Rabu, 14 November 2012 0 komentar

Sabar


Sabar

“Apa yang dimaksud dengan kesabaran?”

Aku menjadi terkejut dan tidak menyangka sekecil itu mampu bertanya secara filosofis. Ah, aku berusaha ingin menjawab dengan sungguh dan semoga menjadi masukan yang melekat pada anak ini.

“Kesabaran adalah melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, menyeluruh, detail dan secara terus-menerus,” begitu aku menjawab pertanyaannya.
Sunguh jawaban yang aku sendiri belum tentu menyadari dari mana asalnya kata tersebut muncul. Aku sendiri pun belum tentu mampu mengikuti definisi sabar yang aku ucapkan.
Ia bertanya kembali, “Apa yang dimaksud detail dan hubungannya dengan sebuah kesabaran?”
“Nak, jika kau hendak mengetahui sesuatu sampai pada akar batasnya, kau harus bersabar dan memahami semuanya secara sedikit demi-sedikit. Itulah maksud hubungan antara detail dan kesabaran,” bersemangat aku menjawab bertanyaannya yang serius. 
“Kalau begitu, jika aku hendak mengetahui tentang dunia, aku harus mendalaminya secara pelan-pelan dan sabar?”,
“Betul. Dunia sangat luas dan beragam. Manusia tidak bisa mengetahuinya secara menyeluruh kecuali dengan ketekunan dan kesabaran”. Aku menimpali pertanyaan yang mulai serius.
“Baik pak. Aku mulai ingin mendalami tentang makna kesabaran dengan sungguh-sunggu.” Berjalan dia kembali ke kamarnya dengan senyum tanda sayang pada ayah satu-satunya.
“Oh… Andai kau sekarang berada di sini bersamaku. Kau pasti hendak menangisi keadaan anak kita yang saban hari semakin tumbuh besar dan mulai bernalar. Bangga aku memilikinya yang kau tinggalkan untuk kehidupannya. Kehidupan yang sederhana dengan cinta yang kau ajarkan padaku ketika itu. Cinta pada kebenaran dan kemanusiaan yang kau ajarkan padaku ketika dia membuka matanya pada dunia. Dan kau meninggalkan kita dengan tangis pertamanya” Aku berkata pada hati terdalam dan masa laluku.
Hari ini, aku memberinya pelajaran tentang kesabaran. Semoga esok, dia bisa memberikan aku semakin banyak pertanyaan-pertannyaan yang sulit untuk menjawabnya. Pertanyaan yang membuat aku bangga memilikinya dan menyanginya.


Jakarta. 14: 00 WIB. 
26/12/2010.
(Ditulis di Ciputan tanpa befikir ini akan menjadi cerita)
 
   
0 komentar

Consumer Society


Consumer Society

   Do you know why people love to buy something they don’t need? Spends money for things that never use, consumes something they really don’t like to eat? Regarding to this problems, after industrial revolution in England and the beginning of modern culture, people don’t aware of anything about the industrial impact and it influences to the world civilization. The most frightening impact of industrial development and the spreading of it ideas are about influencing the human behaviors to buy, to consume, and to perform. Jean Boudrillard said to this condition with ‘consumer society’.
   Sociologically, the industrial development stimulates to economic development, prosperity and mechanical reproduction. It is gradually makes people or world become prosperous and his buying capacity which commodities they want easily gotten. Because they have money, actually. Latter, either personal or group in a company, have the right to enrich they capital asset and build their opportunity to build economic development. The exchange of commodities object as the principal of economic development becomes something that unavoidable. This period named as capital economy that becomes something critical.
   Jean Boudrillard, as a Marxist commentator toward capitalism--but he gradually abandoned Marxist method because of the inappropriate theory in reading of the development of capitalism today--argue on other effect of economic development. The system of economic within it object exchange no more use a principle of classic economic. It is not about simple deal of exchanges but indoctrinating and influencing  people psychologically and sociologically to feel always lack and less of goods. They forced to buy every material object and service from the industrial output by monopolistic system. This is the system that the very newest of the capital system and said as consumer society.         
   There are questions appear related to consumer society term above. The first problem is consumption as independent or nondependent activity and the second related about psychological conditioning or do we controlled by any other system of influence. To read these problems, we really need any perspective through any critical theories.
   We are living in the new period of the objects. It not about human things anymore as essential object of living but it is about goods, a foods, and clothing. People of the previous period feel pleasure and find a value of living in interaction to another human living. They interacted in knowledge exchange, classic trading, and find living pleasure in communal perspective. People of consumer society feel pleasure in individuality. This period begin with goods accumulation or profusion. We can see everything after we cross our front yard and streets such department store, factory outlet, or any goods advertising in billboard and television. We don’t know how to control our willing to buy even in sleep. Advertisement influences our brain and forces our consciousness as we need everything to buy. It system of objects even worst with it signification to any pleasuresness, beauty, femininity, masculinity appears when we buy one of the products. For this reason, consumption becomes something controlled by advertisement signification and it influences of our psychological being.
   Finally, if you ever heard the modern philosophical wise as, “You are what you think / cogito ergo sum” actually has been changed by sentence, “You are what you eat”. This is period of late capitalism and consumer society where the values of living is on what you eat. The period where people sleeps even controlled by exchange values and gods exist in your pocket.

