KONSEP
KETUHANAN AGAMA IBRAHIMI
(PANDANGAN
ANTROPOLOGI ATAS AGAMA DAN TUHAN)
Pendahuluan
Seluruh
agama di dunia, Ibrahimi, Pagan, Budha, Hindu dan segalannya memiliki konsepsi
tentang tuhan, atau dikatakan sebagai ‘yang supernatural’.[1]
Masyarakat pemeluk agama masing-masing tersebut mempercayai bahwa kekuatannnya
tidak memadai dan terbatas secara natural. Kemudian dia percaya terhadap
‘sesuatu’ yang berada di luar dirinya (manusia) sebagai sesuatu yang lebih tinggi,
berada di atas, di balik, di seberang. Manungaling kawula Gusti, yang
supernatural mengalir dalam diri dan darah manusia bahkan lebih dekat
sebagaimana personal dirinya. Bagitu kata Syeh Siti Jenar menerjemahakan ‘yang
supernatural’ sebagai yang impersonal pada dirinya sendiri.
Immanuel
Kant, seorang filsuf abad pencerahkan menganggap bahwa tuhan merupakan sebuah
esensi, dalam hal ini dia berkata bahwa; “tuhan bukanlah wujud dalam diriku,
tapi semata fikiran yang ada dalam diriku. Tuhan harus direpresentasikan
sebagai subtansi yang berada di luar diriku, tetapi sebagai prinsip yang paling
tinggi yang berada di dalam diriku”.[2]
Pada
mulannya, manusia menciptakan satu tuhan yang mejadi Penyebab Petama bagi
segala sesuatu dan penguasa bagi langit dan bumi. Penyebab Utama ini tidak bisa
digambarkan oleh apapun dan tidak memiliki tempat tinggal berupa kuil-kuil
medium penyembahan dan pengabdian. Penyebab Utama ini sungguh terlalu luhur
untuk disembah oleh manusia karena manusia adalah makhluk yang tidak memadai.
Seiring dengan
berjalannya waktu Penyebab Utama memudar dari kesadaran manusia. Dia telah
menjadi begitu jauh sehingga manusia tidak lagi menginginkannya, dan Dia
menghilang.[3]
Pernyataan
di atas tentang awal adannya konsep ketuhanan adalah bentuk monoteisme yang didukung
oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea od God, yang penulis kutip dalam Karen Armstong tentang
sejarah tuhan agama ibrahimi. Konsep Tuhan pada masa monoteisme awal (primitif)
diungkapkan dengan kepercayaan bahwa Dia menguasai dunia dari seberang
ketinggian di langit, mengatur harmoni dan mengawasi di atas sana.
Tuhan
dalam konsep mitologi monoteisme primitif ini selalu digambarkan dalam bentuk
spiritualisme yang diasosiasikan sabagai yang tinggi. Khusunsya masyarakat
Afrika kuno yang mempuyai konseptualisasi tuhan dalam monotieme primitif dengan
tidak pernah menggambarkan tuhan dalam bentuk penggambaran apapun.
Seiring
dengan berjalannya waktu, monotiesme primitif kemudian menghilang dan ‘dia’
dikatakan telah pergi kemudian digantikan oleh tuhan-tuhan yang ditempatkan
dalam kuil, di pegunungan, dalam semak-semak atau bentuk pagan yang memiliki
pemujaan pada banyak tuhan.
Dasar
dari pemujaan pada bentuk banyak tuhan bisa dikatakan karena manusia secara
natural tidak memiliki kekuatan dan menanggapi fenomena natural yang
menakjubkan pada sekitarnya sebagai asosiasi yang gaib dan supranatural. Pada
masa ini manusia biasa menganggap api sebagai asosiasi tuhan, atau hujan,
matahari, angin dan lain sebaginya.
Ketakjuban
akan sebuah kekuatan yang di luar diri manusia atau sebuah perasaan tentang
gaib (numinous) adalah dasar dari setiap agama penyembah tuhan, sepeti
yang diungkapkan oleh Rudolf Otto dalam The idea of the Holy. Perasaan
yang gaib ini dirasakan oleh manusia dalam bentuk yang berbeda-beda, bisa saja
dia mengalami sebuah kemabukan
spiritual, ketentrraman batin, rasa kagum, atau keperihan dan hina sama sekali
dihadapan kekuatan misterius yang manusia alami.[4]
Karena
merasakan kekuatan gaib yang di luar batas kemampuan diri manusia, kemudian dia
melakukan upaya metaforis tentang esensi tuhan yang diasosiasikan sebagai yang
memiliki kekuatan mengatur alam. Tuhan kemudian dimitologikan sebagai yang
memberi hujan, yang memberikan kesuburan pada bumi kemudian dipersonifikasikan
sebagai dewi-dewi, atau tuhan sebagai esensi yang ada dalam api. Inilah bentuk
upaya manusia pada bentuk politeisme yang mengasosiasikan personifikasi tuhan
dalam bentuk natural bayangan manusia.
