adalah bukan kualitas pembentukan jiwa individunya, tapi bagaimana “dia” bisa mencitrakan sebagai produk (mahasiswa) yang berkualitas dengan melakukan kecurangan-kecurangan dalam bentuk plagiasi dan manifulasi.
Menyontek, menjiplak, potong ide sana-sini. Jika sudah menjadi kebiasaan di antara mahasiswa demi mencari nilai--jangan heran--menurut penulis, praktek pendidikan seperti ini tidak akan menciptakan kualitas mahasiswa yang bisa melahirkan revolusi dalam pendidikan Indonesia. Mentalitas demikian, adalah mentalitas mahasiswa yang menerabas demi hasil padahal dengan cara cemar dan memalukan (Koentjaraningrat, 1986, lihat Kompas, 19/02/2010). Mentalitas ini harus dirubah. Institusi pendidikan harus bisa melahirkan mahasiswa yang berkulitas, jujur serta paham akan hakikat sesunguhnya dari pengertian pembelajar. Juga harus bisa menanamkan bahwa plagiasi adalah dosa besar dalam proses pembelajaran dan haram hukumnya bagi mahasiwa yang melakukan plagiasi.

Bahtiar Rifai
April 2010


    
0 komentar

Hari ini


Hari ini

Hari ini begitu lelah menyenangkan. Aku merasa begitu bermanfaat karena dapat mengerjakan sesuatu yang aku senangi. Walaupun awalnya begitu terasa sulit, aku tercerahkan dengan kesabaran dan ketelitian. Filosofi kesabaran ternyata memiliki kekuatan yang dapat memberikan manusia kemampuan lebih.
Begini, ketika aku merasa sulit untuk melakukan pekerjaan, ternyata dengan sedikit dan terus-menerus, aku melakukan sesuatu yang tadinya aku angap tidak mampu mengerjakan.
Ternyata, kenapa tuhan menyukai yang sederhana? Aku baru mengetahuinya dari filosofi kesabaran. Tuhan tidak menghendaki manusianya untuk menyerahkan kemanusiaannya secara keseluruhan. Dia masih mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya. Ibadah lah dengan sedikit demi sedikit tapi secara konstan. Tuhan lebih menyukai yang sedikit tapi ikhlas dan istiqomah.
Ah!!! Tuhan, jangan baca tulisanku ini. aku hanya melantur dan hendak membiarkan kelelahan jariku menekan tombol keyboard ini. aku seharian dalam kamar yang seperti tempat kerja bagiku. Bagaimana tidak!!! Kawan-kawan seperjuanganku telah pada mendapatkan pekerjaan. Sedangkan aku!!! Hanya bekerja di depan komputer lama ini.
Oh Tuhan,,, tapi tidak apa. Setidaknya aku banyak mempelajari dari kesendirian ini segala sesuatu yang membuat aku semakin memahami bahwa kehidupan tidak mudah.
Kehidupan yang dijalani sekarang, menunjukan bahwa bisa saja engkau akan seperti ini di hari esok. Secara prinsip, jika suatu saat kau mendapatkan kesempatan kerja atau melakukan sesuatu berdasarkan ingin mendapatkan upah, kau harus mengerjakannya dengan kesenangan dan keindahan. Menikmatinya serasa kau ada di dalamnya dan satu sama lain memberikan keuntungan dalam keselarasan.
Ah,,,!!! Lagi-lagi jari ini selalu melampaui kemampuan wajarnya.
Justru itu. Aku sendiri tidak tahu dan sebetulnya tidak ingin tangan ini menjentikan dan menekan tombol tuts pada keyboard. Ini hanya sekedar melatih kemampuan mencari dan menelusuri isi bayangan dalam kepala. Menyelaraskannya dalam kemampuan menulis adalah bukan perkara mudah. Tapi aku suatu saat nanti pasti dapat menyelaraskannya. Ah,,, Tuhan. Jika kau tuli, Engkau pasti Tuhan bagi mereka yang tuli. Tuhan jangan membuat aku tuli untuk mendengarkan kebenaran. Dan bukakan pendengaranku pada kebenaran yang seutuhnya. Amin.
Kuakhiri jemariku, karena sengaja aku tak ingin memanjakanya. Esok hari, lusa, atau kapan pun aku dapat menuliskan berlibu lembar rangkaian kata. Nanti,,,

Jakarta, 23 Desember 2010.
0 komentar

Sebelas 00


Sebelas 00

11.00 siang lagi Aku terbangun. Tanpa mimpi indah kecuali membayankan potongan-potongan keindahan. Seperti biasa, ada hati yang bergejolak tatkala tahu bahwa diri ini ternyata tidak dapat melakukan sesuatu tepat setelah mata terbuka melihat dunia. Gejolak itu bergemuruh selalu dalam kurun waktu yang tidak disangka-sangka dan berjalan begitu saja semenjak kesadaran ini mulai ingin memahami kehidupan.

Ah!!! Masa bisa fikiran ini melayang-layang seperti kapas yang terhembus oleh badai angin.
Ah!!! Masa sepanjang waktu kau berada di sini ternyata hanya sebuah karangan cerita tanpa arti.

Kemana saja kau saat ini. kemanakah kata-kata dan ide logika hasil bacaan kau selama menjadi mahasiswa. aku tidak yakin itu melebur begitu saja. Dia tidak terlebur kecuali meleleh dalam ketidakpahamanmu. Kau tidak paham menyarikan berbagai pandangan kehidupan dan perjalanan sejaraH orang-orang besar, kecuali hanya dalam ucapan. Tidak dalam sebuah tulisan.