Bahtiar Rifa'I 
Jakarta, 10/02/2011       
                                                     
0 komentar

Epistemologi Agama dan Hermeneutik


Epistemologi Agama dan Hermeneutik
Oleh: Bahtiar Rifa’I
Makna Epistemologi Agama
            Epistemologi merupakan persoalan dalam filsafat yang menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Maka secara harafiah epistemologi berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan.
            Epistemologi sebagai cabang dalam filsafat mempersoalkan, mengkaji, dan mencoba menemukan ciri-ciri umum serta mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan yang muncul dalam persoalan ini berkaitan dengan bagaimana dasarnya pengetahuan diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Apa itu pengetahuan? Apa beda pengetahuan dan pendapat? Apa bedanya pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahaui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi atau pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Inilah beberapa pertanyaan pokok dalam epistemologi yang menyibukan para epistemolog dari masa ke masa, sesuai dengan persoalan zamanya.[1]
            Menarik apa yang dikatakan oleh filsuf Amerika kontemporer Richard Rorty bahwa epistemologi dewasa ini sudah mati dan tidak ada relevansinya lagi untuk dihidupkan kembali. Lalu apakah alasan Rorty mengatakan bahwa epistemologi sudah tidak relevan. Apakah ada kesahalah metodologis, misalkan dalam epistemologi modern semenjak dibangun oleh Descartes pada abad ke-17. [2]
            Menurut Richard Rorty, ada beberapa kerancuan yang muncul pada wilayah epistemologi modern yang secara ringkas diantaraya. Pertama, sebagaimana nampak dalam pandangan Locke adalah kerancuan antara syarat-syarat penjelasan atau penyeban munculnya pegetahuan dan pembenaran terhadap klaim pengetahuan. Locke misalnya berangapan bahwa dari adanya impresi dalam pikiran manusia tentang adanya sebuah segitiga merah, dibuktikan bahwa sebuah benda yang berwarna merah dan berbentuk segitiga memang ada di luar pikiran manusia. Hal ini menjadi seolah dipaksakan bahwa sesuatu menurut pandangan Locke harus ada korespondensinya dengan pengalaman manusia. Kedua, dalam pemikiran Kant adalah tentang kerancuan antara predikasi (melekatnya predikat pada subjek) dan sintesis (kegiatan memadukan dua hal yang berbeda). Menurut Rorty, Kant benar ketika memahami pengetahuan sebagai suatu yang berkenaan dengan proposisi dan bukan dengan benda atau objek pada dirinya sendiri di luar pikiran. Tetapi Kant keliru ketika mengklaim bahwa konsep merupakan pemaduan (pembuatan sintesis) secara apriori atas intuisi indrawi yang masih bersifat pusparagam.[3]
            Singkatnya di sini Rorty ingin mengkritik epistemologi modern yang dimulai sejak Descartes yang menjamin kepastian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia sendiri didasarkan atas gambaran pengetahuan sebagai representasi realitas atau penyajian kembali objek yang berada di luar manusia. Inilah pengetahuan yang kemudian disebut pengetahuan yang korespondensi atau accurate representation of reality. Atau juga kadang-kadang disebut sebagai epistemologi fondasional.
            Sebetulnya tidak hanya Rorty yang mengkritik bentuk epistemologi fondasional seperti yang dibangun oleh filsafat barat modern. Nietzche dapat dikatakan adalah seorang antifondasional epistemologi modern. Kemudian tokok-tokoh seperti Gadamer, Foucault, Derrida, Paul Feyerabend seorang tokoh anti positivisme yang menawarkan sebuah metode apa saja boleh (anything goes) dan para filsuf yang dikategorikan sebagai filsuf postmodern. Lalu apakah yang ditawarkan oleh Rorty untuk katakan merefisi metodologi dan pembenaran pengetahuan yang dibangun oleh epistemologi modern. Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah hermeneutika dalam suatu aktivitas pemaknaan wacana dalam percakapan budaya umat manusia. Pendekatan Hermeneutika ini yang kemudian menjadi pembahasan penulis untuk melihat agama secara epistemologis.
            Sebelum pada pembahasan tentang bagaimana hermeneutika menganalisa persoalan-persoalan dalam pemahan agama dan keberagamaan, penulis hendak memaparkan secara singkat apakah yang dimakasud dengan agama dan kenapa agama ada.
            Sungguh pendefinisian agama menjadi persoalan tersendiri karena agama adalah sesuatu yang memiliki bentuk yang sangat beragam dalam kehidupan kita. Yang pasti, sepanjang sejarah agama selalu saja ada hal pokok yaitu konsepsi tentang Yang Suci atau Tuhan yang menjadi watak utama agama dan biasanya juga ada kitab sucinya. Yang menarik, ada pula agama yang tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan seperti pada agama Buddha. Ini sangat berbeda dengan agama Islam, Kristen, Yahudi yang memiliki konsep tentang Tuhan secara masing-masing.
            Apapun agamanya, Tuhan yang menjadi hal pokok keberagamaan manusia, tentunya tidak dapat bercakap dan menyapa langsung manusianya. Ketakterbatasan Tuhan tidak mungkin berbicara dengan manusia yang bersifat partikular. Oleh sebab itu kemudian ada kitab suci sebagai bahasa agama yang menjadi teks pembuktian diatara pembuktian-pembuktian yang lain. Kitab suci inilah yang kemudian banyak melahirkan model keberagamaan yang bermacam-macam di antara manusia dan memunculkan problematika tersendiri. Lalu, apakah sebab problematika tersebut muncul? Adakah kemungkinan kesalahan epistemologi dalam membaca fenomena agama. Di sinilah menurut penulis signifikasi hermeneutik dalam sebuah upaya menafsirkan agama dan keberagamaan manusia.       
Hermeneutik dan Upaya Penafsiran Agama serta Perkembangannya dalam Penafsiran Teks