Konsep Tuhan
dalam Agama Ibrahimi
Agama Yahudi
Pada sekitar 742 SM, seorang anggota
keluarga kerajaan Yehuda mendapatkan penampakan Yahweh di Kuil yang dibangun
Raja Salomo di Yerusalem. Yesawa seseorang dari kelas pengusa dan memiliki
pandangan demokratis dan populis di kerajaan Yehuda dengan masyarakat yang
kecil dibandingkan kerajaan pada masa itu, sebut saja misalnya Assyiria,
Babylon, Mesir dan Syiria. Dia tiba-tiba merasa melihat Yahweh tengah menduduki
singgasanannya di langit di atas kuil, yang merupakan replika istana langit di
bumi.[5]
Yahweh (dalam persi King James kata
ini salah eja sehingga menjadi “Jahovah”) yang dilihat oleh Yesaha tengah
menduduki singgasananya di langit tepat di atas kuil memenuhi tempat suci itu
dan dia dikawal oleh serafim yang menutupi wajah dengan sayap-sayap
mereka. Mereka berteriak satu sama lain; kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta
alam (Yahweh Sabaoth). Seluruh bumi penuh kemuliaannya!.[6]
Ketika suara keduannya menggema, seluruh kuil bergetar dan dipenuhi asap tebal,
mengelilingi Yahweh dengan kabut tak tembus, mirip awan dan asap yang
menyembunyikannya dari pandangan Musa di gunung Sinai.[7]
Orang Yahudi (baca:Israel) merupakan
masyarakat yang sangat kecil dibandingkan peradaban pada jamannya, dibandingkan
Mesir yang sudah mempunyai piramid, dan peradaban Sumeria dan Akad yang
merupakan kerajaan besar pada waktu itu, adalah orang yang menempati daerah
yang sekarang disebut Palestina dengan luas wilayah yang kecil.
Penampakan Yahweh dan risalah yang
disampaikan pada nabi-nabi Israel adalah kepercayaan yang harus secara mutlak
percaya pada keesaan Yahweh. Karena percaya pada keesaan Yahweh, orang Yahudi
kemudian terkenal dengan pembawa risalah monoteisme pada peradaban agama
manusia.
Dengarlah (shema), hai orang-orang Israel!Tuhan adalah Allah kita,
Tuhan itu esa (ehad)! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatannmu. Apa yang kuperintahkan
kepadamu pada hari ini haruslah enggkau perhatikan.[8]
Pada masa itu, masyarakat pada
umumya adalah penyembah dewa-dewa dengan bentuk ibadah memberikan korban-korban
dalam bentuk persembahan hewan-hewan kurban sapi maupun kambing dengan dibakar
serta darahnya dipersembahkan. Dewa-dewa pagan menurut mereka sangat menyukai
bentuk persembahan ini yang diiringi upacara-upacara atau pesta-pesta sebagai
bentuk ibadah mereka atau karena rahmat kehidupan.
Orang Yahudi sangat tidak menyukai
bentuk ibadah lahiriyah seperti di atas, dan mereka meyakini bahwa bentuk
ibadah tersebut tidak memadai karena itu Yesawa dan masyrakat Israel pada waktu
itu mencari makna batin agama dari pada bentuk ibadah lahiriah. Mereka percaya
bahwa Yahweh lebih menghendaki kasih sayang daripada pengorbanan.
Bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa,
Aku tidak akan mendena\garkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah.
Basuhlah, bersihkanlah dirtimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang
jahat dari depan mata-Ku.
Berhentilah berbuat jahar, belajrlah berbuat baik; usahkannlah
keadilan, kendalikanlah orang kejam; belailah anak-anak yatim, perjuangkanlah
erkara-perkala janda-janda.[9]
Ajarah Yahudi ini, sangat
bertentangan dengan peradaban pada waktu itu yang menggap bahwa ibadah pada
tuhan adalah dalam bentuk persembahan kurban-kurban. Dibandingkan dengan
dewa-dewa pada masa itu, Yahweh adalah bentuk tuhan yang sangat bertentangan
dengan konsep dewa-dewa yang dianut peradaban besar disekitarnya.