Kau lemah. 
Tidak dapat mendisiplinkan kehidupanmu sendiri. Disiplin artinya, tahu dirimu sendiri dan bertindak berdasarkan kehadiran jiwamu yang sadar. Karena dia yang tahu keadaaan dan identitas dirImu yang sebennarnya.
Oh,,,,betapa malangnya dirimu yang tidak mengetahui jiwamu sendiri.\

Ini baru berjalan selama tiga hari dan kamu belum mau bekerja ekstra. Coba bayangkan jika kamu tidak menjadi apa-apa di masa yang akan datang. Bayangkan kau ah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,dengan kegagalan dan ketidakpastian masa depan.

Kau harus meneguhkan jiwa dan fikiran dan menambah wawasan keilmuan. Selalu kerja keras dan berlari satu mil lebih jauh dari orang biasa. Lebihkan jangkauan dan percaya diri bahwa semua manusia memiliki potensi yang sama. Kita, manusia, anak Adam, homo sapiens dapat melakukan hal apa saja, asal tidak bertentangan dengan kebenaran dan suara hati dan jiwa kemanusiaan.  

Jakarta, 8 Desember 2010. 
0 komentar

10 Menit Dalam Satu Ketukan


10 Menit Dalam Satu Ketukan


Tidak akan muncul seorang Gonawan Muhammad dalam ranah penulisan di Indonesia, jika awalnya dia tidak menghargai 10 menit dalam hidupnya. Pramoedya menghargai waktu paginya dengan membakar sampah dan membiarkan alam pikirnya terbawa pada asap-asap sambap yang membumbung pergi ke udara dan terhirup paru-paru. Walaupun dalam perlarian, Tan Malaka masih menyisihkan waktunya untuk menuliskan risalah-risalahnya dalam persembunyian.

Begitulah para penulis Indonesia menghargai waktu 10 menit mereka untuk memulai menulis. Aku mendapatkan gagasan baru tentang penulisan bebas setelah kemarin, berbincang dengan para wartawan dari Jakarta Post. Mereka memberikan pelajaran tentang menyisihkan waktu dalam sehari untuk 10 menit menulis. Aku pikir, 10 menit bukanlah waktu lama, seumur dengan satu batang rokok yang setiap hari ku hisap.

Bayangkan, jika setiap hari aku menghabiskan 18 batang rokok, itu artinya ada 180 menit atau kurang lebih 3 jam menulis. Jika dalam 10 menit pertama aku dapat menuliskan sebuah pemikiran bebas sepanjang setengah halaman, maka dalam 180 menit aku dapat menuliskan sekitar 18 halaman.

Waw!!! Menulis sekitar dalam 18 halaman, bukanlah perkara gampang. Seorang Goenawan Muhammad, dia menulis dalam 3 lembar catatan pinggir dalam seminggu. Artinya, siapa saja dapat menjadi atau melebihi tulisan catatan pinggir GM jika dia dapat memberikan waktu bagi tanganya untuk bergerak. Hanya 10 menit dalam sehari.
Menulis memang butuh latihan, kita dianjurkan untuk terus melatihnya dan mengharmoniskan antara berfikir dan berhayal. Ini, merupakan penulisan bebasku yang bertama, dan aku yakin, akan kuteruskan pada tulisan-tulisan selanjutnya.

Jakarta, 4 desember 2010.
   
1 komentar

Konsep Ketuhanan Agama Ibrahimi


KONSEP KETUHANAN AGAMA IBRAHIMI
(PANDANGAN ANTROPOLOGI ATAS AGAMA DAN TUHAN)

Pendahuluan
Seluruh agama di dunia, Ibrahimi, Pagan, Budha, Hindu dan segalannya memiliki konsepsi tentang tuhan, atau dikatakan sebagai ‘yang supernatural’.[1] Masyarakat pemeluk agama masing-masing tersebut mempercayai bahwa kekuatannnya tidak memadai dan terbatas secara natural. Kemudian dia percaya terhadap ‘sesuatu’ yang berada di luar dirinya (manusia) sebagai sesuatu yang lebih tinggi, berada di atas, di balik, di seberang. Manungaling kawula Gusti, yang supernatural mengalir dalam diri dan darah manusia bahkan lebih dekat sebagaimana personal dirinya. Bagitu kata Syeh Siti Jenar menerjemahakan ‘yang supernatural’ sebagai yang impersonal pada dirinya sendiri.
Immanuel Kant, seorang filsuf abad pencerahkan menganggap bahwa tuhan merupakan sebuah esensi, dalam hal ini dia berkata bahwa; “tuhan bukanlah wujud dalam diriku, tapi semata fikiran yang ada dalam diriku. Tuhan harus direpresentasikan sebagai subtansi yang berada di luar diriku, tetapi sebagai prinsip yang paling tinggi yang berada di dalam diriku”.[2]
Pada mulannya, manusia menciptakan satu tuhan yang mejadi Penyebab Petama bagi segala sesuatu dan penguasa bagi langit dan bumi. Penyebab Utama ini tidak bisa digambarkan oleh apapun dan tidak memiliki tempat tinggal berupa kuil-kuil medium penyembahan dan pengabdian. Penyebab Utama ini sungguh terlalu luhur untuk disembah oleh manusia karena manusia adalah makhluk yang tidak memadai.
Seiring dengan berjalannya waktu Penyebab Utama memudar dari kesadaran manusia. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga manusia tidak lagi menginginkannya, dan Dia menghilang.[3]
Pernyataan di atas tentang awal adannya konsep ketuhanan adalah bentuk monoteisme yang didukung oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea od God, yang  penulis kutip dalam Karen Armstong tentang sejarah tuhan agama ibrahimi. Konsep Tuhan pada masa monoteisme awal (primitif) diungkapkan dengan kepercayaan bahwa Dia menguasai dunia dari seberang ketinggian di langit, mengatur harmoni dan mengawasi di atas sana.
Tuhan dalam konsep mitologi monoteisme primitif ini selalu digambarkan dalam bentuk spiritualisme yang diasosiasikan sabagai yang tinggi. Khusunsya masyarakat Afrika kuno yang mempuyai konseptualisasi tuhan dalam monotieme primitif dengan tidak pernah menggambarkan tuhan dalam bentuk penggambaran apapun.
Seiring dengan berjalannya waktu, monotiesme primitif kemudian menghilang dan ‘dia’ dikatakan telah pergi kemudian digantikan oleh tuhan-tuhan yang ditempatkan dalam kuil, di pegunungan, dalam semak-semak atau bentuk pagan yang memiliki pemujaan pada banyak tuhan.
Dasar dari pemujaan pada bentuk banyak tuhan bisa dikatakan karena manusia secara natural tidak memiliki kekuatan dan menanggapi fenomena natural yang menakjubkan pada sekitarnya sebagai asosiasi yang gaib dan supranatural. Pada masa ini manusia biasa menganggap api sebagai asosiasi tuhan, atau hujan, matahari, angin dan lain sebaginya.
Ketakjuban akan sebuah kekuatan yang di luar diri manusia atau sebuah perasaan tentang gaib (numinous) adalah dasar dari setiap agama penyembah tuhan, sepeti yang diungkapkan oleh Rudolf Otto dalam The idea of the Holy. Perasaan yang gaib ini dirasakan oleh manusia dalam bentuk yang berbeda-beda, bisa saja dia mengalami sebuah  kemabukan spiritual, ketentrraman batin, rasa kagum, atau keperihan dan hina sama sekali dihadapan kekuatan misterius yang manusia alami.[4]
Karena merasakan kekuatan gaib yang di luar batas kemampuan diri manusia, kemudian dia melakukan upaya metaforis tentang esensi tuhan yang diasosiasikan sebagai yang memiliki kekuatan mengatur alam. Tuhan kemudian dimitologikan sebagai yang memberi hujan, yang memberikan kesuburan pada bumi kemudian dipersonifikasikan sebagai dewi-dewi, atau tuhan sebagai esensi yang ada dalam api. Inilah bentuk upaya manusia pada bentuk politeisme yang mengasosiasikan personifikasi tuhan dalam bentuk natural bayangan manusia.       
     