            Kehadiran Hermeneutik ini tidak terlepas dari perkembangan dan pertumbuhan pemikiran dan bahasa dan filsafat. Walaupun pada awalnya hermeneutika banyak dipakai untuk menafsirkan Bibel dalam menafsirkan kehendak Tuhan pada manusia. Namun kemudian, hermeneutika tidak hanya untuk menafsirkan teks kitab suci saja, tetapi berkembang pesat pada disiplin ilmu yang lebih luas bahkan pada upaya menafsirkan agama.
Akar kata hermeneutika sendiri berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia atau “interpretasi”. Hermeneuin dan hermeneia terdapat dalam teks Aristoteles, Organon. Dia menggunakan kata peri hermeneias yang diterjemahkan menjadi “on interpretation”. Kemudian dalam bentuk kata bendanya di dalam teks Plato Oedipus at Colonus. Untuk kata Yunani hermeneuein dan hermeneia  memiliki akar kata hermeios yang mengacu pada sseorang pendeta bijak Hermes. Tepatnya Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik emahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses mengiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan sebagai mediasi antara pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain[4]
Menurut Richar Palmer, ada tiga bentuk makna dasar dari hermeneuien dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga benrtuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuien, yaitu mengungkapkan kata-kata misalnya, to say, kedua, bentuk menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi dan terakhir menerjemahkan. Ketiga makna ini bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris to interpret. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu pada tiga persoalan yang berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi bahasa.[5]
            Richard E. Palmer dalam buku pengantarnya tentang hermeneutik memetakan perkembangan hermeneutik sebagai wacana pengetahuan interpretasi sejak permulaan kemunculanya dalam bentuk kronologis. Palmer memberikan peta hermeneuutik sebagai berikut:
            Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci Bibel. Hermeneutika dalam bentuk ini terdapat dalam tradisi gereja Kristen dimana masyarakat Eropa mendiskusikan Bibel untuk mendapatkan kejelasan terhadap makanya. Hermeneutik yang identik dengan prinsip interpretasi sering kali dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture). Bentuk hermeneutik semacam ini pertama kali dikaji oleh J.C Dannhauer pada tahun 1654 dalam karyanya hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum. Kajian semacam ini memiliki aneka bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran. Seperti yang dilakukan oleh Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam Bible melalui misktik, dogmatic, humanis.[6]
            Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Dimulai dengan mucnulnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad 18 mempunyai pengaruh pada hermeneutika Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam teologi. Kajian dalam bentuk ini dimulai oleh Ernesti pada tahun 1761, sampai akhirnya corak ini dianggap sbagai metode penafsiran sekuler oleh gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode penelitian dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad 19 yang menjadi fokus oleh filolog seperti Schleiermacher, Frederich August Wolf, dan Friedrich Ast. Mereka memberikan porsi yang sama dengan tafsir kitab suci dan teks lainnya.[7]
            Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistic. Schleiermacher membedakan hermeneutika science (ilmu) dan hermenutika sebagai art (seni) dalam memahami. Bentukmemahami dalam hermeneutikmerupakan arti secara umum dalam keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif sejarah, hermeneutik patut diangap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel dan filologi tradisional. Sebab dengan munculnya dua bentuk disiplin tersebut, menandai adanya pemahaman secara bahasa (linguistic) terhadap suatu teks.
            Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Pendekatan hermenutik bentuk ini dimulai oleh Wilhelm Dilthey. Ia berusaha membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. menurut Dilthey untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, aakah itu yang berbentuk hukum, karya sastra, maupun kitab suci, membutuhkan tidakan historis. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi pemahaman histories bagi kritik akal murninya Kant yang telah mengurusi ilmu-ilmu alam. Di akhir perkembangannya pemikiran Dilthey, ia berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.
            Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Corak hermenutika ini diungkapkan pertama kali oleh Martin Heidegger yang berangkat dari fisafat eksistensial dan fenomenologi. Dalam bentuk ini, hermeneutika tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagai geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dalam perjalananya, bentuk hermenutika filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer yang memberikan perhatian terhadap hermenutika dan kaitannya dengan filsafat. Gadamer dalam pandangan hermenutikanya tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.  
            Terakhir, hermenutika sebagai system interpretasi. Bentuk pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang mementukan suatu interpretasi (exegesis) suatu bagian dari teks atau sekumpulan tanda yang dianggap sebagai teks. Kajian tipe terakhir dari hermeneutika ini dikemukakan oleh Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur bahkan mimpi merupakan nyata hermeneutis, karena mimpi merupakan teks karena dipenuhi kesan-kesan simbolis. [8] 
                                   