Dewa
Anu dari peradaban Mesopotamia dan dewa El dari Kanaan bersikap sombong dan
menjauh dari kehidupan manusia. Maka Yahweh berbicara dengan manusia (seperti
yang dialami Abraham) dan menampakan tanda-tandannya (dialami oleh Yesawa,
Musa), untuk memberikan petunjuk pada manusia. Yahweh menurut orang Yahudi
adalah seorang tuhan kebenaran, yang kemurahan hati dan cinta kasih-Nya
berlanjut sepanjang abad dan kasihnya yang lembut meresapi seluruh karyanya,
dan yang membebaskan umatnya dari perbudakan dan belenggu.[10]
Agama Kristen
Sungguh
sulit untuk mengetahui tentang Yesus sebagai pribadi karena fakta-fakta
historis tentang kehidupannya sudah terselubungi oleh mitos apalagi anggapan
bahwa Yesus adalah tuhan. Uraian pertama tentang riwayat hidupnya adalah Injil
Markus yang baru ditulis sekitar 70 M, hampir empat puluh tahun setelah
kematianya. Pendapat orang kristen generasi pertama memandang pribadi Yesus sebagai
seorang Musa baru, seorang Yosua baru, dan sebagai pendiri Israel baru. Dalam
masa hidupnya, banyak orang Yahudi Palestina yang percaya bahwa dia adalah
seorang Mesias, dia masuk ke Yerusalem dan elu-elukan sebagi anak Daud, tetapi
hanya beberapa selang kemudian, dia dihukum mati melalui penyaliban Romawi yang
mengerikan karena diangap bid’ah.[11]
Pada saat kematian Yesus sekitar
tahun 30 M, orang Yahudi yang merupakan penganut monoteisme tidak menganggap
Yesus sang Mesias sebagai figur yang suci, mereka menanggap Yesus adalah
manusia biasa mesti dia istimewa. Dalam
Mazmur dikatakan bahwa mesias ‘anak tuhan’, adalah anak keturunan raja Daud
yang datang sebagai raja dan pemimpin spiritual dan telah mendirikan kerajaan
Yahudi merdeka pertama di Yerusalem.
Kenyataan bahwa Yesus yang kemudiaan
dianggap sebagai Tuhan atau yang kudus sampai masa sekarang merupakan pengakuan
yang dilakukan oleh pengikut Yesus setelah beliau wafat. Mereka percaya bahwa
Yesus adalah perwujudan atau ingkarnasi tuhan dalam bentuk manusia dan membawa
risalah agar orang Israel tidak tersesat dalam kegelapan karena meninggalkan
ajaran ketuhanan, terutama yang diajarkan oleh Musa.
Dalam injil Markus sebagai
risalah yang paling pertama yang
dipandang paling bisa diandalakan, menampilkan Yesus sendiri sebagai seorang
manusia biasa, memiliki keluarga yang terdiri dari saudara lelaki maupun perempuan.
Bahkan masa kanak-kanak maupun remajannya tidak ditandai sebagai sesuatu yang
luar bisa sama sekali. Adapun anggapan bahwa Yesus sebagai tuhan muncul
kemudian pada sekitar abad keempat setelah kematianya.
Trinitas
Tuhan Kristen
Konsep
trinitas dalam agama kristen merupakan perdebatan teologi yang panjang semenjak
abad ke-empat setelah kematian Yesus. Kontropersi teologi dalam agama kristen,
khususnya tentang ketuhanan Yesus dan apakah dia hanya manusia belaka, pada
sekitar tahun 320 M disulut pertama kali oleh Arius seorang pemuka gereja dari
Aleksandria.
Arius
mempertannyakan bagimana Yesus bisa menjadi tuhan dalam cara yang sama dengan
Tuhan Bapa. Dan bagaimana mungkin Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa
Tuhan Bapa itu lebih agung daripada dirinya, sedangkan dirinya sendiri diangap
sebagai tuhan. Propoganda yang dilakukan Arius ini kemudian menjadi perdebatan
yang sengit yang ditanggapi oleh Aleksander dan asistennya Athanasius.
Menurut
Arius Tuhan adalah ‘satu-satunya yang tidak memperanakan, satu-satunya yang
abadi, satu-satunya yang tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang
memiliki keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan
satu-satunya yang kuasa’. Dan dia mengatakan bahwa Yesus bukanlah tuhan dalam
hakikatnya, tetapi diangkat ke status ilahiah. Dia berbeda dengan manusia biasa
karena tuhan menciptakannya secara langsung sedangkan makhluk-makhluk
diciptakannya melalui Dia.[12]
Arius
tidak mempunyai maksud untuk merendahkan Yesus dan menyiayiakan pengorbanan
Yesus untuk umat manusia. Arius sangat percaya bahwa orang Kristen telah
disucikan dan diselamatkan dengan pengorbanan Yesus. Akan tetapi hal tersebut
kemudian ditentang oleh kalangan uskup yang menganggap Arius sebagai orang yang
bid’ah.