Konsep Tuhan dalam Agama Ibrahimi
Agama Yahudi
            Pada sekitar 742 SM, seorang anggota keluarga kerajaan Yehuda mendapatkan penampakan Yahweh di Kuil yang dibangun Raja Salomo di Yerusalem. Yesawa seseorang dari kelas pengusa dan memiliki pandangan demokratis dan populis di kerajaan Yehuda dengan masyarakat yang kecil dibandingkan kerajaan pada masa itu, sebut saja misalnya Assyiria, Babylon, Mesir dan Syiria. Dia tiba-tiba merasa melihat Yahweh tengah menduduki singgasanannya di langit di atas kuil, yang merupakan replika istana langit di bumi.[5]
            Yahweh (dalam persi King James kata ini salah eja sehingga menjadi “Jahovah”) yang dilihat oleh Yesaha tengah menduduki singgasananya di langit tepat di atas kuil memenuhi tempat suci itu dan dia dikawal oleh serafim yang menutupi wajah dengan sayap-sayap mereka. Mereka berteriak satu sama lain; kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam (Yahweh Sabaoth). Seluruh bumi penuh kemuliaannya!.[6] Ketika suara keduannya menggema, seluruh kuil bergetar dan dipenuhi asap tebal, mengelilingi Yahweh dengan kabut tak tembus, mirip awan dan asap yang menyembunyikannya dari pandangan Musa di gunung Sinai.[7]
            Orang Yahudi (baca:Israel) merupakan masyarakat yang sangat kecil dibandingkan peradaban pada jamannya, dibandingkan Mesir yang sudah mempunyai piramid, dan peradaban Sumeria dan Akad yang merupakan kerajaan besar pada waktu itu, adalah orang yang menempati daerah yang sekarang disebut Palestina dengan luas wilayah yang kecil.   
            Penampakan Yahweh dan risalah yang disampaikan pada nabi-nabi Israel adalah kepercayaan yang harus secara mutlak percaya pada keesaan Yahweh. Karena percaya pada keesaan Yahweh, orang Yahudi kemudian terkenal dengan pembawa risalah monoteisme pada peradaban agama manusia.
Dengarlah (shema), hai orang-orang Israel!Tuhan adalah Allah kita, Tuhan itu esa (ehad)! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatannmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah enggkau perhatikan.[8]
            Pada masa itu, masyarakat pada umumya adalah penyembah dewa-dewa dengan bentuk ibadah memberikan korban-korban dalam bentuk persembahan hewan-hewan kurban sapi maupun kambing dengan dibakar serta darahnya dipersembahkan. Dewa-dewa pagan menurut mereka sangat menyukai bentuk persembahan ini yang diiringi upacara-upacara atau pesta-pesta sebagai bentuk ibadah mereka atau karena rahmat kehidupan.
            Orang Yahudi sangat tidak menyukai bentuk ibadah lahiriyah seperti di atas, dan mereka meyakini bahwa bentuk ibadah tersebut tidak memadai karena itu Yesawa dan masyrakat Israel pada waktu itu mencari makna batin agama dari pada bentuk ibadah lahiriah. Mereka percaya bahwa Yahweh lebih menghendaki kasih sayang daripada pengorbanan.
Bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa,
Aku tidak akan mendena\garkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah.
Basuhlah, bersihkanlah dirtimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku.
Berhentilah berbuat jahar, belajrlah berbuat baik; usahkannlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belailah anak-anak yatim, perjuangkanlah erkara-perkala janda-janda.[9]
            Ajarah Yahudi ini, sangat bertentangan dengan peradaban pada waktu itu yang menggap bahwa ibadah pada tuhan adalah dalam bentuk persembahan kurban-kurban. Dibandingkan dengan dewa-dewa pada masa itu, Yahweh adalah bentuk tuhan yang sangat bertentangan dengan konsep dewa-dewa yang dianut peradaban besar disekitarnya.
Dewa Anu dari peradaban Mesopotamia dan dewa El dari Kanaan bersikap sombong dan menjauh dari kehidupan manusia. Maka Yahweh berbicara dengan manusia (seperti yang dialami Abraham) dan menampakan tanda-tandannya (dialami oleh Yesawa, Musa), untuk memberikan petunjuk pada manusia. Yahweh menurut orang Yahudi adalah seorang tuhan kebenaran, yang kemurahan hati dan cinta kasih-Nya berlanjut sepanjang abad dan kasihnya yang lembut meresapi seluruh karyanya, dan yang membebaskan umatnya dari perbudakan dan belenggu.[10]