Hermeunetika dalam Pemikiran Islam  
            Hermeneutika dalam pemikiran islam pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Sekalipun sebetulnya tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu islam tradisional, terutama tafsir al-Quran, Hasan Hanafi pennggunaan heremeneutik padaawalnya hanya merupakaneksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dasi positivisme dalam teoritissasi hukum islam dan ushul fiqh. Dalam pandangannya, hermeneutik tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan peneriman wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai tingkat kenyataan, dan lugas sampai praksis serta juga tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[9]
            Tokoh lain adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menawarkan rekonstruksi ilmu-ilmu kajian al-Quran dengan mengadopsi kritik sastra, sehingga menempatkan al-Quran seolah sebagai sastra yang teragung dalam bahasa Arab.[10] Pemikiran Abu Zayd dalam upaya merekonstruksi ilmu-ilmu al-Qurana terutama dalam karya utamaanya Mafhum an-Nass (Dirasah fi Ulum al-Quran). Selain Abu Zaid, para sarjana islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur dan Muhammad Arkoun adalah mereka yang memadukan tradisi keilmuan dalam pengetahaun islam dan pola berfikir religious studies kontemporer, khususnya hermeneutika yang berkembang pada sekitar abad 19 sebagai kerangka metodologi ilmu sosial dan humaniora.