Namun
kemudian angapan tersebut ditentang oleh Athanasius yang memiliki pandangan
yang tidak optimis terhadap kapasitas manusia di hadapan tuhan. Dia memandang
kemanusiaan secara inheren merupakan suatu yang rapuh, kita berasal dari
ketiadaan dan akan kembali kedalam ketiadaan jika kita berdosa. Oleh karena
itu, menurut Athanasius, Tuhan ketika merenungkan makhluknya dan seluruh alam
ciptaannya, jika dibiarkan berjalan dengan sendirinya, akan berubah dan bisa
mengalami kehancuran. Untuk mencegah ini dan menjaga agar alam semesta tidak
kembali tiada, Dia ciptakan segala sesuatu dengan logos-nya sendiri yang
secara abadi dan meangaruniakan wujud kepada ciptaanya.[13]
Dengan
demikian, menurut Athanasius logos tuhan turun ke bumi menjadi wujud Yesus untuk
menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Kristus yang mampu menyelamatkan
manusia dari kesesatan, karena tidak mungkin tuhan menempatkan logosnya pada
manusia yang rentan, logos tuhan bersemayam dalam wujud Yesus. Sebagimana
Athanasius berkata, Firman dibuat menjadi manusia dengan tujuan agar kita bisa
menjadi kudus.
Doktrin
Athanasius kemudian akhirnya disepakati oleh umat kristen pada pertemuan pada
uskup di Nicaea pada 20 Mei 325. Secara garis besar Kredo Athanasius menjadi
resmi menjadi doktrin umat kristen dan menegaskan bahwa Yesus Kristus bukanlah
makhluk atau aeon, akan tetapi Sang Pencipta dan Penebus itu adalah
Satu.
Akan
tetapi, orang-orang Kristen masih kebingungan dengan peryataan bahwa jika ada
satu tuhan, bagaimana bisa logos itu juga menjadi Tuhan?. Akhirnya
muncul tiga teolog terkemuka dari Kapadokia Turki Timur menjelaskan kebingungan
tersebut dan mengeluarkan konsep tentang trinitas yang diterima oleh agama
kristen pada waktu itu. Mereka adalah Basil, Uskup Caesaera (329-79), adiknya Gregory, Uskup Nyssa
(335-95), dan sahabatnya Gregory dari Nazianzus (329-91), mereka ini yang kemudian
terkenal dengan sebutan Kapadokian.[14]
Kapodokian
menjelaskan bahwa Ousia (Yunani: satu esensi tuhan) Tuhan itu tidak
terpahamkan oleh manusia, maka manusia hanya dapat mengenalnya melalui
manifestasi-manifestasi yang telah diwahyukan kepada manusia sebagai Bapa,
Putra, dan Roh (Hypostasi, tiga bentuk ). Kemudian mereka berkata bahwa,
Tuhan adalah satu Ousia dalam tiga Hypostasis, Tuhan dalam
dirinya sendiri adalah Satu, hanya ada satu kesadaran-diri ilahi. Akan tetapi,
ketika Dia membiarkan bagian dirinya diketahui oleh makhluknya, Dia adalah tiga
Prosopoi[15].[16]
Mereka
mengatakan bahwa Trinitas tidak boleh dilihat sebagai fakta harafiah belaka,
trinitas harus dipandang sebagai paradigma yang berkesesuain dengan fakta real
yang tersembunyi dalam Tuhan. Bapa, Putra, dan Roh tidak mesti disamakan dengan
tuhan itu sendiri, hakikat ilahi (ousia) tidak dapat dinamai dan dibicarakan;
Bapak, Putra, dan Roh hanyalah istilah-istilah yang kita pakai untuk
membicarakan energeiai yang melaluinya Tuhan menjadikan dirinya
diketahui. Manusia telah mengalami tuhan sebagai yang transenden (Bapa,
tersembunyi di dalam cahaya yang tak tembus), dan sebagai yang kreatif (logos),
dan sebagai yang imanen (Roh Kudus).[17]
Secara
sederhana mereka menguraikan garis besara doktrin pentingnya tentang keterpisahan
atau koinherensi ketiga prinsip ilahiah atau hypostases, Kapodokian
mengatakan bahwa, orang tak mesti mengira bahwa Tuhan membelah dirinya ke dalam tiga bagian, itu adalah gagasan yang
berlebihan dan menghujat. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh
dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika dia ingin mewahyukan
dirinya kepada dunia. Trinitas harus dipahami sebagai perbuatan yang berasal
dari tuhan menuju tatanan makhluk, seperti yang yang ditunjukan oleh kitab
suci, segalannya berawal dari Bapa, berproses melalui bantuan Putra, dan
menjadi efektif di dunia karena adanya Roh yang imanen.[18]
Agama Islam
Sekitar
tahun 610 M, seorang pedagang Arab dari Kota Makkah yang tidak pernah membaca
Alkitab dan mungkin tidak penah mendengar tentang Yesawa, Yeremia dan
Yehezkiel, mengalami suatu pengalaman ajaib yang sama dengan pengalaman mereka,
di dalam Gua Hira pada bulan ramadhan hari ketujuh belas. Muhammad ibn Abdullah
ketika melakukan penyendirian spiritual di gua tersebut mendapatkan penampakan
ilahiah serta memberikan perintah untuknya membaca.