Agama Kristen
            Sungguh sulit untuk mengetahui tentang Yesus sebagai pribadi karena fakta-fakta historis tentang kehidupannya sudah terselubungi oleh mitos apalagi anggapan bahwa Yesus adalah tuhan. Uraian pertama tentang riwayat hidupnya adalah Injil Markus yang baru ditulis sekitar 70 M, hampir empat puluh tahun setelah kematianya. Pendapat orang kristen generasi pertama memandang pribadi Yesus sebagai seorang Musa baru, seorang Yosua baru, dan sebagai pendiri Israel baru. Dalam masa hidupnya, banyak orang Yahudi Palestina yang percaya bahwa dia adalah seorang Mesias, dia masuk ke Yerusalem dan elu-elukan sebagi anak Daud, tetapi hanya beberapa selang kemudian, dia dihukum mati melalui penyaliban Romawi yang mengerikan karena diangap bid’ah.[11]  
            Pada saat kematian Yesus sekitar tahun 30 M, orang Yahudi yang merupakan penganut monoteisme tidak menganggap Yesus sang Mesias sebagai figur yang suci, mereka menanggap Yesus adalah manusia biasa mesti dia istimewa.  Dalam Mazmur dikatakan bahwa mesias ‘anak tuhan’, adalah anak keturunan raja Daud yang datang sebagai raja dan pemimpin spiritual dan telah mendirikan kerajaan Yahudi merdeka pertama di Yerusalem.
            Kenyataan bahwa Yesus yang kemudiaan dianggap sebagai Tuhan atau yang kudus sampai masa sekarang merupakan pengakuan yang dilakukan oleh pengikut Yesus setelah beliau wafat. Mereka percaya bahwa Yesus adalah perwujudan atau ingkarnasi tuhan dalam bentuk manusia dan membawa risalah agar orang Israel tidak tersesat dalam kegelapan karena meninggalkan ajaran ketuhanan, terutama yang diajarkan oleh Musa.
            Dalam injil Markus sebagai risalah  yang paling pertama yang dipandang paling bisa diandalakan, menampilkan Yesus sendiri sebagai seorang manusia biasa, memiliki keluarga yang terdiri dari saudara lelaki maupun perempuan. Bahkan masa kanak-kanak maupun remajannya tidak ditandai sebagai sesuatu yang luar bisa sama sekali. Adapun anggapan bahwa Yesus sebagai tuhan muncul kemudian pada sekitar abad keempat setelah kematianya.
Trinitas Tuhan Kristen         
Konsep trinitas dalam agama kristen merupakan perdebatan teologi yang panjang semenjak abad ke-empat setelah kematian Yesus. Kontropersi teologi dalam agama kristen, khususnya tentang ketuhanan Yesus dan apakah dia hanya manusia belaka, pada sekitar tahun 320 M disulut pertama kali oleh Arius seorang pemuka gereja dari Aleksandria.
Arius mempertannyakan bagimana Yesus bisa menjadi tuhan dalam cara yang sama dengan Tuhan Bapa. Dan bagaimana mungkin Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan Bapa itu lebih agung daripada dirinya, sedangkan dirinya sendiri diangap sebagai tuhan. Propoganda yang dilakukan Arius ini kemudian menjadi perdebatan yang sengit yang ditanggapi oleh Aleksander dan asistennya Athanasius.
Menurut Arius Tuhan adalah ‘satu-satunya yang tidak memperanakan, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang memiliki keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan satu-satunya yang kuasa’. Dan dia mengatakan bahwa Yesus bukanlah tuhan dalam hakikatnya, tetapi diangkat ke status ilahiah. Dia berbeda dengan manusia biasa karena tuhan menciptakannya secara langsung sedangkan makhluk-makhluk diciptakannya melalui Dia.[12]   
Arius tidak mempunyai maksud untuk merendahkan Yesus dan menyiayiakan pengorbanan Yesus untuk umat manusia. Arius sangat percaya bahwa orang Kristen telah disucikan dan diselamatkan dengan pengorbanan Yesus. Akan tetapi hal tersebut kemudian ditentang oleh kalangan uskup yang menganggap Arius sebagai orang yang bid’ah.
Namun kemudian angapan tersebut ditentang oleh Athanasius yang memiliki pandangan yang tidak optimis terhadap kapasitas manusia di hadapan tuhan. Dia memandang kemanusiaan secara inheren merupakan suatu yang rapuh, kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali kedalam ketiadaan jika kita berdosa. Oleh karena itu, menurut Athanasius, Tuhan ketika merenungkan makhluknya dan seluruh alam ciptaannya, jika dibiarkan berjalan dengan sendirinya, akan berubah dan bisa mengalami kehancuran. Untuk mencegah ini dan menjaga agar alam semesta tidak kembali tiada, Dia ciptakan segala sesuatu dengan logos-nya sendiri yang secara abadi dan meangaruniakan wujud kepada ciptaanya.[13] 
Dengan demikian, menurut Athanasius logos tuhan turun ke bumi menjadi wujud Yesus untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Kristus yang mampu menyelamatkan manusia dari kesesatan, karena tidak mungkin tuhan menempatkan logosnya pada manusia yang rentan, logos tuhan bersemayam dalam wujud Yesus. Sebagimana Athanasius berkata, Firman dibuat menjadi manusia dengan tujuan agar kita bisa menjadi kudus.
Doktrin Athanasius kemudian akhirnya disepakati oleh umat kristen pada pertemuan pada uskup di Nicaea pada 20 Mei 325. Secara garis besar Kredo Athanasius menjadi resmi menjadi doktrin umat kristen dan menegaskan bahwa Yesus Kristus bukanlah makhluk atau aeon, akan tetapi Sang Pencipta dan Penebus itu adalah Satu.
Akan tetapi, orang-orang Kristen masih kebingungan dengan peryataan bahwa jika ada satu tuhan, bagaimana bisa logos itu juga menjadi Tuhan?. Akhirnya muncul tiga teolog terkemuka dari Kapadokia Turki Timur menjelaskan kebingungan tersebut dan mengeluarkan konsep tentang trinitas yang diterima oleh agama kristen pada waktu itu. Mereka adalah Basil, Uskup Caesaera  (329-79), adiknya Gregory, Uskup Nyssa (335-95), dan sahabatnya Gregory dari Nazianzus (329-91), mereka ini yang kemudian terkenal dengan sebutan Kapadokian.[14]
Kapodokian menjelaskan bahwa Ousia (Yunani: satu esensi tuhan) Tuhan itu tidak terpahamkan oleh manusia, maka manusia hanya dapat mengenalnya melalui manifestasi-manifestasi yang telah diwahyukan kepada manusia sebagai Bapa, Putra, dan Roh (Hypostasi, tiga bentuk ). Kemudian mereka berkata bahwa, Tuhan adalah satu Ousia dalam tiga Hypostasis, Tuhan dalam dirinya sendiri adalah Satu, hanya ada satu kesadaran-diri ilahi. Akan tetapi, ketika Dia membiarkan bagian dirinya diketahui oleh makhluknya, Dia adalah tiga Prosopoi[15].[16]
Mereka mengatakan bahwa Trinitas tidak boleh dilihat sebagai fakta harafiah belaka, trinitas harus dipandang sebagai paradigma yang berkesesuain dengan fakta real yang tersembunyi dalam Tuhan. Bapa, Putra, dan Roh tidak mesti disamakan dengan tuhan itu sendiri, hakikat ilahi (ousia) tidak dapat dinamai dan dibicarakan; Bapak, Putra, dan Roh hanyalah istilah-istilah yang kita pakai untuk membicarakan energeiai yang melaluinya Tuhan menjadikan dirinya diketahui. Manusia telah mengalami tuhan sebagai yang transenden (Bapa, tersembunyi di dalam cahaya yang tak tembus), dan sebagai yang kreatif (logos), dan sebagai yang imanen (Roh Kudus).[17]   
Secara sederhana mereka menguraikan garis besara doktrin pentingnya tentang keterpisahan atau koinherensi ketiga prinsip ilahiah atau hypostases, Kapodokian mengatakan bahwa, orang tak mesti mengira bahwa Tuhan membelah dirinya  ke dalam tiga bagian, itu adalah gagasan yang berlebihan dan menghujat. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika dia ingin mewahyukan dirinya kepada dunia. Trinitas harus dipahami sebagai perbuatan yang berasal dari tuhan menuju tatanan makhluk, seperti yang yang ditunjukan oleh kitab suci, segalannya berawal dari Bapa, berproses melalui bantuan Putra, dan menjadi efektif di dunia karena adanya Roh yang imanen.[18]  