 Bahtiar Rifa'I 
Jakarta, 2011


  


Daftar Pustaka

-          Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta Selatan: Teraju, 2003.
-          Palmer, Richard Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
-           Sudarminta, J. Epistemologi: Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001.
-          Syamsuddin, Sahiron dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.
-          Titus, Harold H.  Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj. H.M Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,



                [1] Harold H. Titus, Marilyn A. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Fissafat, terj. H.M Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 187.  
                [2] J. Sudarminta, Epistemologi: Pengantar Ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2001), hlm. 7-8.  
                [3] Ibid
                [4] Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Heriy & Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 14.
                [5] Ibid,
                [6] Ibid, hlm. 39-42. lihat juga Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 54-55.
                [7] Palmer, Ibid, hlm. 43. 
                [8] Ibid, hlm. 47-49. 
                [9] Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003),, hlm. 60.
                [10] Ibid, hlm. xvii 
2 komentar

Filsafat Politik Aristoteles


Filsafat Politik Aristoteles
Menakar Hubungan Individu, Negara, Moralitas dan Konstitusi dalam Pandangan Aristoteles

            Interaksi politik dewasa ini seolah berjalan pada ingatan yang membosankan dan mengerikan. Membosankan, karena pandangan ini umunya digunakan oleh pandangan masyarakat awam yang jenuh dengan perkembangan politik, sehingga mereka acuh terhadapnya. Upaya mereka terhadap partisifasi politik paling hanya digunakan pada saat pemilihan umum. Bagi mereka yang acuh pada pergolakan politik biasanya dikerenakan politik sebagai praktek kotor dan mengelikan serta rumit. Pada sisi yang lain, politik menjadi mengerikan dengan berbagai ideologi dan pandangannya masing-masing menjerumuskan manusia pada peperangan atau bentrok antar pandangan politik berbeda. Jika dihitung kebelakang, seabad lalu pergolakan politik internasional telah membawa pada peperangan yang menghabisnkan jutaan nyawa manusia dan kerusakan mental juga materil.
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan politik demokrasi dewasa ini pula mengalami diskursus yang tak selesai-selesai. Tenyata demokrasi khususnya di Indonesia membawa pada kondisi yang para politikusnya berkesempatan membodohi rakyatnya. Sebagai wakil dari jutaan rakyat, politikus malah membingungkan masyarakat banyak dan (dengan tak ragu-ragu penulis katakan) melakukan tindak korupsi yang merugikan negara. Inilah ironi dari demokrasi Indonesia setelah sekian lama terjerumus pada totaliterianisme Orde baru. Peralihan antara totaliterianisme orde baru dan demokrasi reformasi belum menunjukan adanya itikad baik dari para politikus untuk mensejahterakan rakyat banyak.      
            Dalam tulisan ini, penulis bukan ingin menjelek-jelekan persoalan politik demokrasi di Indonesia. Tetapi, penulis ingin mengajak alam pikiran ini menelusuri makna politik semenjak awal dilahirkannya konsep manusia sebagai zoon politikon. Pandangan zoon politikon ditemukan dalam pandangan filsafat politiknya Aristoteles yang memberikan banyak kontribusi pada pandangan filsafat politik setelahnya. Ambil contoh seperti al-Farabi dalam dunia islam, menulis pandangan politiknya dalam buku al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama) yang terinspirasi Aristoteles. Di sini, penulis ingin menakar hubungan antara manusia sebagai zoon politikon dan perkembangannya dalam pembentukan sebuah negara (polis) dan sebuah konstitusi sebagai regulasi politik. Di sisi lain, moralitas menjadi pandangan Aristoteles yang sangat penting dalam melihat perkembangan politik di atas. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam praktek politik. Sebagaimana perkembangan politik sekarang, nalar kritis terhadap pandangan Aristoteles di rasa masih sangat relevan jika kita kontekstualisasikan atau dilakukan suatu perbandingan dengan masa sekarang, khusunya di Indonesia.