Penampakan ilahiah lewat malaikat
jibril di hadapan Muhammad dan memerintahkannya untuk membaca ditolak oleh
Muhammad. ‘Aku bukan seorang pembaca’. Kemudian Muhammad merasa malaikat jibril
mendekapnya kuat, seolah napasnya meningalkan raganya. Ketika Muhammad merasa
seakan tak mampu lagi bertahan, malaikat jibril melepaskan dekapannya dan
memerintahkanya lagi, ‘Bacalah!’. Muhammad kemudian menolak. Dan akhirnya saat
dekapan ketiga, Muhammad merasakan kata-kata pertama sebuah kitab suci baru
keluar dari mulutnya[19]:
Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan manusia dari
segumpal darah!. Bacalah, dan Tuhamnulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam-Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.[20]
Fiman pertama ini, adalah bukti
pengangkatan Muhammad sebagai nabi dalam agama islam, dan menjadi awal
wahyu-wahyu Allah dalam kitab suci yang disebut al-Quran/bacaan.
Setelah Muhammad mendapatkan risalah
tentang kerosulan, beliau memulai dakwah keislaman dengan sembunyi-sembunyi
pada penduduk Quraish. Dakwah Muhammad bukanlah model dakwah yang baru,
prinsipnya sama saja seperti pada Agama Yahudi dan Krisnten dalam model
monoteisme, Muhammad berdakwah mengajarkan tentang keesaan Tuhan.
Agama Muhammad kemudian dikenal
dengan Islam atau kepasrahan eksistensi yang diharapkan diberikan setiap Muslim
kepada Allah, seorang muslim adalah seorang yang menyerahkan segenap dirinya
kepada Sang Pencipta. Islam juga berarti bahwa kaum Muslim memiliki kewajiban untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan setara di mana orang-orang miskin, lemah
diperlakukan secara layak. Seberti halnya nabi-nabi ibrani, Muhammad juga
menyebarkan sebuah etika yang bisa disebut etika sosialis sebagai konsekwensi
dari penyembahan pada satu Tuhan (monoteis).[21]
Dalam agama islam, risalah tentang
tuhan yang tertuang dalam al-Quran sebagai bukti wahyu keberadaan tuhan,
menggambarkan bahwa dia tampil lebih impersonal daripada Yahweh tuhan Yahudi. Dia
juga tidak dicirikan sebagai tuhan yang sedih dan memeberikan pengorbanan pada
umatnya seperti dalam agama kristen.
Tuhan dalam agama islam hanya bisa
dipahami melalui ‘tanda-tanda’ alam, dan saking transendennya tuhan dalam agama
islam, umatnya hanya bisa memahaminya dari ‘perumpamaannya’.[22]
Kemudian, al-Quran juga menghimbau umat islam untuk melihat alam sebagai
penampakan tuhan, mereka harus mengunakan upaya imajinatif untuk melihat
melalui dunia yang beraneka ini wujud asal yang utuh adalah realitas transenden
yang Dia menapasi segalannya dan ada di dalamnya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apoa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah mati(kering)-nya, dan dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah),
bagi kaum yang memikirkannya.[23]
Selain
itu, dalam sebuah hadist qudsi, tuhan berfirman kepada Muhammad; ‘Aku
adalah perbendaharaan yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Kemudian aku
ciptakan lam agar Aku bisa dikenal’.[24]
Selain
itu bukti ajaran islam tentang ketuhanan monoteis terdapat juga dalam rukum
islam. Rukun islam sebagai fondasi keislaman seorang muslim yang pertama adalah
mengakui dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Ini adalah bukti pengakuan bahwa Allah merupakan realitas
sejati yang satu-satunya, keindahan dan kesempurnaan sejati.
Huston
Smith yang mengarang buku Religion of Man (Agama-agama Manusia), menulis
bahwa agama islam sangat terkenal karena pengakuannnya kepada keagungan dan
kekuasaan tuhannya yang esa, sehingga hal ini tidak memerlukan pembuktian lagi
bagi para penganutnya atau yang di luar agama islam. Allah itu maha Besar, Maha
Kuasa, Tuhan dari seluruh jagat raya, Pencipta langit dan bumi, Pengusa hidup
dan mati. Ia yang merupakan Penguasa dari seluruh jagat raya adalah juga: Yang
Maha Suci, Yang Maha Damai, Yang Maha Setia, Pemimpin para hamban-Nya,
Pelindung anak yatim piatu, Petunjuk bagi jalan yang sesat, Pengibur bagi
mereka yang mendapat musibah, Sahabat bagi kebaikan, dan dia adalah tuhan yang
Maha Pemurah, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Mendengarkan, Yang selalu dekat,
Yang Pengasih, Yang Paling Baik Hati, yang cintannya kepada manusia lebih
lembut dari cinta induk burung kepada anak-anaknya.[25]
Pandangan
Antropologi atas Tuhan dan Agama
Antropologi
sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia atau antropos, merupakan
suatu ilmu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari suatu
masalah-masalah khusus mengenai manusia.[26]Kajian
antropologi pada perkembangannya memiliki ruang lingkup penelitian pada masalah
etnografi dan berkembang pada masalah kebudayaan.