Agama Islam  
            Sekitar tahun 610 M, seorang pedagang Arab dari Kota Makkah yang tidak pernah membaca Alkitab dan mungkin tidak penah mendengar tentang Yesawa, Yeremia dan Yehezkiel, mengalami suatu pengalaman ajaib yang sama dengan pengalaman mereka, di dalam Gua Hira pada bulan ramadhan hari ketujuh belas. Muhammad ibn Abdullah ketika melakukan penyendirian spiritual di gua tersebut mendapatkan penampakan ilahiah serta memberikan perintah untuknya membaca.
            Penampakan ilahiah lewat malaikat jibril di hadapan Muhammad dan memerintahkannya untuk membaca ditolak oleh Muhammad. ‘Aku bukan seorang pembaca’. Kemudian Muhammad merasa malaikat jibril mendekapnya kuat, seolah napasnya meningalkan raganya. Ketika Muhammad merasa seakan tak mampu lagi bertahan, malaikat jibril melepaskan dekapannya dan memerintahkanya lagi, ‘Bacalah!’. Muhammad kemudian menolak. Dan akhirnya saat dekapan ketiga, Muhammad merasakan kata-kata pertama sebuah kitab suci baru keluar dari mulutnya[19]:
Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah!. Bacalah, dan Tuhamnulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam-Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.[20]   
            Fiman pertama ini, adalah bukti pengangkatan Muhammad sebagai nabi dalam agama islam, dan menjadi awal wahyu-wahyu Allah dalam kitab suci yang disebut al-Quran/bacaan.
            Setelah Muhammad mendapatkan risalah tentang kerosulan, beliau memulai dakwah keislaman dengan sembunyi-sembunyi pada penduduk Quraish. Dakwah Muhammad bukanlah model dakwah yang baru, prinsipnya sama saja seperti pada Agama Yahudi dan Krisnten dalam model monoteisme, Muhammad berdakwah mengajarkan tentang keesaan Tuhan.
            Agama Muhammad kemudian dikenal dengan Islam atau kepasrahan eksistensi yang diharapkan diberikan setiap Muslim kepada Allah, seorang muslim adalah seorang yang menyerahkan segenap dirinya kepada Sang Pencipta. Islam juga berarti bahwa kaum Muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara di mana orang-orang miskin, lemah diperlakukan secara layak. Seberti halnya nabi-nabi ibrani, Muhammad juga menyebarkan sebuah etika yang bisa disebut etika sosialis sebagai konsekwensi dari penyembahan pada satu Tuhan (monoteis).[21]
            Dalam agama islam, risalah tentang tuhan yang tertuang dalam al-Quran sebagai bukti wahyu keberadaan tuhan, menggambarkan bahwa dia tampil lebih impersonal daripada Yahweh tuhan Yahudi. Dia juga tidak dicirikan sebagai tuhan yang sedih dan memeberikan pengorbanan pada umatnya seperti dalam agama kristen.
            Tuhan dalam agama islam hanya bisa dipahami melalui ‘tanda-tanda’ alam, dan saking transendennya tuhan dalam agama islam, umatnya hanya bisa memahaminya dari ‘perumpamaannya’.[22] Kemudian, al-Quran juga menghimbau umat islam untuk melihat alam sebagai penampakan tuhan, mereka harus mengunakan upaya imajinatif untuk melihat melalui dunia yang beraneka ini wujud asal yang utuh adalah realitas transenden yang Dia menapasi segalannya dan ada di dalamnya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apoa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati(kering)-nya, dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah), bagi kaum yang memikirkannya.[23]
Selain itu, dalam sebuah hadist qudsi, tuhan berfirman kepada Muhammad; ‘Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Kemudian aku ciptakan lam agar Aku bisa dikenal’.[24]
Selain itu bukti ajaran islam tentang ketuhanan monoteis terdapat juga dalam rukum islam. Rukun islam sebagai fondasi keislaman seorang muslim yang pertama adalah mengakui dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah bukti pengakuan bahwa Allah merupakan realitas sejati yang satu-satunya, keindahan dan kesempurnaan sejati.
Huston Smith yang mengarang buku Religion of Man (Agama-agama Manusia), menulis bahwa agama islam sangat terkenal karena pengakuannnya kepada keagungan dan kekuasaan tuhannya yang esa, sehingga hal ini tidak memerlukan pembuktian lagi bagi para penganutnya atau yang di luar agama islam. Allah itu maha Besar, Maha Kuasa, Tuhan dari seluruh jagat raya, Pencipta langit dan bumi, Pengusa hidup dan mati. Ia yang merupakan Penguasa dari seluruh jagat raya adalah juga: Yang Maha Suci, Yang Maha Damai, Yang Maha Setia, Pemimpin para hamban-Nya, Pelindung anak yatim piatu, Petunjuk bagi jalan yang sesat, Pengibur bagi mereka yang mendapat musibah, Sahabat bagi kebaikan, dan dia adalah tuhan yang Maha Pemurah, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Mendengarkan, Yang selalu dekat, Yang Pengasih, Yang Paling Baik Hati, yang cintannya kepada manusia lebih lembut dari cinta induk burung kepada anak-anaknya.[25]