Asal Usul Negara
            Sebagai murid dari Plato, Aristoteles berbeda dengan gurunya yang berpandangan idealistik. Aristoteles adalah antitesa dari Plato yang seluruh pandangan filsafatnya empiris-realis. Karya politik Aristoteles yang terkenal adalah Politics dan The Athenian Constitution. Dalam bukunya, Aristoteles menguraikan konsep-konsep dasar dalam ilmu politik seperti asal mula negara, negara ideal, warga negara ideal, pembagian kekuasaan politik, keadilan serta kedaulatan, penguasa yang ideal, konstitusi dan tentang stabilitas sebuah negara.
            Kemunculan negara menurut Aristoteles tidak dapat dipisahkan dari watak manusia sendiri atau ini merupakan insting sosial seseorang. Karena itu penyebutan manusia adalah zoon politikon atau makhluk berpolitik. Dengan definisi seperti ini, sebuah negara merupakan kepastian, karena merupakan sebuah sarana agar makhluk berpolitik tersebut dapat berinteraksi dan beraktualisasi.
            Negara dalam bentuknya yang paling sederhana dianalogikan seperti sebuah keluarga. Keluarga merupakan unit atau komponen negara yang paling sederhana dan yang paling paripurna adalah negara. Hubungan antar keluarga membentuk sebuah desa sebagai komponen yang menyatukan antar keluarga berdasarkan kebutuhan masing-masing. Di sini, kebutuhan menjadi landasan hubungan sebuah negara, karena kebutuhan tentunya mensyaratkan ketergantungan pada keluarga lain dan begitu seterusnya.
Dalam teks Politicsnya, Aristoteles mengatakan, “….terbuktilah bahwa negara termasuk dalam bangunan yang sesuai dengan kodrat dan bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk yang membentuk negara (zoon politikon), dia yang menurut kodratnya dan tidak hanya secara kebetulan hidup di luar negara adalah lebih buruk atau lebih tinggi dari manusia”.[1] 
               
Komunitas Politis, Manusia sebagai Zoon Politikon
“…Bahwa manusia adalah makhluk politis yang lebih tinggi dari segala lebah atau makhluk kawanan manapun adalah jelas. Karena alam, seperti kita tegaskan, tak pernah membuat hal yang sia-sia. Manusialah makhluk hidup satu-satunya yang memiliki bahasa. Suara menunjukan rasa sakit dan hasrat dan kerenanya juga dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Lain daripada itu, bahasa berfungsi untuk memberitahukan hal-hal yang bermanfaat dan merugikan dan juga menyatakan apa yang adil dan yang tak adil”.[2]
“…Negara menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan. Jika dia makin menjadi satu, dia dari negara akan menjadi sebuah rumah dan dari rumah akan menjadi seorang manusia. karena kita tentu boleh berkata bahwa sebuah rumah lebih tunggal daripada sebuah negara, dan seorang individu lebih tunggal daripada sebuah rumah. Juga andaikata orang dapat membuat kesatuan ini, orang kiranya tak boleh melakukan hal itu. Karena orang kiranya akan menyudahi negara. Di samping itu negara tidak hanya terdiri dari banyak manusia, melainkan pula dari orang yang berbeda-beda jenisnya. Negara tak dapat terjadi dari orang-orang yang sama sekali sama ”.[3]
Setelah memberikan beberapa kutipan dari teks Politics Aristoteles di atas, kiranya memberikan latar belakang sebuah komunitas dan tindakan politis yang diformulasikan oleh Aristoteles. Tindakan bernegara atau dalam konteks Athena pada masa Aristoteles adalah tindakan polis mengandaikan dorongan kodrati manusia yang disertai dengan bahasa sebagai komunikasi politik.
Sekedar memberikan gambaran singkat, kaum sofisme yang pada waktu itu berkembang pula di Athena, menyerukan pandangan politis relativisme, di mana masing-masing manusia sebagai ukuran. Hal ini kemudian dikritik oleh Plato dengan kebaikan dan negara yang dipimpin oleh filsuf lewat idealismenya, akan tetapi dikritik kemudian oleh Aristoteles yang menekankan bahasa kebutuhan bersama dalam polis. Seperti dalam kutipan di atas, bahasa dalam polis adalah bahasa yang menekankan keadilan dan kebutuhan bersama demi tercapainya polis yang adil.
Lebih lanjut, pluralisme yang dikatakan Aristoteles sebagai pembangun dasar polis menunjukan bahwa tidak ada sebuah negara yang hanya dilingkupi oleh manusia yang sama. Dalam bahasa lain ide Bhineka Tunggal Ika berbeda tetapi tetap satu telah 2 milenium lalu adalah syarat dari polis. Jika kita lihat bersama kebelakang, tragedi genosida yang dilakukan Hitler sangat bertolak belakang dengan ide persatuan polis Aristoteles. Penyatuan bangsa atas ras unggul adalah sejarah kehancuran sebuah cita-cita pada keadilan. Dalam konteks yang lebih dekat, walaupun negara Indonesia berdasarkan persatuan masyarakat yang berbeda-beda suku dan wilayah, tapi kadang-kadang praktek politiknya berdasarkan kepentingan masing dan mementingkan kepedulian golongan.        