Berdasarkan landasan berfikir
antropologi yang melihat gejala-gejala manusia, antropologi agama muncul untuk
meneliti kecenderungan dan sikap manusia atas orientasi mereka beragama. Dalam
antropologi agama, para peneliti antropolog memepertannyakan tentang bagaimana
manusia bisa mempercayai tuhan (agama) dan bagaimana sebuah masyarakat bisa
memiliki agama. Berkaitan dengan persoalan pertanyaan di atas, kemudian banyak
menarik para antropologi untuk meneliti masalah ketuhanan dan keberagamaan
manusia.
Di sini penulis akan memaparkan
beberapa pengagas antropologi yang
memiliki minat pada penelitian manusia dan agama dan melihat kecenderungan
mereka terhadap fenomena tersebut. Penulis akan membatasi pada beberapa
antropolog saja dan melihat gagasan mereka tentang agama dan tuhan secara umum,
kemudian membandingkannya dengan sikap-sikap manusia terhadap tuhan dalam
agama-agama ibrahimi.
Max Muller (1823-1900) seorang yang
dilahirkan di Jerman dan sangat dipengaruhi oleh tradisi romantik Jerman ialah
seorang profesor bahasa dan sarjana Sanskrit terkemuka. Dia terkenal karena
menerjaemahkan kitab Veda dan menulis buku tentang agama yang berjudul Introduction
to the Science of Religion.
Menurut Muller bahwa keyakinan
terhadap tuhan merupakan suatu hal yang bersifat universal yang dialami oleh
seluruh manusia dan dia berpendapat bahwa agama yang umatnya (manusia)
menyembah berhala bukan meruapakan suatu kesalahan tetapi merupakan konsepsi
ketuhanan yang masih belum berkembang. Kebenaran selalu ada dalam agama, bahkan
dalam agama yang paling rendah pun dan paling primitif, karena walaupun agama
itu masih belum berkembang, agama selalu menempatkan jiwa manusia akan
keberadaan tentang tuhan.[27]
Konsepsi tentang tuhan oleh Muller
memang terlalu abstrak dan menuai banyak kritik dari sarjana-sarjana yang
memiliki kepedulian terhadap kajian agama. Akan tetapi asumsi dasar yang
dikemukakakan olehnya kemudian menjadi landasan bahwa agama yang paling awal
adalah agama yang bercorak monoteistik. Hal ini karena penarikan kesimpulan
yang dilakukann oleh Muller adalah berasal dari pengalaman indera setiap manusia.
Karena dari asumsi ini, konsep ketuhanan tidak perlu susah untuk dicari karena
pada dasarnya manusia secara natural memiliki perasaan-perasaaan ketuhanan dan
keagamaan.
Herbert Spencer (1820) seorang
sosiolog besar abad sembilan belas dan semasa dengan Darwin adalah seorang yang
disebut sebagai ‘Evolusionist’ pertama. Dibandingkan dengan Darwin yang populer
dengan teori evolusinya lewat Origin of Species, Spencer menerapkan
teori ini pada perkembangan masyarakat lebih awal daripada Darwin. Menurut
Spencer evolusi terjadi tidak hanya dalam pembentukan bumi semesta dan spesies, evolusi juga terjadi
pada kebudayaan manusia.
Dalam karya masterpiece-nya Principle
of Sociology (1876) Spencer memandang bahwa konsepsi tentang ‘ada’ sebagai
yang supernatural berawal dari konsepsi tentang hantu. Ide tentang hantu
kemudian berkembang menjadi ide tentang tuhan. Hantu-hantu dalam masyarakat
yang bersemayam atau dalam bentuk bayangan nenek moyang mereka, oleh masyarakat
dianggap sebagai yang sakral kemudian secara evolusionis melekat pada dirinya
sifat-sifat ketuhanan. Setelah dianggap memiliki sifat ketuhanan masyarakat
memberikan persembahan-persembahan yang diletakan pada tempat-tempat keramat.
Kemudian masyarakat tersebut melakukan ritual-ritual di tempat keramat
tersebut. Kemudian Spencer menyimpulkan bahwa penyembahan terhadap leluhur
merupakan akar bagi setiap agama manusia.[28]
Herbert Spencer dan Max Muller,
dikenal oleh kebanyakan sarjana sebagai seorang sarjana yang duduk di belakang
meja saja. Muller yang menerjemahkan Veda tidak pernah pergi untuk meneliti
masyarakat India, juga Spencer seorang sarjana independen yang hampir seluruh
hidupnya tidak pernah pergi untuk melihat evolusi agama dalam masyarakat.