Pandangan Antropologi atas Tuhan dan Agama
            Antropologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia atau antropos, merupakan suatu ilmu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari suatu masalah-masalah khusus mengenai manusia.[26]Kajian antropologi pada perkembangannya memiliki ruang lingkup penelitian pada masalah etnografi dan berkembang pada masalah kebudayaan.
            Berdasarkan landasan berfikir antropologi yang melihat gejala-gejala manusia, antropologi agama muncul untuk meneliti kecenderungan dan sikap manusia atas orientasi mereka beragama. Dalam antropologi agama, para peneliti antropolog memepertannyakan tentang bagaimana manusia bisa mempercayai tuhan (agama) dan bagaimana sebuah masyarakat bisa memiliki agama. Berkaitan dengan persoalan pertanyaan di atas, kemudian banyak menarik para antropologi untuk meneliti masalah ketuhanan dan keberagamaan manusia.  
            Di sini penulis akan memaparkan beberapa pengagas antropologi  yang memiliki minat pada penelitian manusia dan agama dan melihat kecenderungan mereka terhadap fenomena tersebut. Penulis akan membatasi pada beberapa antropolog saja dan melihat gagasan mereka tentang agama dan tuhan secara umum, kemudian membandingkannya dengan sikap-sikap manusia terhadap tuhan dalam agama-agama ibrahimi.
            Max Muller (1823-1900) seorang yang dilahirkan di Jerman dan sangat dipengaruhi oleh tradisi romantik Jerman ialah seorang profesor bahasa dan sarjana Sanskrit terkemuka. Dia terkenal karena menerjaemahkan kitab Veda dan menulis buku tentang agama yang berjudul Introduction to the Science of Religion.
            Menurut Muller bahwa keyakinan terhadap tuhan merupakan suatu hal yang bersifat universal yang dialami oleh seluruh manusia dan dia berpendapat bahwa agama yang umatnya (manusia) menyembah berhala bukan meruapakan suatu kesalahan tetapi merupakan konsepsi ketuhanan yang masih belum berkembang. Kebenaran selalu ada dalam agama, bahkan dalam agama yang paling rendah pun dan paling primitif, karena walaupun agama itu masih belum berkembang, agama selalu menempatkan jiwa manusia akan keberadaan tentang tuhan.[27]
            Konsepsi tentang tuhan oleh Muller memang terlalu abstrak dan menuai banyak kritik dari sarjana-sarjana yang memiliki kepedulian terhadap kajian agama. Akan tetapi asumsi dasar yang dikemukakakan olehnya kemudian menjadi landasan bahwa agama yang paling awal adalah agama yang bercorak monoteistik. Hal ini karena penarikan kesimpulan yang dilakukann oleh Muller adalah berasal dari pengalaman indera setiap manusia. Karena dari asumsi ini, konsep ketuhanan tidak perlu susah untuk dicari karena pada dasarnya manusia secara natural memiliki perasaan-perasaaan ketuhanan dan keagamaan.
            Herbert Spencer (1820) seorang sosiolog besar abad sembilan belas dan semasa dengan Darwin adalah seorang yang disebut sebagai ‘Evolusionist’ pertama. Dibandingkan dengan Darwin yang populer dengan teori evolusinya lewat Origin of Species, Spencer menerapkan teori ini pada perkembangan masyarakat lebih awal daripada Darwin. Menurut Spencer evolusi terjadi tidak hanya dalam pembentukan bumi  semesta dan spesies, evolusi juga terjadi pada kebudayaan manusia.
            Dalam karya masterpiece-nya Principle of Sociology (1876) Spencer memandang bahwa konsepsi tentang ‘ada’ sebagai yang supernatural berawal dari konsepsi tentang hantu. Ide tentang hantu kemudian berkembang menjadi ide tentang tuhan. Hantu-hantu dalam masyarakat yang bersemayam atau dalam bentuk bayangan nenek moyang mereka, oleh masyarakat dianggap sebagai yang sakral kemudian secara evolusionis melekat pada dirinya sifat-sifat ketuhanan. Setelah dianggap memiliki sifat ketuhanan masyarakat memberikan persembahan-persembahan yang diletakan pada tempat-tempat keramat. Kemudian masyarakat tersebut melakukan ritual-ritual di tempat keramat tersebut. Kemudian Spencer menyimpulkan bahwa penyembahan terhadap leluhur merupakan akar bagi setiap agama manusia.[28]
            Herbert Spencer dan Max Muller, dikenal oleh kebanyakan sarjana sebagai seorang sarjana yang duduk di belakang meja saja. Muller yang menerjemahkan Veda tidak pernah pergi untuk meneliti masyarakat India, juga Spencer seorang sarjana independen yang hampir seluruh hidupnya tidak pernah pergi untuk melihat evolusi agama dalam masyarakat.
            Akan tetapi sebaliknya dengan Edward Tylor (1832-1917), seorang antropolog yang tidak meneliti di belakang meja saja, tetapi terjun langsung pada penelitian masyarakat. Tylor sebelum memberikan pengertian tentang keagamaan manusia, mendefinisikan antropologi sebagai ilmu tentang kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan atau peradaban adalah kesatuan yang kompleks yang memuat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[29]
            Selain antropolog, Tylor yang juga seorang evolusionis, berpendirian bahwa agama adalah sebuah fenomena natural, sebuah produk dari nalar manusia dan tidak ada interpensi supranatural. Agama oleh Tylor didefinisikan sebagai keyakinan terhadap ‘ada’ spiritual. Menurutnya animisme adalah dasar dari seluruh sistem keagamaan dan memiliki dua aspek, yaitu keyakinan pada jiwa (soul) dan keyakinan pada roh (spirit). Dua hal ini pada dasarnya bersifat universal dan ada dirasakan oleh seluruh manusia. Kemudian konsep ini berkembang pda gagasan tenteng spiritualitas being yang diyakini oleh Tylor dapat menjelaskan peristiwa dan fenomena natural, dan pada akhirnya politeisme berkembang menjadi monoteisme, dimana kekuatan banyak tuhan berasal dari satu tuhan (animisme masyarakat yang telah berperadaban).[30]
            Antropolog yang terakhir yang penulis kutip, yang juga pengikut Tylor adalah James Frazer (1854-1951). Pandangan dia tentang agama dan magis terdapat dalam bukunya yang terkenal The Golden Bough.
            Frazer sebagaigama Tylor membedakan konsepsi antara magis, ilmu dan agama. Magis manurut Frazer diasumsikan sebagai semua tidakan manusia untuk mencapai suatu maksud nmelalui kekuaatan-kekuatan yang ada di dalam alam. Manusia pada awalnya hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan persoalan hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu agama belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magis itu tadi tidak ada hasilnya, maka mulailah manusia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia, lalu mulailah manusia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. lantas timbullah agama.[31]
            Di sisi lain, kemudian frazer mendefinisikan agama sebagai suatu upaya untuk merangkul dan mengakrabi kekuatan-kekuatan yang diyakini lebih superior dibanding manusia, kemudian dilihatnya bertentangan secara fundamental baik secara magis maupun ilmu. Ini adalah sebuah tingkah laku manusia ujnntuk mencapai suatu maksud tertentu dengan cara menyandarkan diri kepada kemuan dan kekuasaan makhluk-mahkluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam. Itulah agama, menurut Frazer dalam The Golden Bough.[32]