Bentuk-bentuk Negara dan Konstitusi
            Negara ideal menurut Aristoteles adalah polis atau negara kota. Negara bentuk polis memiliki bayangan sebuah negara yang tidak terlalu besar dan kecil. Tentang kekuasaan negara polis, Aristoteles berpendapat bahwa karena negara merupakan tingkat tertingi maka ia memiliki kekuasaan mutlak atau absolut.[4] Tujuan negara menurut Aristoteles pada prinsipnya sama dengan tujuan manusia yaitu agar mencapai kebahagiaan. Maka negara oleh sebab itu bertugas untuk dan mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan penduduknya. Selain itu negara dalam pandangan Aristoteles harus memiliki sebuah konstitusi di mana konstitusi terkait dengan sebuah jabatan pemerintah dan ini mewakili konstitusi. Dengan kata lain jabatan yang di pegang oleh seseorang dalam sebuah pemerintahan harus berdasarkan konstitusi yang telah disepakati dalam sebuah negara dalam bentuk keutamaan.
            Konstitusi menurut Aristoteles paling tidak harus terdiri dari tiga bagian, diantaranya; bagian pembuat hukum yang menguji hal-hal yang bermanfaat untuk keentingan umum. Adapun bagian tersebut adalah instansi yang yang memberi pertimbangan tentang hal-hal publik, kedua adalah para pejabat, dan terakhir adalah peradilan.   
            Negara yang ideal dalam pandangan Aristoteles berkaitan erat dengan moralitas. Pandangan ini kemudian dapat mengklasifikasikan sebuah negara pada bentuk yang baik dan buruk. Negara yang baik adalah negara yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai penjamin warga negara dan yang buruk adalah negara yang gagal.
            Untuk menetapkan sebuah bentuk negara Aristoteles menetapkan beberapa kriteria diantaranya; pertama, berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang satu orang, beberapa orang ataukah banyak. Kedua, apa tujuan dibentuknya negara. Apakah bertujuan untuk  mensejahterakan dan demi kebaikan umum ataukah hanya untuk si penguasa saja. Berdasarkan kritera ini. negara dapat diklasifikasikan pada beberapa kategori.
            Negara monarki, apabila kekuasaan di tangan satu orang, bertujuan untuk kebaikan dan kesejahteraan semua. Maka ini bentuk pemerintahan terbaik, negara ideal. Adapun bentk penyimpangan terhadap konstitusinya adalah tirani. Di mana kekuasan di tangan satu orang dan kekuasaan demi kepentinan pribadi dan sewenang-wenang.[5]    
            Kedua, adalah bentuk aristokrasi di mana kekuasaan negara dipegang oleh beberapa orang dan bertujuan baik demi kepentingan umum. Adapun penyimpangan terhadap bentuk negara seperti ini adalah oligarki di mana kekuasan kelompok kaya menjadi dominan dan penyaluran pada masyarakat umum menjadi terhambat. Kepentingan oligarki menekankan pada kepentingan para penguasa kaya saja. Kemudian terakhir negara yang diideakan oleh Aristoteles adalah bentuk negara yang kekuasaanya terletak ditangan di tangan orang banyak/rakyat dan bertujuan demi kepentingan semua masyarakat. Bentuk negara ini adalah politeia dan penyimpangannya adalah demokrasi. Demokrai bagi Aristoteles bukanlah negara yang ideal karena kekuasaan dipegang oleh masyarakat miskin dan demi kepentingan mereka.
            Untuk memberikan gambaran nyata antara setiap bentuk negara dan penyimpangan konstitusinya, penulis sajikan gambaran dalam bentuk table berikut ini: 
             