Akan tetapi sebaliknya dengan Edward
Tylor (1832-1917), seorang antropolog yang tidak meneliti di belakang meja
saja, tetapi terjun langsung pada penelitian masyarakat. Tylor sebelum memberikan
pengertian tentang keagamaan manusia, mendefinisikan antropologi sebagai ilmu
tentang kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan atau peradaban adalah kesatuan yang
kompleks yang memuat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas
serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[29]
Selain antropolog, Tylor yang juga
seorang evolusionis, berpendirian bahwa agama adalah sebuah fenomena natural,
sebuah produk dari nalar manusia dan tidak ada interpensi supranatural. Agama
oleh Tylor didefinisikan sebagai keyakinan terhadap ‘ada’ spiritual. Menurutnya
animisme adalah dasar dari seluruh sistem keagamaan dan memiliki dua aspek,
yaitu keyakinan pada jiwa (soul) dan keyakinan pada roh (spirit). Dua hal ini
pada dasarnya bersifat universal dan ada dirasakan oleh seluruh manusia.
Kemudian konsep ini berkembang pda gagasan tenteng spiritualitas being yang
diyakini oleh Tylor dapat menjelaskan peristiwa dan fenomena natural, dan pada
akhirnya politeisme berkembang menjadi monoteisme, dimana kekuatan banyak tuhan
berasal dari satu tuhan (animisme masyarakat yang telah berperadaban).[30]
Antropolog yang terakhir yang
penulis kutip, yang juga pengikut Tylor adalah James Frazer (1854-1951).
Pandangan dia tentang agama dan magis terdapat dalam bukunya yang terkenal The
Golden Bough.
Frazer sebagaigama Tylor membedakan
konsepsi antara magis, ilmu dan agama. Magis manurut Frazer diasumsikan sebagai
semua tidakan manusia untuk mencapai suatu maksud nmelalui kekuaatan-kekuatan
yang ada di dalam alam. Manusia pada awalnya hanya mempergunakan ilmu gaib
untuk memecahkan persoalan hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan
pengetahuan akalnya. Pada waktu itu agama belum ada dalam kebudayaan manusia.
Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magis itu tadi tidak ada
hasilnya, maka mulailah manusia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk
halus yang lebih berkuasa daripada manusia, lalu mulailah manusia mencari
hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. lantas timbullah agama.[31]
Di sisi lain, kemudian frazer
mendefinisikan agama sebagai suatu upaya untuk merangkul dan mengakrabi
kekuatan-kekuatan yang diyakini lebih superior dibanding manusia, kemudian
dilihatnya bertentangan secara fundamental baik secara magis maupun ilmu. Ini
adalah sebuah tingkah laku manusia ujnntuk mencapai suatu maksud tertentu
dengan cara menyandarkan diri kepada kemuan dan kekuasaan makhluk-mahkluk halus
seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam. Itulah agama, menurut Frazer
dalam The Golden Bough.[32]
Antropologi
Versus Tuhan Agama Ibrahimi
Dalam karya ilmiah ini, sengaja
penulis membatasi beberapa tokoh antropologi saja, dan bagaimana pandangan
mereka secara umum tentang agama dan tuhan. Sebetulnya masih banyak beberapa
antropolog yang membahas tentang agama dan tuhan. Sebut saja misalnya Durkheim
yang masuk dalam perspektif sosiologi, kemudian golongan antropolog fungsionalis
seperti Bronislaw Malinowski atau antropolog struktural Prancis C. Levi-Stauss.
Dari keempat teoritisi antropologi yang penulis kutip pandangannya tentang
tuhan dan agama seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan mereka
tentang agama adalah kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman
manusia sebagai individu tentang dirinya sendiri dan dunia ini.
Semuannya melihat kebudayaan manusia
dari perspektif evolusi dan memandang agama dengan bias psikologis atau
empiris. Sehingga seolah-olah agama dan tuhan adalah yang datang dengan
sendirinya secara natural pada diri manusia itu sendiri. Bahwa pandangan ini menghilangkan
‘yang supernatural’ tidak datang dari ‘sesuatu’ yang berada di luar manusia itu
sendiri. ‘Yang supernatural’ dan ‘sesuatu’ menurut keempat antropolog di atas
adalah ada pada diri manusia sendiri.
Konsepsi tentang tuhan, khususnya
dalam agama Ibrahimi, jika menggunakan analisis antropologi dari keempat tokoh
yang penulis kutip hanya merupakan inferensi rasional dan bisa juga kegelisahan
jiwa nabi-nabi yang mendapatkan penampakan bukti ilahiah.
Penarikan kesimpulan tentang tuhan
dalam antropologi, sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran teologi agama
ibrahimi tentang tuhan dan agama. Dalam kesimpulannya antropologi evolusionis
yang penulis sebutkan di atas terlalu antroposentris dan menganggap manusia
terlalu independen. Bahwa, manusia dalam antropologi adalah seorang yang
mempunyai keyakinan dan emosi keagamaan menjadi landasan terbentuknya sebuah
sistem keagamaan. Kemudian secara berangsur melalui proses evolusi emosi
keagamaan menampakan manusia dengan sistem ritus yang mengikat dalam peribadatan.