Antropologi Versus Tuhan Agama Ibrahimi
            Dalam karya ilmiah ini, sengaja penulis membatasi beberapa tokoh antropologi saja, dan bagaimana pandangan mereka secara umum tentang agama dan tuhan. Sebetulnya masih banyak beberapa antropolog yang membahas tentang agama dan tuhan. Sebut saja misalnya Durkheim yang masuk dalam perspektif sosiologi, kemudian golongan antropolog fungsionalis seperti Bronislaw Malinowski atau antropolog struktural Prancis C. Levi-Stauss. Dari keempat teoritisi antropologi yang penulis kutip pandangannya tentang tuhan dan agama seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan mereka tentang agama adalah kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman manusia sebagai individu tentang dirinya sendiri dan dunia ini.
            Semuannya melihat kebudayaan manusia dari perspektif evolusi dan memandang agama dengan bias psikologis atau empiris. Sehingga seolah-olah agama dan tuhan adalah yang datang dengan sendirinya secara natural pada diri manusia itu sendiri. Bahwa pandangan ini menghilangkan ‘yang supernatural’ tidak datang dari ‘sesuatu’ yang berada di luar manusia itu sendiri. ‘Yang supernatural’ dan ‘sesuatu’ menurut keempat antropolog di atas adalah ada pada diri manusia sendiri.
            Konsepsi tentang tuhan, khususnya dalam agama Ibrahimi, jika menggunakan analisis antropologi dari keempat tokoh yang penulis kutip hanya merupakan inferensi rasional dan bisa juga kegelisahan jiwa nabi-nabi yang mendapatkan penampakan bukti ilahiah.
            Penarikan kesimpulan tentang tuhan dalam antropologi, sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran teologi agama ibrahimi tentang tuhan dan agama. Dalam kesimpulannya antropologi evolusionis yang penulis sebutkan di atas terlalu antroposentris dan menganggap manusia terlalu independen. Bahwa, manusia dalam antropologi adalah seorang yang mempunyai keyakinan dan emosi keagamaan menjadi landasan terbentuknya sebuah sistem keagamaan. Kemudian secara berangsur melalui proses evolusi emosi keagamaan menampakan manusia dengan sistem ritus yang mengikat dalam peribadatan. Sistem ritus agar bisa dijalankan oleh manusia kemudian membutuhkan peralatan ritus atau alat dalam bentuk aktifitas upacara penyembahan yang kemudian berakhir pada sebuah sistem keyakinan yang dianut oleh umat manusia. Inilah yang kemudian menjadi sebuah sistem agama menurut antropologi evolusionis.
            Sedangkan dalam teologi ibrahimi secara umum, agama tidak sesederhana kesimpulan di atas. Kepercayaan akan ‘Yang Spiritual’ selain memang menjadi kegelisahan psikologis manusia, ia membutuhkan sesuatu yang lain yang ada di luar batas natural manusia. Ajaran teologi ibrahimi menekankan bahwa ‘Yang Esa’ muncul dalam kesadaran nabi dan rosulnya melalui cara yang tidak bisa manusia bayangkan. Dimensi transenden menjadi aspek penting dalam pandangan umum agama ibrahimi tentang tuhan entah itu berupa kemunculan ilahiah-Nya lewat tanda-tanda alam seperti dalam islam, atau dalam bayangan kabut asap seperti yang diajarkan dalam teologi Yahudi ketika Musa mendapatkan risalah di gunung Sinai.