Bentuk-bentuk konstitusi yang baik
Batasan
Bentuk-bentuk konstitusi yang merosot
Batasan
Monarki
Kuasa satu orang demi kesejahteran umum
Tirani
Kuasa satu orang demi keuntungan satu orang
Aristokrasi
Kuasa beberapa orang demi kesejahteraan umum
Oligarki
Kuasa beberapa orang demi keuntngan golongan kaya
Politeia
Kuasa semua orang demi kesejahteraan umu
Demokrasi
Kuasa banyak orang demi keuntungan golongan miskin
            Bagi Aristoteles revolusi merupakan sesuatu yang mungkin dalam negara polis. Di mana jika ada ketidaksamaan dan pelecehan terhadap konstitusi. Jika konstitusi sebagai sebab terjadinya ketidakadilan dan pelecehan terhadap kepentingan bersama, menurut Aristoteles revolusi adalah sesuatu yang memungkinkan runtuhnya sebuah negara. Oleh sebab itu kepatuhan terhadap konstitusi menjadi sebuah kemutlakan yang berarti bukan perbudakan, akan tetapi hal ini merupakan penyelamatan terhadap konstitusi dan kepentingan bersama.

Kesimpulan
            Berdasarkan paparan di atas, sebetulnya diskursus filsafat politik Aristoteles memiliki banyak dimensi penafsiran dan tentunya masih belum usang untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi perpolitikan sekarang. Namun, sepertinya pergolakan politik khusunya di Indonesia banyak melupakan sejarah filsafat politik demokrasi. Walaupun sebetunya Aristoteles menolak demokrasi, tetapi bentuk negara polis memang terlalu kecil untuk masa sekarang.
            Di sisi lain, sebetulnya ada yang perlu digarisbawahi dari pandangan politis masyarakat pilitik Aristoteles, yaitu tentang bahasa politis dan komunikasi sebagai sarana dalam tindakan politis. Sejauh ini, berdasarkan sejarah manusia bahasa dan komunikasi politis menjadi hal yang menarik karena merupakan kehkasan dan kebebasan individu yang dijamin oleh konstitusi. Dalam ruang lingkup yang lebih banyak dalam komunitas publik, bahasa politis menjadi bahasa yang disampaikan berdasarakan kepentingan bersama dan kemajuan peradaban masyarakat umum. Dengan logos sebagai sarana, maka menurut Aristoteles percakapan tentang negara untuk menjadikan kepentingan bersama sebagai cita-cita adalah sebuah keniscayaan.
            Sayangnya, ada banyak yang lupa dengan gagasan ini. Di setiap percakapan politik sekarang ini tidak menekankan pada kepentingan bersama dan pluralitas. Bahasa politik sekarang kadang-kadang malah menyebarkan syiar kebencian pada golongan yang berbeda. Padahal demokrasi bukan berdasarkan penyatuan tetapi persatuan. Inilah yang di sayangkan. Para politikus lupa pada esensi kebersamaan dan malah kadang-kadang menggunakan konstitusi sebagai kepentingan dan alat golongannya masing-masing. Walaupun demikian, kiranya pergolakan politik khusunya di Indonesia memang bukan persoalan bagaimana menerapkan gagasan Aristoteles saja. Tetapi, kita masih perlu pada diskursus yang lebih luas dan memerukan perjuangan yang panjang. Walaupun masih banyak persoalan di tingkat pilar-pilar demokrasi, tetapi cita-cita pluralisme dan keadilan masih menjadi hal yang bukan absurd.

Bahtiar Rifa'I 
Jakarta 07/07/2011
   
Daftar Pustaka

  1. Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol I Greek and Rome, Double Day, New York, 1993.
  2. Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, teks-teks kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta, Driyarkara, 2001.
  3. Jurnal Filsafat driyarkata, edisi XXVI No. 02. 1971.
  4. Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Terj. Sigit Jatmiko Dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
  5. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.



                [1] Aristoteles, Politik, hlm 1253a1-5, (dikuti dari F. Budi Hardiman, Filsafat Politik, teks-teks kunci (diterjemahkan dan dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman), Jakarta, Driyarkara, 2001, tanpa halaman.
                [2] Ibid , 123a6-15.
                [3] Ibid, 1261a16-25
                [4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (kajian perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan), Jakarta: PT. Gramedia Pustala Utama, 2001. Hlm. 45.
                [5] Ibid 

Pengikut

Pages

 
;