Sistem ritus agar bisa dijalankan oleh manusia kemudian membutuhkan peralatan
ritus atau alat dalam bentuk aktifitas upacara penyembahan yang kemudian
berakhir pada sebuah sistem keyakinan yang dianut oleh umat manusia. Inilah
yang kemudian menjadi sebuah sistem agama menurut antropologi evolusionis.
Sedangkan dalam teologi ibrahimi
secara umum, agama tidak sesederhana kesimpulan di atas. Kepercayaan akan ‘Yang
Spiritual’ selain memang menjadi kegelisahan psikologis manusia, ia membutuhkan
sesuatu yang lain yang ada di luar batas natural manusia. Ajaran teologi ibrahimi
menekankan bahwa ‘Yang Esa’ muncul dalam kesadaran nabi dan rosulnya melalui
cara yang tidak bisa manusia bayangkan. Dimensi transenden menjadi aspek
penting dalam pandangan umum agama ibrahimi tentang tuhan entah itu berupa
kemunculan ilahiah-Nya lewat tanda-tanda alam seperti dalam islam, atau dalam
bayangan kabut asap seperti yang diajarkan dalam teologi Yahudi ketika Musa mendapatkan
risalah di gunung Sinai.
Kesimpulan
Pandangan
antara pendekatan antropologi terhadap konsepsi tuhan serta pandangan teologis
yang diajarkan dalam teologi monoteisme agama-agama ibrahimi, dapat dikatakan
sebagai dua konsepsi yang bertentangan. Dalam antropologi tuhan dikonsepsikan
sebagai ‘sesuatu’ substansi yang berada di luar diri dan manusia independen
memutuskan tuhan ada atau tidak. Sedangkan konsepsi tuhan dalam teologi
monoteisme walaupun ‘dia’ sebagai substansi yang berada di luar diri manusia,
‘dia’ harus ada sebagai prinsip yang paling tinggi dalam diri setiap
pemeluknya.
Ini adalah posisi yang dilematis
bagi penulis untuk menyebutkan bahwa di antara dua hal tersebut di atas, ada
salah satu yang memiliki kelemahan dalam memandang konsepsi tuhan dan agama. Kalaupun
ada kelamahan, paling tidak ada upaya akal manusia untuk menafsirkan
fenomena-fenomena manusia dan agama. Atau, paling tidak doktrin agama tentang
penggunaan akal secara optimal pada manusia untuk berusaha keras sampai pada
pemahaman tentang ketuhanan, merupakan salah satu ajaran teologis agama juga.
Pada akhirnya, agama dan tuhan
menjadi objek penelitian bagi manusia yang memandang ini sebagai pengetahuan
positif, dan menjadi sebuah doktrin dan kepercayaan bagi mereka yang memandang
agama dan tuhan sebagai substansi teologis.
Bahtiar Rifa'i
25/02/2010
Catatan
[1] Term ‘yang supernatural’ penulis kutip dari karya Roney Stark. One
True God, Resiko Sejarah Bertuhan Satu. (Yogyakarta: Penerbit Qalam.
2003).
[2] Rodney Stark.
One True
God, Risiko Sejarah Bertuhan Satu. (Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2003). hal.
12.
[3] Karen Armsrong. Sejarah Tuhan (Kisah Pencarian Tuhan Oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun). (Bandung: Mizan.
2001). hal. 27.
[6] Yesawa 6:3. Ibid. hal. 73.
[8] Ulangan 6:4-6. Ibid. hal.
87.
[10] Huston Smith. Agama-Agama
Manusia.(Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2009). hal. 304 .
[11] Op-Cit. Karen Armstrong. Hal.
120.
[15] Kapadokian juga sering
menggunakan kata
Proposon untuk mengantikan
Hypostasis.
Proposon
pada dasarnya berarti ‘daya’, tetapi juga memiliki makna sekunder dan dipakai
untuk merujuk pada ekspresi wajah seseorang yang mencerminkan keadaan
pikirannya, atau ekspresi luar watak batin seorang individu sebagaimana tampak
oleh orang lain. Karen Armstrong. hal. 166.
[20] QS Al-‘Alaq. Ibid. 193.
[23] Qs Al-Baqarah, 164. ibid
[25] Huston Smith.
Agama-Agama
Manusia. hal. 271.
[26] Koentjaraningrat. Sejarah
Teori Antropologi I. (Jakarta:
UI-Press.1987).hal.2.
[27] Brian Morris.
Antropologi
Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer .(Yogyakarta: AK Group.2003).
hal.111-112.
[31] Koentjaraningrat. hal 54.