Kesimpulan
            Pandangan antara pendekatan antropologi terhadap konsepsi tuhan serta pandangan teologis yang diajarkan dalam teologi monoteisme agama-agama ibrahimi, dapat dikatakan sebagai dua konsepsi yang bertentangan. Dalam antropologi tuhan dikonsepsikan sebagai ‘sesuatu’ substansi yang berada di luar diri dan manusia independen memutuskan tuhan ada atau tidak. Sedangkan konsepsi tuhan dalam teologi monoteisme walaupun ‘dia’ sebagai substansi yang berada di luar diri manusia, ‘dia’ harus ada sebagai prinsip yang paling tinggi dalam diri setiap pemeluknya.
            Ini adalah posisi yang dilematis bagi penulis untuk menyebutkan bahwa di antara dua hal tersebut di atas, ada salah satu yang memiliki kelemahan dalam memandang konsepsi tuhan dan agama. Kalaupun ada kelamahan, paling tidak ada upaya akal manusia untuk menafsirkan fenomena-fenomena manusia dan agama. Atau, paling tidak doktrin agama tentang penggunaan akal secara optimal pada manusia untuk berusaha keras sampai pada pemahaman tentang ketuhanan, merupakan salah satu ajaran teologis agama juga.
            Pada akhirnya, agama dan tuhan menjadi objek penelitian bagi manusia yang memandang ini sebagai pengetahuan positif, dan menjadi sebuah doktrin dan kepercayaan bagi mereka yang memandang agama dan tuhan sebagai substansi teologis.  
                       
Bahtiar Rifa'i 
25/02/2010                   
           
           
                           




            
Catatan


[1] Term ‘yang supernatural’ penulis kutip dari karya Roney Stark. One True God, Resiko Sejarah Bertuhan Satu. (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2003).   
[2] Rodney Stark. One True God, Risiko Sejarah Bertuhan Satu. (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2003). hal. 12.
[3] Karen Armsrong. Sejarah Tuhan (Kisah Pencarian Tuhan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun). (Bandung: Mizan. 2001). hal. 27.
[4] Ibid. hal. 29
[5] Ibid. hal. 72-73.
[6] Yesawa 6:3. Ibid. hal. 73.
[7] Ibid.
[8] Ulangan 6:4-6. Ibid. hal. 87.
[9] Ibid. hal.77.
[10] Huston Smith. Agama-Agama Manusia.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009). hal. 304 . 
[11] Op-Cit. Karen Armstrong. Hal. 120.
[12] Ibid. hal 157-158.
[13] Ibid.
[14] Ibid. 163.
[15] Kapadokian juga sering menggunakan kata Proposon untuk mengantikan Hypostasis. Proposon pada dasarnya berarti ‘daya’, tetapi juga memiliki makna sekunder dan dipakai untuk merujuk pada ekspresi wajah seseorang yang mencerminkan keadaan pikirannya, atau ekspresi luar watak batin seorang individu sebagaimana tampak oleh orang lain. Karen Armstrong. hal. 166.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hal. 166-167
[18] Ibid.
[19] Ibid. hal. 186-192.
[20] QS Al-‘Alaq. Ibid. 193.
[21] Ibid. hal. 199.
[22] Ibid.hal. 200.
[23] Qs Al-Baqarah, 164. ibid
[24] Ibid.208.
[25] Huston Smith. Agama-Agama Manusia. hal. 271.
[26] Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. (Jakarta: UI-Press.1987).hal.2. 
[27] Brian Morris. Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer .(Yogyakarta: AK Group.2003). hal.111-112.   
[28] Ibid. hal.116-117. 
[29] Ibid. hal. 118-119.
[30] Ibid. hal.120-121.
[31] Koentjaraningrat. hal 54.
[32] Ibid. 

Pengikut

Pages

 
;